XXXXXIII - New truth?

1K 47 0
                                    

"Semuanya benar?" tanya wanita muda itu memastikan apakah semua yang terjadi memang benar adanya.

Hiera kini duduk berhadapan dengan ayahnya yang tengah memakai baju tahanan. Untuk pertama kali mungkin ia yakin bahwa ayahnya itu tidak bersalah. Namun dirinya kini ragu. Jika memang ayahnya, tuan Wylian tidak bersalah. Tidak mungkin pihak keamanan memasukkan ayahnya kembali ke dalam jeruji besi. Terlebih lagi penggugatnya adalah orang yang berbeda.

Hiera memandangi ujung jarinya sambil menunduk. Tidak tahu harus dengan cara apa lagi diam membebaskan ayahnya. Dalam setiap napas yang dia ambil terasa begitu berat. Kini tangannya saling menggenggam erat menahan segala emosi yang berkecamuk.

"Ini semua demi kalian."

Hiera berdecak tak menyangka. "Bukankah seharusnya keluarga kita baik-baik walaupun tanpa kejahatan seperti itu?"

"Nak, kau tidak akan mengerti ㅡ"

"Benar, aku memang tidak mengerti apapun. Namun, aku tahu apa yang harus kulakukan agar tidak terjebak di dalam penjara sepertimu," tekan wanita muda itu yang seketika disambut tamparan di pipi kirinya.

"Aku membesarkan mu untuk meneruskan usaha keluarga ini. Jika tertimpa masalah seperti ini saja kau tidak sanggup mengatasi bagaimana jika aku mati?!"

Beberapa penjaga yang mengawasi mereka kini tampak mendekat ketika Hiera tak sanggup lagi menahan rasa sakit di pipinya. Pundak wanita itu hendak di cengkram. Namun tangan tuan Wylian dihadang oleh seorang penjaga.

"Jangan melakukan kekerasan." Itu adalah kalimat peringatan yang ditekankan penjaga pada tuan Wylian.

Hiera masih diam dengan telapak tangan yang memegangi pipi kirinya. Kulitnya yang putih membuat tamparan yang diberikan tuan Wylian pada putrinya meninggalkan bekas memerah.

Ketika ayahnya kembali di paksa masuk ke dalam. Tanpa pikir panjang Hiera bergegas pergi meninggalkan ruang pertemuan tersebut.

Hiera melangkah gontai hingga tanpa sadar dirinya sudah tiba di tepi jalan. Suasana sore hari tampak cukup ramai terlebih lagi mulai banyak para pekerja yang pulang. Dirinya melangkah cukup jauh dari posisinya semula. Entah sudah berapa kilometer ia berjalan.

Matanya menatap halte bus. Tempat itu dipenuhi banyak orang. Ponsel berdering membuyarkan lamunannya. Hiera menghembuskan napas kembali sebelum mengangkat panggilan masuk dari mamanya.

"HIERA! APA KAU AKAN TERUS MEMBIARKAN SUAMIKU BERADA DI DALAM PENJARA?" teriak nyonya Wylian, ibunya.

Ia tahu ibunya akan berkata seperti itu. Semua orang selalu saja mempertanyakannya. Apa yang bisa ia lakukan? Apa yang bisa ia berikan untuk keluarganya?

"Semua karena kesalahannya sendiri. Bukti yang dimiliki pihak berwajib jauh lebih kuat dan itu semua tidak bisa diselesaikan dengan uang."

"Suamiku melakukan semuanya demi keluarga Wylian. Kau adalah anak kami satu-satunya jadi jangan pulang sebelum suamiku bebas."

"Maㅡ"

Panggilan itu kini telah di akhiri. Hiera meremas kuat ponselnya seakan ingin menghancurkannya. Dirinya kini begitu lelah mengurus segala kekacauan yang disebabkan oleh ayahnya.

Pikirannya kalut, pandangannya kosong. Wanita muda itu bagaikan tak tahu arah. Tubuhnya duduk di kursi halte. Menanti bus yang akan tiba selanjutnya.

***

Sebuah telunjuk menekan bel pintu apartemen.

Ishvara keluar dan mendapati Hiera yang berada di depannya. Tampilannya benar-benar berantakan dengan mata yang sembab. Seketika Hiera memeluk Ishvara dengan isak tangis. Ishvara memilih untuk tidak bertanya dan menuntun Hiera masuk.

Keduanya kini duduk dengan Ishvara yang masih diam. Memandangi Hiera yang masih menangis di sampingnya.

"Ishvara aku tahu kau mungkin berfikir bahwa aku tidak tau malu."

Ishvara masih diam. Telapak tangannya terangkat ragu namun pada akhirnya mendarat di pundak Hiera. Telapak tangan itu menepuk-nepuk pundak Hiera perlahan menenangkan isakan yang tersisa.

