بِسْــــــــــــــــــمِاللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِاللَّهُمَّصَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
“Itu bukan cuma sekedar janji.
Melainkan, sebuah pertaruhan iman.
Sebuah tanggung jawab besar
Yang harus kupenuhi.”-Muhammad Zaidan Al-Faiz-
🍁🍁
“Ya Allah ... ampuni aku,
Bukannya aku menghindar dari limpahan rahmat yang telah Engkau taburkan di Masjid dekat tempat tinggalku dengan diadakannya tabligh akbar di sana. Bukannya aku tidak senang.
Namun, Engkau Maha tahu apa yang kusembunyikan dari semua orang, bahkan dari Ibuku sendiri,
Engkau Maha Mendengar apa yang tersembunyi dalam hatiku,
Duhai Rabbku, aku tak ingin perasaan itu kembali lagi jika aku nekad tetap di sini, aku takut perasaanku kembali menguasaiku lagi untuk mendatanginya, menatapnya, aku tidak mau, aku tidak mau ....Cukup Engkau dan Rasul-Mu saja yang ingin kusimpan erat-erat dalam hatiku, aku tak ingin memberikan cinta ini kepada selain Engkau dan Rasul-Mu, kumohon maafkan aku, Ya Allah ... Ampuni aku ... aamiin ....”
Shafiya mengusap wajahnya. Dia melirik jam besar di tembok yang sudah menunjukan pukul 10 pagi, sudah saatnya dia pergi.•••
“Padahal baru kemaren Dek kamu pulang, masa sekarang udah balik ke Jakarta lagi,” ucap Raftan sembari membantu Shafiya memasukkan tasnya ke angkot. Shafiya hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Raftan tanpa menatap wajah Kakak tirinya itu.
“Kenapa sih Kakak nggak tinggal di sini aja sama kita?” tanya Kalila dengan wajah sendu. Baru sebentar rasanya dia bisa bermain dengan Kakak tersayangnya itu sekarang sudah ditinggal lagi.
“Kalau alasan kamu bolak-balik Bogor karena Kakak, udah, biar Kakak aja yang pergi, Shaf.” Raftan teringat Shafiya yang pernah mengatakan kalau mereka bukan mahram. Walaupun awalnya Raftan tak percaya, dia akhirnya sadar jika apa yang dikatakan Shafiya benar saat mendengar ceramah di tempat kerjanya.
“Astaghfirullah, enggak, Kak.” Shafiya dengan cepat menggeleng.
“Aku sudah bilang ‘kan alasanku di Jakarta itu untuk merawat Ayah dan melanjutkan sekolah. Sama sekali nggak ada hubungannya dengan Kak Raftan.”
Sebenarnya, dibandingkan Kalila dan Raftan, yang lebih merasa kehilangan dan sedih saat Shafiya harus kembali ke Jakarta tentu adalah Ibunya sendiri, Laras. Namun, wanita itu tak mungkin menunjukan dengan gamblang kesedihannya tersebut kepada Shafiya. Bagaimana pun juga Shafiya berhak mengganti waktu-waktu bersama ayahnya yang sudah sirna. Terlebih, atas apa yang sudah Dimas lakukan untuk membantu Shafiya sembuh dari penyakitnya.
Laras juga tak ingin menghalangi cita-cita Shafiya. Sudah cukup dulu dirinya tidak bisa membiayai sekolah Shafiya sampai ke jenjang SMA, dan setelah Dimas bersedia membiayai putrinya itu dalam melanjutkan sekolah, Laras tak akan tega melarangnya.
“Jaga diri baik-baik ya, Nak! Sekolah yang rajin. Insyaa Allah cita-citamu tercapai,” ujar Laras memeluk Shafiya.
Shafiya mengangguk. “Aamiin ...!”
“Yuk, Kak!” ajak Shafiya pada Raftan.
Lelaki itulah yang akan mengantarnya sampai stasiun. Bahkan, awalnya Raftan ingin mengantar Shafiya sampai Jakarta, tapi adiknya itu menolak. Setelah memastikan barang-barangnya tak ada yang tertinggal angkot yang ditumpangi Shafiya dan Raftan melaju meninggalkan halaman rumah itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Munajat Cinta Shafiya[END]
Fiction générale[Spiritual-Sad-Romance] •• Ditinggalkan ayah kandungnya tanpa sebuah alasan dan menjalani kehidupan baru dengan ayah sambungnya rupanya tak membuat penderitaan dan kesedihan yang dialami Shafiya berhenti. Hal buruk yang merusak mental dan jiwanya ba...