• Sibuk?
• Jika lelah jangan memaksakan dirimu. Tubuhmu juga perlu istirahat.Hanya itu kalimat yang dikirimkan Ishvara melalui pesan singkat. Wanita itu baru saja tiba di apartemennya setelah mengantarkan Iris dan Aluna. Lampu apartemen yang semula mati kini ia nyalakan satu persatu.
Dinding apartemennya yang berwarna putih terlihat hangat ketika cahaya kekuningan dari lampu sorot dapur dinyalakan.
Ishvara melingkis lengan blouse lalu mengikat rambutnya. Jari lentiknya itu mengambil beberapa bahan yang dikeluarkan dari lemari pendingin. Meskipun ia sudah makan tadi. Namun dirinya ingin membuat makanan yang bisa dinikmati ketika malam.
Ishvara menyandarkan pinggangnya pada kabinet dapur sambil membuka ponselnya mencari resep sederhana yang bisa dia gunakan. Kini di mejanya sudah tersedia yogurt, granola, madu dan beberapa bahan lainnya.
Malam ini Ishvara hanya akan membuat camilan sederhana memanfaatkan bahan yang ada di dalam lemari pendingin miliknya. Ketika semua bahan telah Ishvara campurkan. Dirinya kini duduk di meja makan sembari membuka ponselnya.
Tangannya menyuap yogurt ke dalam mulut dengan mata yang memandangi ponsel. Pesan yang ia kirimkan pada Kave sama sekali belum mendapatkan jawaban. Namun sebuah pesan singkat dari Arno membuat fokus Ishvara terpecah.
Kakaknya itu mengirimkan sebuah foto segelas cocktail. Hanya dengan melihatnya sekilas ia yakin Arno tengah berada di pesta. Senyuman tipis sedikit mengembang di bibir Ishvara. Hingga tanpa sadar suapan terakhir telah ia lakukan.
Ishvara beranjak dari meja makan mencuci mangkuk serta sendok yang ia gunakan. Tidak lupa dirinya mematikan lampu-lampu sudut dapur. Setelah mencuci tangannya Ishvara bergegas pergi menuju pintu kamarnya.
Di saat yang bersamaan bel apartemen Ishvara berbunyi. Dirinya pun segera keluar melihat siapa yang datang. Begitu pintu di buka Kave berdiri di hadapan Ishvara dengan wajah yang terlihat lebih lelah. Mau tidak mau Ishvara harus mempersilahkan pria itu untuk masuk.
Kave duduk di sofa sembari menumpu tangannya pada lutut. Kedua jarinya bertautan dengan kepala yang menunduk. Aura dominan yang biasa terlihat di pria itu kini tampak surut.
Ishvara menuangkannya air ke dalam gelas lalu meletakkannya. Segelas air tersebut Ishvara letakkan tepat di meja yang berada di hadapan Kave.
Pantas saja Iris merasa khawatir. Keadaan Kave sama sekali tidak bisa dikategorikan baik-baik saja. Pria itu biasanya selalu berpakaian rapi, tak lupa juga dengan rambutnya.
Namun kali ini benar-benar terlihat berantakan. Rambutnya yang biasanya tersisir rapi kinu berantakan. Wajahnya terlihat lelah dengan lengan kemeja yang dilingkis ke atas. Serta satu kancing kemeja di bagian atas terbuka menampilkan sedikit dada bidang pria tersebut.
Hal ini membuat Ishvara tak kuasa menatap Kave lebih lama lagi.
"Iris mengatakan padaku tentang kau yang selalu pulang dini hari. Dia khawatir, namun ada perjalanan bisnis yang membuatnya tidak bisa bertemu denganmu. Jadi dia meminta bantuanku untuk berbicara."
Pria itu masih diam pada posisinya. Tangannya yang sebelumnya hanya bertautan kini saling menggenggam.
"Ishvara," panggil Kave dengan kepala yang terangkat.
Ishvara pun menanggapi panggilan tersebut dan melangkah lebih dekat. Kave tampak menegadahkan kepalanya melihat wanita yang berdiri tepat di depan posisi duduknya.
"Jika aku memberimu cincin ini apa kau akan menerimaku?" tanya Kave dengan nada sendu.
Ishvara sedikit terkejut ketika Kave mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah. Di isi sebuah cincin dengan desain sederhana namun terlihat begitu cantik.
Tidak mungkin Kave menjadi begitu berantakan hanya karena tidak berani memberinya sebuah cincin pada Ishvara.
Mata bulat Ishvara menatap lekat cincin yang berada di jari besar milik Kave. Perasaan aneh berkecamuk dalam dirinya. Ishvara mengingat kembali kenangan buruk Ishvara Berenice. Bukan Ishvara tidak ingin menerima. Namun ia takut akan takdir yang sudah digariskan.
Ishvara hanya berharap dirinya bisa lebih berani dalam mengambil keputusan. Ishvara ingin, namun jarinya yang bergerak mendekati telapak tangan pria di depannya terasa kaku. Masih ada ketakutan yang terbenam di dalam dirinya.
Perasaan ragu memenuhi pikiran nya. Ishvara perlahan menggenggam telapak tangan Kave yang berukuran lebih besar dari telapak tangannya. Hingga cincin yang di bawa pria itu tenggelam di dalam genggaman keduanya.
"Jika aku menerimanya apa tidak akan ada masalah?" tanya Ishvara ragu. Wanita hanya ingin meyakinkan kembali dirinya mengenai keputusan apa yang akan dia pilih kemudian.
Sesaat kemudian Ishvara mengangguk ragu mengiyakan. Pria itu menyunggingkan senyuman tipis. Lalu mulai memasangkan cincin di jari lentik Ishvara. Begitu cincin sudah tersemat di jari cantik tersebut. Kave mengangkat telapak tangan Ishvara dan mengecup punggung tangan wanitanya penuh kasih.
"Terima kasih."
Ishvara diam tidak tahu harus bersikap seperti apa. Perasaan aneh yang tidak bisa ia jelaskan. Namun ada keraguan dan rasa gelisah yang datang bersamaan sekaligus.
Ishvara mencoba mengabaikan perasaan gelisah untuk kali ini. Namun melihat Kave memasang ekspresi wajah yang sedikit lebih baik daripada sebelumnya membuat Ishvara membuang jauh-jauh pikiran anehnya.
"Aku hanya tidak ingin kehilangan untuk kesekian kalinya."
Kave menggenggam kedua telapak tangan Ishvara sambil menuntun wanita tersebut berdiri tepat di depan posisi duduknya.
"Aku merupakan anak angkat di keluarga Iris. Tetapi aku juga masih memiliki orang tua kandung."
Kave mulai menceritakan tentang permasalahannya. Sedangkan Ishvara mendengarkan dengan seksama.
Semuanya berawal dari Kave yang ingin memberikan bantuan terhadap ayah dan ibu angkatnya. Dirinya telah berjanji memberikan seperempat dari gajinya untuk bisnis keluarga Iris.
Namun tiba-tiba kedua orang tua kandungnya datang dan meminta bantuan biaya untuk operasi pengangkatan tumor. Selain itu tumor yang berada di bagian yang cukup vital membuat biaya operasinya cukup tinggi. Operasi untuk ibu kandungnya harus segera dilakukan minggu ini namun gajinya sebagai supervisor tidak mencukupi.
Seperempat dari gajinya sudah Kave berikan namun ia tidak mungkin menyerahkan seluruh sisa gajinya. Kave hanya bisa memberikan separuh gajinya untuk membantu. Namun itu tidak cukup untuk biaya operasi akhir bulan ini. Tabungannya hanya mengandalkan dari investasi properti. Jadi dia tidak bisa mengambilnya untuk keperluan mendadak. Jika saja ada, maka tidak tersisa sedikitpun untuk dirinya.
Mau tidak mau Kave harus mencari tambahan pekerjaan.
"Apa sudah mengatakannya pada Iris?" tanya Ishvara yang tampaknya mulai paham kenapa Kave harus bekerja begitu kerasa akhir-akhir ini.
"Tidak aku sudah berjanji, jadi tidak mungkin mengambil uang yang telah kuberikan. Lagipula aku ingin membalas kebaikan mereka yang merawat dan memperkenalkan ku hingga dapat bekerja seperti saat ini."
Ishvara menggelengkan kepalanya ringan.
"Aku pikir Iris dan keluarganya akan mengerti. Atau ingin aku membantu?" usul Ishvara mencari solusi namun ditolak mentah-mentah oleh pria tersebut."Vara, sebenarnya sudah terlambat."
"Apa? Apa maksudnya?" tanya Ishvara tertegun dengan jawaban Kave.
Kave kini mendudukkan Ishvara di pangkuannya. "Bisakah aku memelukmu?" tanya pria itu.
Ishvara diam sesaat sampai pada akhirnya mengizinkan. "Ya tentu."
Begitu mendapatkan persetujuan dari pemilik tubuh. Kave segera memeluk tubuh ramping Ishvara. Wajahnya ia benamkan pada ceruk leher mencari kehangatan. Jari-jari tangan Kave yang berurat merambat naik kepinggang Ishvara. Mendekap tubuh Ishvara yang lebih kecil darinya.
"Sampai akhir pun tidak bisa membantu."
Dengan gerakan ragu Ishvara mengusap rambut bagian belakang milik Kave mencoba menyalurkan kehangatan yang ia miliki.
"Tidak apa, bukankah sudah berusaha?"
ㅡㅡㅡㅡㅡ
Lebih baik update daripada enggak 😸
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cruel Duke and Duchess
General FictionHidupnya terasa berubah dalam semalam. Ishvara terbangun dari tidurnya dan mendapati dirinya tengah berada di tubuh Ishvara Berenice. Yaitu tokoh utama wanita yang bukunya sempat dia baca di kehidupan sebelumnya. Kini dia harus membiasakan diri deng...