Cahaya matahari sudah naik sejak beberapa jam yang lalu. Namun, Gita masih terkapar di kasur yang tubuhnya dibungkus dengan selimut. Kipas angin pun masih menyala.Ia masih terlelap tanpa terganggu dengan suara gerinda yang bising dari tetangga depannya. Mungkin sedang ada perbaikan di sana.
Tiba-tiba suara yang begitu nyaring terdengar dari ponselnya yang terletak di atas nakas.
Ajaib! Dengan suara itu Gita langsung terbangun, dibandingkan dengan suara gerinda tetangga.
Gita sengaja membedakan suara notifikasi jika dari orangtuanya.
Gita menatap layar ponsel yang di dalamnya ada gambar sang ibu dan ayah.
"Ibuuuu!"
"Assalamualaikum, anak cantiiik!"
"Biasakan salam dulu, Gitaa!" kata ayah Gita.
"Abisnya Gita kangen banget tauu sama kalian. Wa'alaikumsalaam."
"Jadi, kapan Ayah sama ibu pulang?"
"Ya ... Ada, deh .... pokoknya ayah sama ibu nggak lama lagi pasti pulang, kok. Kalau untuk tanggalnya itu rahasia, ya. Biar kamu terkejut sama kedatangan kami," ucap Ayah.
Gita memanyunkan bibirnya. "Kok, gitu, siiih?"
"Eh, anak ibu jam segini baru bangun, ya?"
Gita menatap wajahnya di ponsel. Lebih tepatnya, ke rambutnya yang sangat berantakan.
"Hehe, iya, Bu."
"Ih, belum mandi, dong? Solat subuh gak?"
"Solat dong, Bu. Abis solat aku tidur lagi."
"Em, Ibu udah denger cerita dari Gavin. Katanya kamu dipecat gara-gara kamu berikan informasi perusahaan, ya?"
"Kak Gavin tuh salah paham, Bu. Gita nggak mungkin lah lakuin itu. Lagian buat apa juga!"
Ibu tersenyum. "Iya, Ibu percaya. Anak Ibu nggak mungkin bohong. Iya, kan?"
"Tapi kenapa Kak Gavin nggak percaya sama aku? Dia malah lebih percaya sama orang lain! Padahal Gita udah bergantung banget sama Kak Gavin, Bu!"
"Gita! Ayah nggak suka ya, kamu bergantung hidup sama orang lain. Hiduplah dengan bergantung ke diri sendiri. Jangan orang lain. Termasuk jangan bergantung sama Ayah dan Ibu, paham?"
"Tapi, apa mungkin Gita bisa jalani ini semua tanpa harus bergantung sama orang lain?"
"Selama ini kan kamu sudah sering hidup sendiri. Ibu yakin, kamu pasti bisa. Ingat! Meskipun Ibu sama Ayah nggak ada di sisi kamu bahkan nggak ada di dunia ini lagi. Ayah sama ibu akan terus berdoa untuk kebaikan kamu, Sayang. Semangat, ya! Jangan nyerah! Anak ibu nggak boleh mengenal kata lelah! Oke?"
Gita mengacungkan kedua ibu jarinya sambil tersenyum ke arah kamera. "Oke!"
"Ya sudah, udahan dulu ya, telponnya. Ibu sama Ayah mau melanjutkan kerjaan kami dulu, ya."
"Iya. Ibu sama Ayah harus tetep jaga kesehatan, ya!"
"Iya. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Gita menghela nafas. Bingung, aktivitas apa lagi yang harus ia lakukan.
Mau beres-beres rumah, sudah bersih. Mau ke rumah tetangganya sebelah. Gak mungkin juga!
Mulai hari ini. Gita sudah bertekad untuk tidak menapakan kakinya di rumah itu lagi. Ataupun bertemu Gavin lagi. Tidak akan!
Mau mandi. Rasanya juga sangat malas sekali.
Gita berniat akan keluar dengan mengajak Aldo untuk sekedar nongkrong di tukang angkringan. Tapi, siang-siang begini apa ada? Kalaupun ada pasti suasananya aneh dan berbeda.
Ah, sudahlah. Dengan memaksakan diri. Akhirnya Gita memilih untuk mandi.
Sedangkan di sisi lain. Aldo tengah memfotocopy beberapa kertas yang ia bawa sebelumnya.
Sembari menunggu selesai. Ia memainkan poselnya sebentar. Tiba-tiba dadanya diserang rasa nyeri dan sulit untuk bernafas.
Tangan kanannya ia letakkan di dada. Sementara yang kiri ia gunakan untuk mengambil sesuatu dari dalam saku celananya.
Dengan cepat, ia menekan benda itu dan menyemprotkan sesuatu ke dalam mulutnya.
Nafasnya masih belum stabil.
Di belakangnya, ada Gavin yang kebetulan lewat dan melihat Aldo seperti kesakitan. Ia pun menghampirinya.
Aldo masih merasa sedikit sesak. Ia merasa ada seseorang memegang pundaknya dari belakang.
"Kamu kenapa, Aldo?"
Aldo segera memasukkan inhaler ke dalam kantung celananya. Dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya.
"Saya? Memangnya saya kenapa? Saya cuma lagi fotocopy aja."
"Nggak, saya kira kamu ... Ah, sudahlah." Gavin berbalik dan mulai melangkah.
"Tunggu, Pak." Aldo berjalan mendekat kepada Gavin.
"Soal Gita. Aku yang ngomong kayak gini sebagai teman dan calon pacarnya Gita. Juga sebagai tetangganya Pak Gavin! Aku bakal cari tau tentang kebenarannya.
Meskipun Pak Gavin mengenal Gita lebih dulu. Tapi kayaknya, Pak Gavin belum kenal sosok Gita itu seperti apa. Aku yakin, Gita gak mungkin lakuin hal itu.
Seharusnya, Pak Gavin lebih mengenal Gita daripada aku."
Gavin terdiam tanpa berkata sepatah kata pun.
"Jangan menyesal kalau sudah tau kebenarannya," ucap Aldo, dan mulai berlalu pergi dari sana.
Menurutnya, apa yang tadi ia katakan itu sudah sangat membuat dirinya keren. Lihat saja, Gavin pasti akan menyesal setelah tau kebenarannya.
"Aldo!"
Aldo membalikkan badannya menghadap Gavin dengan gaya sok cool-nya.
"Bukannya itu punya kamu?" Gavin menunjuk ke beberapa lembar kertas yang masih tergeletak di atas mesin foto copy.
Malu. Niatnya mau cool di depan Gavin kenapa malah malu seperti ini. Huh, lagi pula kenapa dirinya bisa lupa.
"Itu, bukan punya saya."
"Bukannya tadi kamu bilang kamu lagi fotocopy?"
Setelah itu, Gavin pun pergi dari sana.
Malu. Aldo benar-benar malu dibuatnya.
Bersambung .....
SPAM KOMEN NEXT DI SINI!
KALAU SAMPAI TEMBUS 15 KOMEN NANTI MALAM/SORE AKU UPDATE LAGI🔥
KAMU SEDANG MEMBACA
My Annoying Tetangga [END]
Short Story[JANGAN LUPA FOLLOW, VOTE, DAN KOMEN YA! KARENA DUKUNGAN KALIAN SANGAT BERHARGA💙] "KAK GAVIN, TERIMA AKU JADI PACAR KAKAK SEKARANG JUGA. AKU GAK NERIMA PENOLAKAN, YA!" Gita berteriak dari balkon kamarnya melihat ke bawah. Dimana Gavin baru saja pu...