بِسْــــــــــــــــــمِاللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ——
“Tiada sesuatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (al-Lauhul mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah
bagi Allah”
-(QS al-Hadiid:22)-🍁
Kondisi Laras kritis. Dokter mengatakan Laras kehilangan banyak darah, ditambah benturan keras di kepalanya membuat tak sadarkan diri sampai sekarang. Shafiya duduk di kursi tunggu dengan perasaan kacau. Dua kejadian yang sama-sama membuatnya terpukul terjadi bersamaan. Pertama, kalung dari Ayahnya yang hilang dan Laras yang mengalami kecelakaan. Dia menangis terisak. Walaupun sempat kecewa, Shafiya takut kehilangan Ibunya itu. Entah akan seperti apa kehidupannya nanti ke depan jika sesuatu yang terburuk terjadi padanya.
Sedangkan, Indra bersandar di tembok dengan keadaan yang tak kalah kacaunya. Tatapan matanya sendu dengan pakaian yang berantakan dan ada noda darah di sana.
“Shafiya!”
Shafiya menoleh. Mayang dan Hendra—Kakek dan Neneknya akhirnya tiba. Shafiya langsung menghamburkan diri memeluk erat Mayang. Tangisannya semakin pecah.
“Sebenarnya ada apa ini? Bagaimana awal mula kejadiannya sampai Laras bisa seperti ini?” tanya Hendra kepada Indra. Namun, menantunya itu bungkam. Lidahnya kelu sekedar mengeluarkan sepatah kata. Semua terjadi begitu tiba-tiba, sampai saat ini dia berharap kalau semua ini adalah mimpi.
Tak mendapat jawaban dari Indra, Hendra beralih pada Shafiya, tetapi melihat cucunya itu masih menangis, dia mengurungkan niatnya untuk bertanya.
Seorang Suster mendatangi mereka dan mengatakan kalau Dokter ingin berbicara dengan keluarga Pasien. Hendra dan Indra mengikuti Suster itu. Sedangkan Mayang masih bersama Shafiya. Dengan sabar wanita berjilbab biru muda itu mengelus punggung Shafiya yang masih sesegukan di dekapannya.
“Shafiya takut ... kalau terjadi apa-apa sama Ibu, gimana? Shafiya nggak mau sendirian, Enin. Shafiya nggak mau ditinggal sama Ibu.”
Mayang tak merespon, tetapi dia mendengarkan semuanya dengan jeli. Dia tahu dan paham bahwa yang dibutuhkan Shafiya saat ini adalah didengarkan. Bukan Shafiya saja, melainkan setiap perempuan jika sedang bersedih umumnya memang hanya ingin didengarkan dan ditemani.
Cukup lama Shafiya menumpahkan air matanya di gamis Mayang, akhirnya gadis itu kini sedikit tenang. Walau masih ada sisa linangan air mata mengalir di pipinya.
Allahu Akbar
Allahu Akbar“Udah adzan dzuhur, kita shalat dulu, yuk!” ajak Mayang. Shafiya tak menjawab, tetapi melepaskan diri dari dekapan Mayang.
Mayang tersenyum. “Adukan semua yang Shafiya rasakan sekarang pada Allah, Sayang. Allah sudah berjanji kalau setiap ujian yang dia berikan tak mungkin dia berikan melebihi batas kemampuan hamba-Nya. Allah tahu Shafiya mampu melewati semua ini.”
Shafiya menatap wajah teduh Mayang. Neneknya itu tersenyum hangat padanya seolah sedang menyalurkan kekuatan. Jangan dikira Mayang tak sedih dengan apa yang dialami putrinya, tentu saja dia juga sedih. Namun, ini bukan saatnya meratapi. Mayang tahu betul dirinya harus menjadi kekuatan bagi Shafiya sekarang.
“Ayo!” ajaknya lagi. Shafiya menurut dan mengangguk. Keduanya beranjak dari kursi tunggu itu dan bergegas ke Masjid terdekat di sana.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Munajat Cinta Shafiya[END]
Fiksi Umum[Spiritual-Sad-Romance] •• Ditinggalkan ayah kandungnya tanpa sebuah alasan dan menjalani kehidupan baru dengan ayah sambungnya rupanya tak membuat penderitaan dan kesedihan yang dialami Shafiya berhenti. Hal buruk yang merusak mental dan jiwanya ba...