بِسْــــــــــــــــــمِاللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
🍁🍁
Hari-hari telah berlalu. Seperti halnya kehidupan di dunia yang terus berjalan meski habis diterpa badai sekalipun.
Itulah yang kini dilakukan Shafiya. Empat tahun semenjak kepergian Ayahnya dia kembali menjalani aktivitas seperti sebelum-sebelumnya.
Walaupun ada beberapa yang berbeda, tak apa. Kepergian mereka lambat-laun memberi pelajaran besar dalam hidup Shafiya bahwa hidup ini hakikatnya tidak boleh terlalu berharap pada manusia. Tidak ada yang abadi. Semua akan pergi. Entah itu pergi selama-lamanya seperti Dimas, atau pergi ke suatu tempat yang sangat jauh meski bisa saja kembali, tetapi akan membawa perbedaan yang ketara seperti ... Zaidan.
Tepat satu bulan setelah kepergian Dimas, hal yang mengejutkan saat Shafiya tahu dari Hana kalau Kakaknya itu juga sudah kembali ke Madinah. Padahal, sebelumnya lelaki itu sudah mengambil cuti kuliah selama satu semester untuk tetap tinggal di Indonesia. Tidak tahu kenapa Zaidan merubah keputusannya dan kembali ke Madinah. Bukan hanya menyelesaikan S1-nya di Madinah tetapi juga Zaidan akan langsung melanjutkan kuliah S2. Entah itu di kota yang sama atau tidak, Shafiya tak tahu dan tak berniat mencari tahu.
Sedih? Tentu! Dalam waktu berdekatan, orang-orang yang dicintainya pergi. Yang satu pergi dan tak akan kembali sedangkan yang satu lagi bisa saja kembali, tapi akan terbentang jarak di antara mereka. Mereka akan menjadi asing!
Bukan hanya itu, yang membuat hatinya perih adalah saat mengetahui kalau Zaidan ternyata lelaki yang sudah mengirimkan surat janji untuk menikahinya dulu. Semua itu berawal saat dirinya bertemu Maya. Maya mengatakan soal Zaidan yang menemuinya untuk menepati janji padanya di Klinik dulu. Apa faedahnya semua itu kalau ujung-ujungnya lelaki itu pergi tanpa sedikitpun mengungkit soal surat janjinya tersebut.
“Aku rasa Zaidan belum sepenuhnya dewasa. Mungkin kamu benar! Dia menuliskan surat itu karena ketergesaan. Kalau dia serius ingin menikahimu, dia tidak akan pergi sekarang,” ujar Maya saat Shafiya mengatakan kalau Zaidan sudah kembali ke Madinah.
Allah tak meridhai mereka untuk bersatu. Itu sebabnya banyak sekali ujian dan hambatan yang menghalangi keduanya untuk saling mengikat janji. Ya, itu yang Shafiya fikirkan. Shafiya sadar kalau dia memang tak akan pernah pantas untuk Zaidan. Sekalipun lelaki itu betul-betul meminangnya, Shafiya juga akan menolaknya. Zaidan adalah lelaki sholeh yang juga berasal dari keluarga terhormat. Dia juga tampan. Akan sangat tak adil rasanya kalau lelaki yang nyaris sempurna itu memiliki istri biasa sepertinya. Dia paham agama sedangkan dirinya baru menapaki ke arah yang lebih baik. Mereka seperti langit dan bumi. Zaidan berhak mendapatkan gadis yang lebih baik darinya.
•••
Gadis dengan balutan gamis berwarna coklat itu mengibaskan tangannya. Sesekali pandangannya menatap lurus ke arah gerbang bangunan sekolah. Bukan cuma tingkat SD, tetapi sekolah bertaraf swasta itu juga menyediakan jenjang Paud dan TK.“Ayna, jangan dulu nyebrang!” teriaknya kepada seorang gadis cilik dengan kerudung berwarna putih. Gadis kecil itu tersenyum sambil melambaikan tangannya.
“Teh Fiya cepetan atuh! Ayna haus nih ...!”
Shafiya hanya menggeleng pelan. Gadis itu menengok kanan-kiri jalan besar di depannya, setelah dirasa aman barulah dia menyebrang, menjemput adik kecilnya itu pulang.
“Teh Fiya mau beli es kelapa,” ucap Ayna menunjuk penjual es kelapa di samping. Shafiya ikut menoleh.
“Kata Ibu Ayna kan baru sembuh batuknya, Sayang. Nanti aja, ya?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Munajat Cinta Shafiya[END]
Ficção Geral[Spiritual-Sad-Romance] •• Ditinggalkan ayah kandungnya tanpa sebuah alasan dan menjalani kehidupan baru dengan ayah sambungnya rupanya tak membuat penderitaan dan kesedihan yang dialami Shafiya berhenti. Hal buruk yang merusak mental dan jiwanya ba...