بِسْــــــــــــــــــمِاللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ“Ketika harapan tak sesuai dengan kenyataan, manusia terkadang lupa kalaulah semua yang terjadi di alam semesta ini, setiap kejadian tiap detiknya itu semua telah diatur oleh Sang Maha Kuasa. Apa yang kita rencanakan, apa yang diharapkan, mau setertata dan seapik apapun kita merancang masa depan, bagaimana itu bisa terjadi kalaulah karena bukan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pada dasarnya kita semua hidup berdasarkan aturan-Nya.”
——•
•Peran Ayah dalam pertumbuhan seorang anak, terutama perempuan memang sangat berpengaruh. Jika Ibu akan menjadi tempat curhatan mereka, Ayah akan menjadi sosok pelindung. Sosok penguat sekaligus benteng agar kelak seorang anak perempuan tidak mudah termakan rayuan laki-laki. Karena ketakutan itulah, demi memenuhi kebutuhan kasih sayang dalam peran Ayah bagi Shafiya, Laras memutuskan untuk menikah kembali dengan harapan agar Shafiya tetap bisa memiliki kasih sayang yang utuh dari orang tuanya. Namun, Laras tidak menyadari, bahwa antara ayah kandung dengan ayah tiri tentu akan sangat berbeda.
Walaupun nantinya Indra menyayangi Shafiya seperti mantan suaminya dulu menyayangi Shafiya, apa itu akan menggantikan posisi ayah kandung Shafiya? Tentu tidak!
Kenyataannya ... apa yang dilakukan Laras saat ini justru malah membuat kebingungan dalam diri Shafiya.
Terlebih saat dia selalu mengelak dan tertutup jika Shafiya bertanya tentang Ayah kandungnya.
“Ibu tidak tahu.” Itu yang sering Laras katakan saat Shafiya berusaha mencari tahu soal Ayahnya.
Satu tahun berlalu dari awal mereka pindah, Shafiya mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan mereka. Walaupun kadang-kadang dia selalu minder pada teman-temannya dan sering bertengkar dengan Raftan.
•••
“Assalamu’alaikum.” Indra berucap salam setelah membuka pintu.
“Wa’alaikumussalam.” Kening Laras menyerngit. Diliriknya jam yang masih menunjukan pukul sembilan pagi. Tumben sekali suaminya sudah pulang sepagi ini.
Laras melangkah mendekat dengan secangkir teh di tangannya. Setelah menyodorkan di hadapan suaminya tersebut, Laras ikut duduk di sampingnya.
“Tumben udah pulang, Mas. Emang udah selesai kerjanya?” tanya Laras menatap wajah suaminya yang lesu.
Indra menatap Laras sekilas. Dia menghela nafas. “Aku dipecat dari toko.”
Laras membekap mulutnya. “Astaghfirullahal adzim ... kenapa dipecat, Mas? Kamu buat salah?” tanyanya dengan panik. Jelas saja dia panik, bagaimana nasib kehidupan mereka ke depannya kalau Indra tidak bekerja?
“Dia dan keluarganya akan pindah keluar kota dan akan menjual rumahnya, termasuk toko tempat aku bekerja,” jelasnya.
Laras menghela nafas. Teringat kalau dua hari lagi, Shafiya dan Raftan sudah mulai masuk TK.
“Terus gimana sama anak-anak, Mas?” Laras bertanya frustasi.
Indra menggeleng. Dia meletakkan kepalanya di sandarannya sofa. Wajah letih, lesu dan bingungnya terlihat jelas. Harus mencari pekerjaan di mana lagi dengan status pendidikannya yang hanya lulusan SMA.
“Ibu ...!” panggil Shafiya berlari ke ruang tamu. Laras dan Indra menoleh. Keduanya terkejut melihat Shafiya menangis.
“Sayang, kamu kenapa?” tanya Laras khawatir. Indra menghela nafas. Pasti Shafiya bertengkar lagi dengan Raftan.
Shafiya menunjukan bonekanya yang kotor terkena lumpur. “Latan jahat! Latan jatuhin boneka Fiya ke lumpul ...,” ucap Shafiya dengan hidung memerah dan mata berlinang.
Tak lama kemudian, Raftan juga datang menghampiri mereka.
“Raftan, kenapa boneka Shafiya sampai jatuh?” tanya Laras.