Ishvara tidak lupa mengenai masa lalu. Namun ia tidak menyangka keadaan Hiera akan lebih berantakan daripada yang ia duga.

"Hiera. Bukankah kau sudah dewasa? Bahkan orang dewasa pun masih memerlukan bantuan orang lain untuk menjalani hidup." Ishvara berucap dengan nada tenang.

"Lantas apa kau bisa membantuku?" tanya wanita muda itu penuh harapan.

Ishvara menggelengkan kepalanya ringan dengan senyuman tipis yang terlihat menenangkan.

"Bukan aku tidak ingin membantu. Tapi ini saatnya belajar. Tidak semua orang terdekat bisa membantu. Hiera, kau harus mencari sendiri orang yang bisa membantumu dan gunakan dia."

"Bukankah itu terlihat jahat? Seperti aku hanya memanfaatkannya untuk mengatasi masalahku."

"Tidak apa untuk menjadi jahat. Kejahatan tidak selalu berarti buruk. Pastikan orang itu juga mendapatkan keuntungan yang setimpal."

Isakan Hiera kini mulai mereda. Wanita muda itu menatap lama wajah Ishvara dari samping. Sungguh dirinya tidak menyangka bahwa Ishvara bisa bertahan terlepas dari semua masalah yang ia alami. Jika saja ia menjadi Ishvara mungkin sejak awal Hiera akan menyerah. Terlebih lagi mengingat Ayahnya lah yang dengan sengaja membakar rumah keluarga Ishvara.

"Maaf... soal kebakaran itu. Aku tidak tau jika ayahku bertindak sejauh itu hanya agar rahasianya tidak terbongkar."

"Lupakan saja. Lagipula sudah berlalu benar?" ucap Ishvara tenang sambil tertawa ringan seperti ia telah menerima segalanya.

Hiera masi memandangi Ishvara. Sepertinya benar bahwa dirinya memang kekanakan. Dia harus lebih banyak belajar dari Ishvara. Perjuangan kakak angkatnya itu bukanlah hal yang biasa. Bertahan di dunia yang kejam ini dengan mengandalkan kemampuan memang benar adanya.

"Aku yakin kau bisa mengatasi masalahmu. Tidak tahu bagaimana caranya."

Selama kurang lebih satu jam Ishvara mencoba berbicara dengan Hiera. Adiknya itu menceritakan segala keluh kesahnya. Ishvara hanya mendengar dan memberi saran. Selebihnya bisa berhasil tergantung bagaimana caranya Hiera menyelesaikan.

"Ishvara terima kasih. Aku sungguh malu."

"Tidak apa. Hati-hati di jalan."

Selesai dirinya mengantar Hiera keluar dari dalam apartemen. Ishvara kini masuk kembali melanjutkan kegiatannya. Sejenak Ishvara melupakan masalahnya sendiri.

Orang tuanya memang meninggal dalam kebakaran tersebut. Namun tidak dengan kakaknya. Lagipula rasanya mustahil mengingat Arno mengatakan bahwa dirinya adalah Maximiliant. Butuh waktu bagi Ishvara untuk dapat menerima.

Ishvara mengeratkan pelukan pada tubuhnya sambil memandangi jendela kaca dari dalam apartemen. Seperti malam-malam yang telah dia lalui sebelumnya. Ishvara kini seorang diri menatap langit malam dengan sedikit bintang yang terlihat. Angin malam yang dingin menerbangkan ujung gaun tidur yang ia kenakan.

Semuanya kini terlihat lebih mustahil. Mulai dari dirinya yang tiba-tiba berada di dunia asing. Lalu dirinya kembali ke kehidupannya dan mendapati kabar yang cukup membuatnya tidak habis pikir.

Arno, tidak tahu apakah yang dikatakan pria itu benar. Rasa sedikit mustahil jika pria tersebut adalah Maximiliant sang kakak. Namun Samuel ada di sana. Satu-satunya orang yang ia percaya setelah ayah angkatnya George. Bagaimana mungkin ia tidak menyadari bahwa Samuel sengaja dikirimkan untuk menemaninya.

Sejak awal ternyata kakaknya berada tidak jauh dan terus mengawasinya. Hubungan seperti itu bagaimana bisa Ishvara tidak menyadari?

Kepalanya kini benar-benar berdenyut. Jari-jari lentiknya memijat pelipisnya pelan. Lagipula tidak banyak yang bisa Ishvara ingat. Saat itu ia ditinggalkan ketika masih kecil. Jadi Ishvara masih bingung harus dengan cara apa ia memastikan kebenaran ucapan Arno.

Lalu bagaimana bisa Kave mendapatkan informasi lebih cepat daripada dirinya.
Mungkinkah ini yang dimaksud terlalu ikut campur mengenai urusannya?

The Cruel Duke and DuchessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang