Bagian 16 : Menyerah?

2.7K 176 0
                                    


  بِسْــــــــــــــــــمِاللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

——

Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sungguh Allah Maha Penyayang padamu.”
QS. 04 [An-Nisa]:29


🍁🍁

Reihan sampai di rumahnya dengan perasaan dan fikiran yang berkecamuk. Lelaki itu mengusap wajahnya kasar, kemudian melepaskan jas Dokternya untuk ia sampirkan di sofa.

“Saya mohon ... bantu saya temukan anak saya. Saya mohon ... saya mohon bantu saya bertemu dengan putri saya. Saya mohon ....”

Reihan menghela nafas begitu perkataan Pak Dimas—pria yang dia tolong itu meminta bantuannya untuk menemukan putrinya. Sedangkan modal yang dia punya untuk mencari keberadaan putrinya itu hanya selembar foto, itupun saat usia 4 tahun. Reihan ingin abai, tetapi saat dia melihat hasil tes terakhir dari pria itu, Reihan shock karena ternyata Pak Dimas menderita kelainan jantung.

“Ya Allah ... hamba ingin membantunya, tapi hamba bingung mau mencari anaknya kemana? Berikan hamba petunjuk-Mu, Ya Rabb,” ujarnya.

Reihan melirik jam yang sudah menunjukan pukul 10 malam. Sepertinya dia harus segera membersihkan diri, lalu menunaikan shalat agar fikirannya sedikit fresh dan tenang. Semoga saja dengan shalat malam yang dia kerjakan, Allah dapat memberinya petunjuk dalam mencari keberadaan anaknya Pak Dimas itu.

•••

Shafiya:

Aku menemui Kak Raftan yang sedang asyik nongkrong bersama kedua temannya. Andi dan Gibran. Sedangkan Rio sudah disekolahkan oleh kedua orang tuanya ke Pesantren. Sebetulnya, ketika Ibu memberitahuku alasan dia menjual rumah adalah untuk menebus ganti rugi atas kerusakan yang dilakukan Kak Raftan saat dirinya terlibat tawuran, saat itu juga aku ingin langsung menemui Kak Raftan kalau saja Uwak Ayu tak melarangku. Dan malam ini, saat semua sudah tertidur, aku nekad pergi dari rumah untuk menemui Kak Raftan. Aku tak ingin menyiakan kesempatan ini. Aku ingin bertanya apa yang membuat Kak Raftan sampai bertindak kelewatan seperti ini.

“Shafiya?”

Aku mendongakkan kepala saat Kak Andi menyebut namaku. Aku melihat Kak Raftan dan Kak Gibran juga ikut menoleh padaku. Kak Raftan tersenyum padaku dan menghampiriku. Dia merentangkan tangannya, tapi dengan cepat aku menghindar. Aku sungguh kecewa padanya. Padahal, saat aku berangkat di hari pertama bekerja, aku meminta Kak Raftan untuk menjaga Ibu dan Kak Raftan berjanji untuk itu. Tapi apa yang dia buat, Kak Raftan bukan cuma melanggar janjinya tapi juga membuat seluruh keluarga menderita.

“Kenapa, Kak? Kenapa Kakak lakuin semua ini?” tanyaku dengan suara bergetar. Rasanya aku ingin menangis, tapi sebisa mungkin kutahan.

Aku melihat Kak Raftan mengerutkan dahinya. “Maksud kamu apa, Dek?”

Aku tersenyum kecut. Kak Raftan lupa atau berpura-pura lupa?

“Rumah kita dijual ... itu karena Kakak, ‘kan?”

“Oh ... jadi kamu udah tahu?” Kak Raftan terlihat biasa saja.

“Ya baguslah! Tadinya Kakak berniat tidak akan memberitahu kamu soal ini, tapi karena sudah terlanjur, yasudah,” lanjutnya yang semakin membuatku menggeleng tak percaya. Bisa-bisanya Kak Raftan setenang itu.

