Lembar Baru (3)

18 3 0
                                    

Malam itu Gumitir pulang diantar Bentala, dia baru pulang dari Kafe Kusuma dan menonton Bentala sebagai barista di meja konter. Dia juga memakan beberapa kue, dan dia juga sudah bertemu dengan Indah ipar dari Bentala. Bagi Gumitir Indah adalah orang yang baik, dia begitu menyayangi Bentala— Gumitir dapat merasakan hal itu. Gumitir pun semakin mengenal Bentala, panggilannya Tala, anak piatu dan ayahnya pergi entah ke mana dan dia tinggal sendirian di rumah.

"Mural-mural ini dilukis siapa?" ucap Gumitir saat mengunjungi Bentala yang sedang menyiapkan pesanan pengunjung.

"Mas Burhan, mural di sini semuanya dilukis olehnya" Gumitir memperhatikan mural-mural di dinding putih Kafe Kusuma. Ada mural anak perempuan yang tengah menaki ayunan yang talinya dikaitkan pada bulan, juga ada mural kopi dan beberapa mural lainnya.

"Gumitir! Aku udah baca novelnya, seru banget" suara riang gembira tanpa beban itu adalah suara Luna yang mengenakan baju waiters Kafe Kusuma, rambutnya panjang tergerai dan berkacamata. Kulitnya cerah, apalagi dia adalah orang yang selalu ceria, jadi kulitnya terlihat semakin cerah. Dia adalah waiters yang part time di Kafe Kusuma, dia masih SMA dan jam kerjanya sepulang sekolah. Gumitir dan Luna kini dekat karena Luna sering meminjam novel Gumitir, kadang kala komik yang Luna pinjam "aku boleh pinjam seri yang ketiganya?" ucap Luna dengan penuh semangat. Gumitir hendak menjawab permintaan Luna namun Sari datang mengambil pesanan dan menatap dingin pada mereka berdua.

"Jangan mengobrol kalau kerja" ucap Sari datar dan membuat Luna serta Gumitir diam. Bahkan Bentala dan Herlambang juga diam yang sedari tadi membicarakan game yang baru saja rilis.

"Nanti aku bawa ya" ucap Gumitir pelan setelah Sari pergi untuk menghantar pesanan pengunjung.

Lalu Bentala hendak menghantar Gumitir pulang karena sudah jam setengah tujuh malam. Kafe Kusuma akan memasuki jam-jam ramainya sehingga Gumitir merasa tidak enak kalau terus di sini, dia takut menganggung Bentala kerja. Gumitir hendak pulang sendiri namun Bentala mencegahnya dan memaksanya untuk menghantarkan Gumitir pulang. Saat itu hanya Herlambang yang sadar akan sikap kesal Sari pada Bentala yang semakin dekat dengan Gumitir.

"Tala jadi makin dekat dengan Gumitir, mungkin tidak lama lagi kita akan diundang ke pernikahan mereka" ucap Herlambang sembari mengelap gelas yang basah.

"Heh? Tapi Gumitir masih SMA" ucap Luna menentang.

"Siapa tahu kan? Setelah Gumitir lulus SMA?" Herlambang mengangkat bahu, seolah kemungkinan itu bukan datang dari pikirannya.

"Kak Her nih seperti memahami Kak Tala, kalian sering saling curhat ya?" selidik Luna.

"Mana ada cowok saling curhat, kami bisa saling memahami tanpa berbicara jika berkaitan dengan perasaan" Herlambang meletakkan gelas ke bawah konter lalu mengambil piring untuk ia lap dengan serbet.

Luna tidak langsung percaya, bagaiman orang bisa saling memahami tanpa berbicara? "Memang cara cowok paham satu sama lain itu bagaimana?"

"Kelamin kami mengirim sinyal perasaan kami pada kelamin cowok yang lain, oleh karena itu kami para cowok dapat memahami perasaan satu sama lain" Herlambang menahan tawa setelah mendengar ucapannya sendiri.

"Kaya lumba-lumba?" ucap Luna polos, cewek ini padahal cantik tapi sangat mudah dibodohi.

"Betul, kami saling mengirim sinyal" Herlambang mengatakannya dengan tenang agar Luna percaya.

"Memang harus pakai kelamin?" kini pikiran Luna diisi dengan fitur-fitur yang mungkin ada dalam kelamin laki-laki. Apa Papah di rumah sering mengirimkan sinyal pada Pamannya melalui kelamin? Soalnya, setiap Papah kena masalah— Pamannya selalu datang dan selalu menepuk bahu Papah, begitu sebaliknya. Saat Pamannya sedang dalam masalah, Papah selalu datang ke rumah Pamannya dan hanya saling menepuk bahu. Apa kelamin cowok semenarik itu fiturnya? Luna, remaja usia lima belas tahun— sedang memikirkan fitur kelamin laki-laki.

Cirebon dan Pohon Balas Dendam (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang