بِسْــــــــــــــــــمِاللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
“Saya niat mengajarkan bukan semata karena saya merasa lebih hebat atau lebih baik, semua milik Allah. Kehebatan saya juga milik Allah, dan saya setuju mengajarkan kamu juga karena Allah.”
–Muhammad Zaidan Al-Faiz–
🍁🍁
Hana mendengus seraya melangkah malas ke sofa dengan membawa es jeruk, sebagai hukuman karena dirinya sudah menyebarkan aib Kakaknya kepada Shafiya.
“Nih ...,” ucap Hana malas-malasan sambil meletakkan minuman itu tepat di depan Zaidan.
“Yang ikhlas dong!”
“Ini juga ikhlas,” sahut Hana dengan cemberut.
“Mana ada ikhlas tapi wajahnya ditekuk gitu?”
Hana menghembuskan nafasnya panjang, lalu menarik kedua sudut bibirnya ke atas selama kurang lebih dua detik.
“Udah sana, ke Mushola, bilang sama anak-anak dan Kak Fiya sebentar lagi Kakak akan mulai ngajar.”
Hana mengangguk. Dia lantas berbalik hendak pergi, tapi urung. Dia teringat untuk memberitahukan Kakaknya tersebut soal Shafiya.
Mata Zaidan memicing melihat Hana yang malah duduk di sampingnya.
“Kak, aku mau kasih tahu sesuatu,” ucap Hana. Mata Zaidan memicing tajam. Awas saja adiknya itu berulah lagi?
“Kak Fiya itu sebenarnya—”
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam. Astaghfirullah, Umi kenapa?”
Betapa terkejutnya Hana dan Zaidan saat melihat Rima yang pulang dengan dipapah Naira.
“Di Pesantren Nyai pingsan, Gus,” ucap Naira.
“Astaghfirullah, Umi ....” Zaidan membantu mendudukkan Rima ke sofa. Nampak jelas ekspresi khawatir terpancar dari wajah Zaidan melihat wajah uminya terlihat pucat.
“Abi mana?” tanya Hana kepada Naira. Kenapa harus gadis itu yang mengantarkan Uminya pulang?
“Abi masih ada pengajian sehabis Ashar ini, Nak. Udah, Umi nggak papa, kok. Paling cuma kecapean aja. Minum obat biasa juga insyaa Allah sembuh,” ujar Rima.
“Kita ke Klinik aja ya, Umi?” tawar Zaidan, tapi Rima menggeleng. “Kamu nggak usah berlebihan deh! Umi nggak papa.”
“Yaudah, Zai antar umi ke kamar, ya?” Zaidan menggendong Uminya tersebut ke lantai dua menuju kamarnya. Sebelum itu, dia menyuruh Hana untuk mengambil persediaan obat mereka di kotak P3K dan Naira yang mengikuti Zaidan dan Nyai Rima ke kamarnya.
Zaidan merebahkan tubuh Rima di kasurnya, kemudian menyelimutinya.
“Umi kita ke Klinik aja ya? Umi mukanya pucet banget!”Rima tersenyum, meyakinkan putranya itu kalau dia baik-baik saja.
“Umi nggak papa.” Tatapan Rima lalu beralih pada Naira.
“Terima kasih ya, Nak Naira, kamu sudah mengantarkan Umi pulang.”
Naira mengangguk seraya tersenyum. “Sama-sama, Nyai.”
“Terima kasih,” ujar Zaidan tanpa melihat ke arah Naira.
“Sama-sama, Gus.”
“Kak! Kak ...! Obatnya habis,” ujar Hana memasuki kamar Uminya.
Zaidan menghela nafas. “Yasudah, kamu tunggu Umi di sini, biar Kakak beli obatnya dulu di Apotek.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Munajat Cinta Shafiya[END]
Ficción General[Spiritual-Sad-Romance] •• Ditinggalkan ayah kandungnya tanpa sebuah alasan dan menjalani kehidupan baru dengan ayah sambungnya rupanya tak membuat penderitaan dan kesedihan yang dialami Shafiya berhenti. Hal buruk yang merusak mental dan jiwanya ba...