بِسْــــــــــــــــــمِاللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ🍁🍁
"Astaghfirullahal adzim ...." Shafiya berucap kaget ketika dirinya tanpa sengaja menabrak seseorang. Gadis itu mengibaskan tangannya yang terbentur ujung pagar besi kasar. Berdarah!
"Ya Allah, Kakak." Gadis yang menabrak Shafiya itu terkejut melihat darah mengalir di tangan Shafiya.
"Kak! Kak!" teriaknya kepada seorang Santriwati yang tak sengaja melintas.
Gadis dengan balutan gamis berwarna krem itu menunjuk pada Shafiya. Sontak, Santriwati itu terkejut melihat luka di tangan Shafiya.
"Ke kamarku aja, yuk! Kita obatin tangan Kakak," ucapnya.
"Eh, nggak usah! Nggak papa, kok."
"Nggak papa gimana? Itu tangan Kakak berdarah, lho. Kalau nggak langsung diobati, takutnya infeksi. Ayo!" Santriwati itu membantu Shafiya berdiri, kemudian mengajak dia ke kamarnya diikuti gadis yang memanggilnya tadi.
"Dicari'in dari tadi, kamu kemana aja sih?" omel seorang Santriwati lainnya yang berada dalam kamarnya. "Loh, dia kenapa, Ren?" tanyanya pada gadis yang membantu Shafiya duduk.
Rena meminta Shafiya duduk di tepi ranjang. Sementara dia mengambil obat antiseptik, kapas dan perban di dalam tasnya.
"Kak, maafin Jihan, ya?"
"Oh, ini gara-gara kamu? Jihan, udah dibilangin nggak usah ngeyel mau pergi. Jadinya nabrak orang, 'kan?" tegurnya pada gadis perempuan yang masih duduk dibangku MI itu.
Jihan, gadis itu menunduk sambil memilin-milin jarinya. Matanya sudah berkaca.
"Eh, nggak papa, kok. Ini saya yang salah," bela Shafiya. Dia tak tega melihat bocah perempuan yang kini duduk di dekatnya akan menangis.
"Kalau dilihat-lihat, Kakak itu yang deket sama Ning Hana dan yang barusan bershalawat itu, 'kan?" tanya Rena setelah menghampiri Shafiya dan duduk di sampingnya.
Shafiya tersenyum simpul. Meski dalam hati sedikit heran dengan ucapannya itu. Dekat dengan Hana?
"Kakak yang tadi bershalawat itu, ya? Masyaa Allah, aku terpukau lho sama suara Kakak. Lembut banget!" puji teman Rena yang datang menghampirinya.
Rena tersenyum. "Iya, Kak. Kita terpesona banget sama suara Kakak. Oh iya, Kakak itu lulusan Pesantren mana?" tanyanya.
Deg!
Shafiya menelan ludah. "Sebenarnya ... aku bukan anak Pesantren," jawabnya ragu-ragu.
Rena dan temannya itu saling terdiam sejenak, kemudian saling lirik.
Melihat reaksi dari kedua gadis itu, Shafiya tersenyum hambar. Dia mengerti. Mereka pasti mengira dirinya aneh. Sudah biasa dan mereka bukan orang pertama yang memandangnya sebelah mata.
Rena menggeleng seraya tersenyum. "Pantes aja!"
Kening Shafiya mengerut. "Pantes apa?"
"Pantes kalau Gus Zai milih Kakak sebagai calon istrinya. Karena ... Kakak itu istimewa. Kakak nggak mesantren tapi Kakak bisa mengimbangi kami, bahkan melebihi kami yang belum berkeinginan bercadar."
Shafiya mengerjap. Kenapa malah nyambung kepada Zaidan?
"Apa hubungannya dengan Gus Zaidan?"
"Kakak itu calonnya Gus Zai, 'kan? Kita sempet lihat Kakak juga gadis yang sama yang akrab sama Ning Hana tempo hari," jawab perempuan satunya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Munajat Cinta Shafiya[END]
Narrativa generale[Spiritual-Sad-Romance] •• Ditinggalkan ayah kandungnya tanpa sebuah alasan dan menjalani kehidupan baru dengan ayah sambungnya rupanya tak membuat penderitaan dan kesedihan yang dialami Shafiya berhenti. Hal buruk yang merusak mental dan jiwanya ba...