بِسْــــــــــــــــــمِاللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
——
Ada kalanya kita harus mulai keluar dari zona nyaman kita. Kalau tidak mau maka harus dipaksa, karena kalau tidak demikian maka sampai kapan kita tidak akan tumbuh?
🍁🍁“Assalamu’alaikum ....”
“Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh.” Zaidan yang hendak mengecek ponselnya, urung saat kedatangan Rima dan juga adiknya—Hana.
“Pulang sekolah langsung kesini? Kok masih pake seragam?” tanya Zaidan kepada adik perempuannya itu yang sudah mau menginjak 16 tahun. Walaupun begitu, tingkahnya masih seperti anak-anak usia TK. Manja dan cerewet.
“Males, Kak. Lagian kalau aku pulang dulu, bisa malam datang kesininya.” Hana meletakkan tasnya di sofa, kemudian merebahkan diri. Matanya menelik kamar rawat VVIP Kakaknya itu yang lebih mirip kamar hotel.
Rima hanya menggeleng. Dia mendekati Zaidan dan mengecek suhu badan putranya itu lewat punggung tangannya.
“Alhamdulillah ... panasnya udah turun,” kata Rima dengan senyuman. Zaidan hanya tersenyum.
“Kamu tunggu di sini, ya? Jangan ganggu Kak Zai! Umi mau samperin Abi di ruangannya Dokter Reihan.”
Hana mengangguk. Setelah kepergian Rima, Hana beranjak dan mendekati Zaidan.
“Kak ...! Kak ...!” panggilnya setelah menggeser kursi di sampingnya untuk dia duduki. Zaidan menoleh.
“Katanya Dokter yang nanganin Kakak masih muda, ya? Terus dia juga santri yang sempat mondok di Pondoknya Abi?”
Zaidan mengangguk. Kemarin, setelah dirinya sadar, Abinya memang sudah mengatakan soal Reihan padanya. Sebetulnya, Zaidan tidak begitu ingat. Usianya masih terlalu kecil saat itu.
“Jadi pengen nemuin, deh!” Sedetik setelah Hana mengucapkan itu, satu sentilan mendarat dengan mulus di dahinya. Hana merengut dan menatap horor Sang Pelaku. Namun, melihat tatapan tajamnya membuat nyali Hana menciut.
“Inget di QS. 24 (An-Nur) ayat 31. Wanita beriman adalah mereka yang mampu menjaga pandangannya dari hal-hal yang haram!” peringat Zaidan dengan sorot wajah serius.
Hana menghela nafas. “Iya-iya. Bercanda doang juga. Nggak mungkin juga aku nikah diusiaku yang belum nyampe 17 tahun gini. Masih terlalu kecillah.”
“Jangan salah! Dulu aja pas di jaman Nabi ada wanita yang dia nikahi diusianya yang 17 tahun. Bahkan, dia udah jadi janda sebelumnya,” terang Zaidan.
Hana tertegun. “Serius, Kak? Siapa?” tanyanya. Hana mulai tertarik dengan pembicaraan ini.
“Namanya Shafiyyah Binti Huyay, dia adalah salah satu istri termuda Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wasallam dan dari keturunan Para Nabi, dia juga seorang tawanan yang bertaqwa dan suci. Ayahnya bernama Huyay bin Akhthab bin Syu’bah bin Tsa’labah, dari Bani An-Nadhir. Dia dari keturunan Nabi Harun bin Imran saudaranya Nabi Musa. Ibunya bernama Murrah binti Samaw’al dari Bani Quraizhah ....” Zaidan menjeda ucapannya. Dia melirik Hana yang serius mendengar ceritanya.
“Nah, pada saat tahun ke-7 Hijriah, saat Rasulullah menuju Khaibar, markas para penjahat Yahudi. Kaum muslimin meraih kemenangan. Dan dari sanalah Rasulullah mendapatkan sejumlah tawanan diantaranya adalah Shafiyyah. Saat itu, Shafiyyah baru berumur 17 tahun. Suami Shafiyyah yang bernama Kinanah bin Ar-Rabi dihukum bunuh sesuai perjanjian dikarenakan terbukti berdusta menyembunyikan harta pembendaharaan Bani An-Nadhir. Dengan mahar memerdekakannya, akhirnya Rasulullah nikah, deh, sama Shafiyyah.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Munajat Cinta Shafiya[END]
Fiksi Umum[Spiritual-Sad-Romance] •• Ditinggalkan ayah kandungnya tanpa sebuah alasan dan menjalani kehidupan baru dengan ayah sambungnya rupanya tak membuat penderitaan dan kesedihan yang dialami Shafiya berhenti. Hal buruk yang merusak mental dan jiwanya ba...