“Oh iya, Dek. Kebetulan Kakak lagi pesta, kamu tahu? Kakak barusan menang balap motor. Ayo kita gabung!” Kak Raftan menggandeng tanganku, tapi aku segera menepisnya. Kemarahanku sudah di ujung tanduk sekarang.

“Aku kecewa sama kamu, Kak. Setelah apa yang Kakak lakuin untuk keluarga kita, sekarang Kakak malah bisa-bisanya ketawa nggak jelas di sini! Kakak tuh udah terjerumus pergaulan bebas, Kakak tuh sadar nggak sih?!” Suaraku naik satu oktaf. Sungguh, aku benar-benar tak habis fikir dengan jalan fikiran Kak Raftan.

“Lalu kamu sendiri? Kamu sendiri bagaimana?” tanya balik Kak Raftan padaku. Aku tak mengerti.

“Jangan pura-pura tegar, Shafiya! Kamu fikir Kakak bodoh? Kamu fikir Kakak nggak tahu alasan kamu menerima pekerjaan di kota untuk apa? Untuk mengalihkan fikiran kamu dari ketidak nyamanan di rumah kita, ‘kan?”

Deg!

Aku seketika terpaku di tempat. Air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya luruh juga.

“Kamu masih bernasib baik dengan bisa keluar dari rumah itu dan bekerja di tempat jauh, tapi Kakak? Kakak setiap hari harus dihadapkan dengan luka di masa lalu yang masih membekas sampai sekarang. Iya, mungkin Ayah udah berubah. Ayah udah nggak pernah bentak-bentak atau bersikap kasar lagi sama Ibu, tapi kamu sendiri juga pasti tahu, Shafiya, apa yang sudah mereka perbuat untuk kita di masa lalu. Masa kecil kita yang harusnya bahagia tapi malah dipenuhi bentakan, ketidakpedulian, kata-kata kasar, apa semua itu bisa hilang dan terlupakan dengan mudah? Sama sekali enggak!”

Aku menunduk. Aku tak bisa mengelak dari itu semua karena memang benar. Bahkan, sampai saat inipun aku akan sensitif jika mendengar bentakan di dekatku. Aku berusaha untuk memastikan diriku baik-baik saja, tapi ternyata aku tidak sekuat itu. Aku rapuh.

“Maaf, Shafiya. Tak mudah Kakak bisa percaya dengan sebuah hubungan setelah apa yang kita alami di masa lalu. Kakak perlu waktu. Disaat Kakak tidak mendapatkan kesenangan di rumah, tapi Kakak mendapatkan kesenangan itu di luar.”

Kak Raftan memegang kedua bahuku. Saat itu, tak ada yang bisa kulakukan selain menunduk dan menangis.

“Saran Kakak! Sebaiknya kamu cepat kembali ke tempat kerjamu itu, Dek. Setidaknya di sana kamu tidak akan terbayang dengan luka di masa lalu.”

Aku meremas kaos yang kugunakan mendengar ucapan Kak Raftan barusan. Andai Kak Raftan tahu kalau aku juga sudah dipecat.

“Pulang ya, Dek. Maaf, Kakak nggak bisa antar kamu.” Kak Raftan langsung berbalik dan melangkah pergi meninggalkanku bersama Andi dan Gibran. Bersamaan dengan itu, aku jatuh dan menangis. Dadaku terasa amat sesak. Ya Allah ... begitu banyaknya ujian-Mu kepadaku, apa Engkau tak menyayangiku? Aku lelah dengan semua ini. Aku lelah dipaksa menerima semua kenyataan ini. Aku ingin menyerah.

Menyerah? Apa mungkin dengan menyerah aku bisa bebas dengan semua penderitaan ini?

———

Shafiya menatap air sungai yang mengalir di bawahnya tempat berdiri sekarang. Tatapannya kosong. Bayangan tentang wajah semua keluarganya terlintas di benaknya.

“Aku udah cape ....” Shafiya semakin mendekati langkahnya di tepi jembatan. Matanya terpejam dengan kedua tangan yang dia rentangkan.

“Selamat tinggal ....”


——
Tbc

Munajat Cinta Shafiya[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang