Bagian 29 : Gagal move on

2.5K 178 0
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِاللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

اللَّهُمَّصَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

“Entah takdir seperti apa yang membuatku kembali kepadamu, walaupun aku sudah berulang
kali menjauh.
Jika ini adalah ujian dari keimananku,
maka kumohon, Ya Rabb ....
Jangan biarkan hatiku goyah!
Buatlah aku fokus pada tujuanku saja,
Yakni mencari ridha-Mu.”
Shafiya Malik Anggiya

🍁🍁

Shafiya:
Aku sama sekali tak menyangka kalau aku dan Hana akan memiliki banyak kesamaan. Dari mulai Ustadz favorit kami yaitu Ustadz Adi Hidayat sampai makanan kami yang sama-sama suka seblak. Dulu waktu usianya tiga belas tahun, Hana bisa menghabiskan dua mangkuk seblak dalam satu hari. Hal itu juga yang membuat dia kerap dimarahi Kakak, Umi atau bahkan Abinya karena kebiasaan buruknya itu. Pernah satu kali Hana nekad memesan seblak dengan level pedas 2 kali lipat dari biasanya dan membuatnya sakit perut keesokan harinya. Kakaknya langsung memarahinya dan melarangnya makan seblak lagi. Tapi, Hana tetap pada sifat kekanak-kanakannya, seminggu setelah dia sembuh dia kembali memakai seblak lagi walau tak sepedas yang membuatnya sakit.

“Mereka kaya gitu karena khawatir sama kamu, Na.” Aku mengucapkan itu setelah berhasil menetralir tawaku karena mendengar kisahnya.

“Iya sih, habis gimana? Kalau nggak pedes kaya nggak lagi makan seblak, tapi sup,” jawabnya seraya terkekeh.

Aku tersenyum. Iya juga sih. Dulu, sebelum aku sakit, aku adalah pencinta seblak juga. Bahkan saat pertama kakiku menginjak di Jakarta, makanan yang kucari adalah seblak. Tapi, itu dulu! Sekarang aku tak berani lagi. Kalaupun memakannya, tak akan sepedas ketika aku belum sakit.

“Oh iya, Kak. Kakak udah nikah belum?” tanya Hana padaku. Aku menggeleng.

“Tapi calon ada?”

Aku menggeleng. Selama ini sehari-hariku disibukkan merawat ayah dan diriku sendiri. Mana pernah aku berfikir menikah! Kalaupun iya aku mengagumi seseorang, aku tak berani meminta dia kepada Allah agar dia menjadi pasanganku. Aku sadar diri perbedaan kami begitu jauh.

“Saat ini aku belum berfikir untuk menikah. Masih banyak yang harus aku capai, aku juga mau belajar menghafal Qur’an,” ungkapku. Karena kajian tadi membahas betapa istimewanya al-Qur’an telah menyadarkanku betapa mulianya kitabullah itu. Aku bertekad akan berusaha menghafal serta mengamalkannya.

“Wah ... berarti pas banget ya kita ketemu!”

Aku mengerutkan kening. Pas apa maksudnya?

“Kakak aku seorang Hafidz Qur’an, nanti aku coba bilang deh sama dia. Pasti dia mau ngajarin Kakak.”

Aku sontak tertegun. Masyaa Allah, benarkah ini? Eh, tapi ‘kan aku bolak-balik Jakarta ke Bogor, masa iya setorannya nanti lewat online?

“Enggah ah! Aku takut ngerepotin,” sahutku tak enak.

Hana tersenyum. “Enggak papa, Kak. Nanti kalau Kakak pulang lagi ke Bogor, kakak setor hafalannya lewat HP aja.”

Memang aku sudah bercerita padanya kalau aku sebenarnya asli Bogor. Aku ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah dan tinggal bersama Ayah.

Percakapan kami terhenti saat mobil Hana tiba-tiba berhenti. Aku menengadahkan pandangannya ke depan. Rupanya macet.

Munajat Cinta Shafiya[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang