بِسْــــــــــــــــــمِاللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ“Aku ingin tahu, seistimewa apa sih dia? Sampai kamu berkata sudah menempuh banyak rintangan untuk bisa menemuinya.
Apakah dia lebih baik dari aku?”Naira Lintang Al-Ghani
🍁🍁
Reihan melepaskan stetoskopnya. Tatapannya sendu begitu dirinya sudah mencapai batas usaha untuk menyelamatkan Pasiennya itu. Pada akhirnya, semua akan kembali pada Allah.
“Urus jenazahnya!”
Para Suster di sana mengangguk patuh.
Ya Allah ... ampunilah dosanya seluruhnya, tempatkan dia di tempat terbaik di sisi-Mu, terimalah semua amal ibadahnya
“Doktel! Doktel!” Seorang anak kecil usia 5 tahun-an meraih tangan Reihan setibanya dia di luar. Reihan mengerut. Siapa anak ini?
“Ibu ndak papa, ‘kan? Ibu Ina pasti sembuh, ‘kan?”
Reihan mengerjap. Ternyata dia putrinya Ibu tadi yang meninggal. Bagaimana ini? Bagaimana caranya menjelaskan kepadanya kalau Ibunya sudah tiada sekarang?
“Ina mau lihat Ibu,” ucap Ina kembali.
Reihan berjongkok, memposisikan postur tubuhnya dengan Ina.
“Ina kesininya sama siapa, Nak?”
“Ina kesininya cuma sama Ibu. Ina nggak punya siapa-siapa selain Ibu.”
Reihan menelan ludah. Ya Allah, bagaimana ini?
“Ibu Ina udah dipanggil sama Allah, Nak. Allah sayang sama Ibu Ina makanya disuruh pulang,” jawab Reihan dengan hati-hati.
Kening Ina mengerut. Heran, ya, dia sama sekali tak mengerti dengan ucapan Reihan. Bagaimana mungkin Ibunya pulang tanpa memberitahunya?
“Ibu udah pulang ke lumah, tapi kok nggak ajak Ina, Doktel?” tanyanya dengan kalimat yang belum terlalu fasih dan cadel di bagian R.
Reihan bungkam. Tatapannya pilu. Anak sekecil itu sudah mendapat ujian seberat ini.
Tepat semenit kemudian, brankar atas Ibu Ina digiring keluar. Ina berlari mengikuti brankar itu dan menghentikannya.
“Ibu, Ibu mau kemana? Ibu katanya mau pulang ya? Ibu, Ina ikut ya? Ina nggak mau sendilian ... Ibu kok diem aja sih?”
Reihan menghampiri Ina dan memeluk anak itu. Seketika tangis Ina pecah saat brankar Ibunya digiring pergi.
“Ibu ... jangan pelgi ... Ibu ...!”
“Ina ...!”
Pandangan Reihan menoleh. Seorang wanita yang sudah berumur menghampirinya dengan berlari dan mengambil anak itu dari gendongannya.
“Maaf saya datang terlambat. Bagaimana keadaan menantu saya?” tanyanya.
“Dia ... dia sudah berpulang.”
Wanita itu meneteskan air matanya dan memeluk Ina erat-erat. “Terima kasih sudah menjaga Ina sebelum kedatangan saya,” ucapnya di sela tangisannya.
Reihan mengangguk. “Jenazah pasien sedang dibersihkan, jika sudah beres, pihak Rumah Sakit akan memulangkannya ke tempat tinggalnya.”
Wanita itu mengangguk, kemudian berpamitan pergi. Reihan juga melangkah menuju ruangannya setelah sekali lagi dia menyaksikan kematian seseorang.
Kematian. Setiap orang pasti akan mengalaminya. Tua atau muda, semua itu tergantung takdir yang harus diterima. Siap atau tidak siapnya itu tergantung dari amalan yang kita kerjakan selama di dunia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Munajat Cinta Shafiya[END]
Ficción General[Spiritual-Sad-Romance] •• Ditinggalkan ayah kandungnya tanpa sebuah alasan dan menjalani kehidupan baru dengan ayah sambungnya rupanya tak membuat penderitaan dan kesedihan yang dialami Shafiya berhenti. Hal buruk yang merusak mental dan jiwanya ba...