“Aku nggak sengaja nendang bola ke alah bonekanya Fiya, Ibu.” Raftan menjawab dengan sangat tenang tanpa merasa bersalah. Terlalu sering bertikai dengan adik tirinya itu membuat Raftan menjadi kurang empati dan terkesan sedikit nakal.
“Raftan, harusnya kamu lebih hati-hati dong mainnya! Lihat, boneka Shafiya jadi jatuh dan kotor.”
“Udahlah, Ras. Biarin aja. Namanya juga anak kecil.” Indra yang sedari tadi bungkam angkat bicara. Semakin hari, dia berfikir kalau Shafiya ini terlalu cengeng.
“Ya nggak bisa gitu dong, Mas. Raftan aku lihat akhir-akhir makin berani sama Shafiya,” serga Laras.
“Ya kamu jangan salahkan anak aku doanglah! Anak kamu juga ajarin biar nggak terlalu cengeng!” bantah Indra. Dia sedang cape. Ditambah lagi dengan perasaan kalutnya yang dipecat dari pekerjaan, membuat Indra menjadi sulit mengendalikan emosi.
Laras tertegun. Anak kamu? Apa maksud Indra barusan?
“Ouh ... jadi Shafiya cuma anak aku, ya? Bukan anak kamu juga begitu?”
Hal fatal yang kadang tidak disadari kedua orangtua yang mengenai mental anak adalah pertengkaran mereka yang terjadi di depan mata mereka, dan itu yang dilakukan Indra dan Laras. Laras yang tak terima anaknya disalahkan dan tak mau memahami seperti apa emosi suaminya sekarang dan Indra yang lepas kendali karena masalah yang dialaminya.
Raftan beranjak pergi. Sedangkan Shafiya, gadis itu hanya meringsut takut dengan tangis yang semakin kencang.
•••
“Fiya, ambil bolanya!” teriak seorang gadis dengan kerudungan krem dengan pita di pinggirnya. Dia adalah Vina, salah satu teman Shafiya di kelas.
Shafiya menoleh ke belakang. Bola itu menggelinding jauh ke jalan raya.
“Kenapa cuma dilihatin, sih? Cepetan ambil!!”
“Nggak mau. Ambil aja sendiri!”
Vina menghentakkan kakinya. Dia berlari menuju seorang guru pria yang sedang mengobrol di pinggir lapangan. “Pak ... Pak Anwar, Shafiya nggak mau ambil bolanya,” adunya.
Shafiya mendengus. Dia menatap sinis Vina yang selalu saja melaporkan setiap perbuatannya. Hal itu pula yang membuat hubungan mereka tak pernah akur sejak pertama mereka memasuki sekolah tingkat SD dua tahun yang lalu.
‘Dasar Manja!’ Itulah kiranya pemikiran Shafiya kepada teman sekelasnya itu.
Berbeda dengan Shafiya yang baru memasuki kelas satu tingkat SD, Raftan berbeda satu tahun lebih awal dibandingkan dirinya. Indralah yang memutuskan untuk menyekolahkan Raftan terlebih dulu dibanding Shafiya. Karena hal itu jugalah, dia dan Laras menjadi sering berdebat.
“Kamu lebih sayang Raftan dibandingkan Shafiya, mana janji kamu dulu waktu melamar aku, kamu berubah, Mas. Kamu pilih kasih. Kamu nggak adil!”
“Raftan itu anak laki-laki. Dia lebih membutuhkan pendidikan tinggi dibanding Shafiya. Kenapa? Karena nanti dia akan bertanggung jawab untuk menghidupi keluarganya. Dia harus kerja! Kamu fikir gampang nyari kerjaan kalau pendidikannya rendah?”
Jika Laras dan Indra sedang bertengkar di rumah, Shafiya mengurung dirinya di kamar sedangkan Raftan memilih bermain bersama teman-temannya. Lambat laun, ketidakharmonisan dalam rumah itu, membuat para penghuninya tak betah sehingga masing-masing sibuk mencari ketenangan di luar. Baik Shafiya maupun Raftan, keduanya sama-sama lebih suka berada di luar rumah dan kurang menghormati kedua orang tuanya.
•
•
•
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Munajat Cinta Shafiya[END]
Ficción General[Spiritual-Sad-Romance] •• Ditinggalkan ayah kandungnya tanpa sebuah alasan dan menjalani kehidupan baru dengan ayah sambungnya rupanya tak membuat penderitaan dan kesedihan yang dialami Shafiya berhenti. Hal buruk yang merusak mental dan jiwanya ba...