💙MAT 22💙

3.2K 140 13
                                    


Gita keluar dari ruangan Gavin dengan keadaan yang tak baik-baik saja. Kesal bercampur sedih karena perkataan Gavin. Karena Gita berjalan tanpa memperhatikan di sekitarnya. Ia pun tak sengaja menabrak seseorang.

"Aw!" pekik orang itu. Yang ternyata adalah Sarah.

Sarah melihat ke arah wajah Gita yang sembab dengan mata memerah penuh deraian air mata.

Hal itu malah membuatnya tertawa seperti sedang meledek Gita.

"Akhirnya ... udah bangun dari mimpi buruknya, hmm?"

Gita menatap kesal ke arah Sarah yang sedang menatapnya dengan tantangan.

"Gue. Gak peduli!" Gita menekan bahu Sarah dengan sangat kuat, sehingga Sarah hampir saja terjatuh ke belakang.

Gita kembali berjalan cepat dengan perasaan campur aduk. Sedih, kesal, marah dan kecewa.

Sedangkan Sarah merasa kesal karena Gita sudah menekan bahunya dengan sangat kuat, tetapi hal itu tidak bertahan lama. Senyuman kemenangan terbit di wajahnya.

💙💙💙

Jam menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Namun, Gita masih enggan untuk kembali pulang.

Dirinya tengah berjalan di sebuah taman kota sambil merasakan kesejukan angin malam yang berbeda. Rasanya, ini adalah angin yang biasanya sebelum hujan.

Karena Gita merasakan pegal di kakinya --- karena sudah berjalan berjam-jam lamanya sejak keluar dari ruangan Gavin. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk duduk di bangku panjang.

Tatapannya lurus ke depan. Pikirannya kosong. Hanya memori tadi siang yang selalu terbesit dalam benaknya, perkataan Gavin yang sangat menyakitkan.

Ah, bagaimana bisa Gavin melakukan ini semua?

Benar seperti firasatnya. Angin sejuk seperti ini adalah salah satu pertanda akan turunnya hujan di malam hari. Suara gledeg kecil mulai terdengar saling bertautan.

Tak lama kemudian, air mulai turun dari langit berbarengan dengan air yang turun dari mata Gita. Seakan alam pun tau kalau dirinya tengah bersedih.

Jika seperti ini, Gita bebas ingin menangis sepuasnya. Karena air matanya tertutupi oleh air hujan yang sudah membasahi seluruh tubuhnya. Tangisannya pun tak bisa terdengar karena tersamarkan oleh suara petir.

Gita terisak. Menangis dengan keras.

"KAK GAVIN JAHAAAAT!" teriaknya, berharap agar rasa kekesalan yang dibalut dengan kesedihan ini bisa mereda dan segera menghilang.

Gita merasa dirinya tak terkena guyuran hujan lagi. Ia merasa aneh, pasalnya hujan masih belum mereda.

Gita melihat ke atas. Sebuah payung berada tepat di atas kepalanya.

"Pulang!"

Gita melihat ke belakang. Seorang lelaki dengan rambut ikal yang sedikit basah, berperawakan tinggi 181 cm. Dan dibalut jaket berwarna biru belel.  Berdiri di belakangnya sambil memegangi payung.

"Gak! Gue mau di sini!"

"Pulang, Gita!"

"Lo kalau mau pulang. Pulang aja. Gak ada yang nyuruh lo untuk ada di sini, Aldo!"

"Kalo lo sakit gimana?" Aldo menaikan nada bicaranya.

"Gak ada yang peduli sama gue!"

Aldo menghela nafas. Sedangkan Gita masih dengan isakannya.

"Lo bukan anak SMP lagi, Ta. Jangan cuma karena masalah spele, hal kecil kayak gini. Lo malah melukai diri lo sendiri," ucap Aldo memelan.

"Hal kecil lo bilang?" Gita menautkan alisnya, menatap sengit ke arah Aldo.

"Orang tua gue pergi ninggalin gue karena kerjaan. Setiap hari gue nunggu kabar dari mereka. Sekalinya telpon pasti gak lebih dari tiga menit. Gue rasa, kayaknya uang lebih berharga di mata mereka daripada gue anaknya sendiri.

Kak Gavin? Dari dulu dia gak pernah sekalipun bentak-bentak gue apalagi sampai bersikap kasar. Tapi sekarang? Dia juga ikutan berubah, Aldo!"

Aldo menarik nafas dalam lalu dihembuskan secara perlahan. Apa Gita tidak menganggap dirinya?

"Lo anggap gue apa, Ta?" batinnya.

Aldo ikut duduk di sebelah Gita. Sambil memayungi mereka berdua.

"Mana ada orang tua yang gak peduli sama anaknya? Awalnya, dulu gue juga mikir kayak gitu ke nyokap gue. Lo tau kan, dulu waktu gue pindah rumah. Gue cuma berdua doang sama nyokap, karena bokap gue udah meninggal.

Dulu, yang gue tau. Nyokap itu lebih mentingin kerjaan ketimbang gue. Tapi, setelah nyokap gue udah nggak ada di dunia. Gue sadar. Kalau selama ini nyokap banting tulang itu demi kebaikan gue.

Sampai sekarang, Ta. Rasa penyesalan itu masih ada. Andai aja dulu gue bisa deket sama nyokap, meskipun jarak menjauhkan. Mungkin, gue gak akan pernah merasa menyesal sedalam ini. Dulu gue bener-bener egois banget, Ta. Gue harap. Lo gak pernah ngerasain apa yang gue rasain."

Gita mendengarkan perkataan Aldo dengan khidmat.

"Makanya, jangan bilang nggak ada yang peduli sama lo. Ada bonyok lo, ada gue, dan ada harapan-harapan yang belum terwujud. Jadi, jangan nyerah. Soal Kak Gavin, mungkin dia ada something di kantor. Terus gak sengaja lampiasin itu ke lo."

Gita tersenyum sinis. "Gak sengaja lampiasin itu ke gue? Emangnya gue tempat pelampiasan apa!"

"Oh, emangnya bukan?"

"Aldo!" Gita menggeplak tangan Aldo yang berada di sisi. Dan lelaki itu malah tertawa sebagai balasannya.

Gita menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan menggembungkan kedua pipinya.

"Gue rasa. Kali ini gue bakalan ngejauh dari Kak Gavin, deh."

"Bagus!"

"Apanya yang bagus?"

"Ngejauh dari Kak Gavin."

"Kenapa bisa bagus? Biar gue tertarik sama lo gitu? Terus kita pacaran?"

Aldo menggenggam tangan Gita lalu berdiri. "Pulang, yok!"

"Do."

Aldo melihat wajah Gita.

"Sori, ya. Kayaknya, sampai kapan pun gue gak akan pernah bisa suka sama orang yang bentukannya kayak lo gini," ucap Gita setengah meledek.

Aldo memegangi dadanya. Nafasnya mulai tak beraturan. Seperti sesak nafas.

"Sakit. Sesak banget, Ta."

Gita berdiri. "Gue gak akan tertipu lagi sama modus lo, Aldo. Bye!"

Hujan sudah reda sejak beberapa yang lalu. Gita melangkah meninggalkan Aldo sendirian.

Aldo menarik nafas dalam-dalam untuk mengembalikan kenormalan pernafasannya.

"Woy! Ayo!" teriak Gita yang sudah berdiri di samping motor matic milik Aldo.

Aldo berjalan menyusul Gita. Mereka pun mulai menaiki motor. Dan melaju dengan pelan.

Bersambung.....

KALIAN TIMA MANA?

GITA ALDO?

GITA GAVIN?

Komen, ya💙

My Annoying Tetangga [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang