Bagian 41 : Diculik?

2.4K 174 6
                                    


 بِسْــــــــــــــــــمِاللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Happy Readings—

🍁🍁

Sebuah tamparan melayang dengan keras di pipi seorang lelaki yang terduduk di kursi kayu. Dia memegangi pipinya yang baru saja ditampar itu, kemudian terkekeh.

“Kalau kamu berani menyakiti dia atau bahkan salah satu dari mereka, aku nggak akan segan-segan untuk membawa kamu menghadap Om Aryo dan melupakan kalau kita adalah saudara!”

Tangan lelaki yang duduk itu mengepal. Membawa dirinya menghadap Omnya yang seorang Perwira Polisi sama saja menceburkannya ke dalam lubang buaya. Namun, dia sudah bertindak sampai sejauh ini, tak mungkin berhenti di tengah jalan. Apa sebelum menyingkirkan mereka yang dipastikan menghalanginya dalam mencapai tujuannya, dia harus menyingkirkan laki-laki di depannya ini terlebih dulu? Tapi itu tidak mungkin! Bagaimana pun juga lelaki itu adalah saudaranya sendiri. Walaupun bukan saudara kandung.

“Kakak mohon ... lupain dia. Masih banyak gadis lain di dunia ini, biarkan dia dengan pilihannya.” Lelaki berjas putih itu menatap sendu laki-laki di depannya. Berharap sedikit permohonannya meluluhkan lelaki itu agar tidak bertindak di luar batas.

“Itu nggak mungkin! Selama bertahun-tahun aku nunggu dia, Kak. Aku juga yang udah membantu dia dulu dalam melewati masa-masa sulitnya dan sekarang ... dia akan bersama yang lain? Aku tidak akan membiarkan itu! Dia harus jadi milikku bagaimanapun caranya!”

“Kamu itu—”

“Hentikan!” pekik seseorang sekaligus menghentikan lelaki berjas putih itu dari menampar lelaki di depannya untuk yang kedua kalinya.

Pria dengan jas formal yang masih menempel di tubuhnya melangkah cepat menghampiri kedua putranya. Tatapannya menajam. “Apa Papa pernah mengajarkanmu untuk bersikap kasar? Terlebih kepada adikmu sendiri?” tanyanya.

Lelaki berjas itu bungkam. Dia memalingkan wajahnya dengan sepasang tangannya mengepal. Seandainya dia bisa mengatakan kejadian yang sebenarnya. Seandainya Papanya tahu apa yang sudah diperbuatnya.

•••

“Tadi itu siapa?” tanya Raftan kepada Shafiya yang baru saja turun dari motornya.

Kening Shafiya bertaut. Dia yang dimaksud Kakaknya itu pasti adalah Zaidan.

“Guru hafalan Qur’anku kok, Kak.”
Raftan mangguk-mangguk paham.

“Cuma sebatas guru, ‘kan?”

“Ya iya, emang apalagi?”

“Kalian nggak ada perasaan?”

Deg!

Shafiya tertegun. Kenapa Raftan bisa langsung menyimpulkan kesana sih? Walaupun dirinya memang sempat menyukai Zaidan, tapi itu ‘kan dulu ... mungkin.

“Apa sih, Kak? Kenapa langsung mikir kesana? Ya enggaklah! Dia itu seorang Gus, ya kali suka sama aku yang baru belajar memperbaiki diri. Lagipula, dia itu udah punya calon istri sendiri,” ucapnya.

Mereka itu berbeda. Shafiya juga sadar diri siapa dirinya. Dia tidak akan berani meminta kepada Allah agar diberikan jodoh seperti Zaidan.

Raftan hanya mangguk-mangguk saja. Sebagai sesama lelaki tentu dia paham makna tatapan Zaidan pada adiknya itu ketika dirinya itu menjemputnya. Itu bukan tatapan biasa!

Namun, kalau dia sudah punya calon, setidaknya Raftan harus menjaga agar adiknya itu menjaga jarak darinya. Dia tidak ingin adiknya itu kembali dikecewakan kesekian kalinya.

Munajat Cinta Shafiya[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang