01

27.5K 1.2K 24
                                    

Tamparan keras itu langsung mendarat di pipi tirusnya yang kini menimbulkan jejak merah yang sangat ketara. Sena hanya bisa menunduk sambil menahan rasa panas di pipinya akibat tamparan yang ia dapatkan dari sang Ayah.

"Bener-bener anak gak tau diri!! Brengsek kamu Sena!! Ini balasan kamu buat Ayah sama Ibu yang udah mati-matian ngerawat kamu, hah?!!"

Sena sama sekali tak bisa membalas murka sang Ayah. Ibunya pun hanya bisa terduduk lemas di sofa sambil menutupi matanya dengan tangan. Dari hembusan napasnya saja Sena tahu Ibunya sangat kecewa padanya.

"Yah, ini kecelakaan. Sena juga gak mau kayak gini." ujarnya memelas berusaha menjelaskan pada Ayahnya.

"Kecelakaan?! Mana ada cowok yang diperkosa karna kecelakaan?! Kamu mikir dong Sena. Kamu itu cowok, harusnya bisa jaga diri! Bikin malu orang tua aja kamu bisanya! Udah sekolah gak becus, sekarang pake ngomong hamil anak orang gak jelas!"

Sena kembali menunduk. Air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Sedih, sakit, kecewa, marah, semuanya bercampur dalam hatinya.

"Ibu salah apa sih sama kamu, Sen? Ibu emang gak sempurna tapi kenapa kamu balas perjuangan Ibu kayak gini?"

Mendengar suara sang Ibu membuat hatinya tersayat kesekian kalinya. Ia tak sanggup mengangkat kepala. Mendengar nada bicara kedua orang tuanya yang sama sekali tidak ramah membuat dadanya sesak, apalagi jika harus menatap wajah keduanya.

"Kamu denger itu, hah?! Puas kamu bikin Ayah sama Ibu kecewa dan malu kayak gini?!!"

Sena semakin menunduk. Kini ia sudah tidak bisa menahan air matanya untuk tidak jatuh.

"Sekarang, kamu angkat kaki dari rumah ini. Dan jangan pernah temui saya dan istri saya lagi."

"Yah, Sena mohon maafin Sena. Sena bakal gugurin anak ini kalo Ayah sama Ibu gak mau terima tapi tolong jangan usir Sena, Yah." mohonnya sambil menangis dan menyatukan kedua tangannya di depan sang Ayah.

Pria paruh baya itu sudah kepalang marah pada sang Anak. Ia menarik tangan Sena dan menyeretnya keluar rumah sambil terus mengucapkan kata 'pergi' sebagai bentuk pengusiran terhadap putra semata wayangnya.

"Mulai detik ini kamu bukan anak kami lagi." ujarnya menusuk dan langsung menutup pintu rumahnya dengan keras.

Sena hanya bisa terus menangis sambil memohon agar sang Ayah membukakan pintu. Berulang kali kata maaf ia lontarkan sambil menangis. Beruntung saat ini sedang hujan deras, jadi suaranya bisa sedikit teredam dan tidak memancing perhatian dari tetangganya yang lain.

Rasa pening mejalar kepalanya setelah cukup lama ia menangis. Perlahan hujan mulai berhenti, seakan telah menyuruhnya untuk segera meninggalkan rumah yang sudah ia tinggali selama 21 tahun lamanya bersama kedua orang tuanya.

Dengan perasaan berkecamuk Sena melangkah meninggalkan rumahnya. Pergi tanpa membawa sehelai baju pun selain yang menempel di tubuhnya. Bahkan ponselnya pun tak ia bawa karena ia tinggal di kamar saat berbicara dengan orang tuanya.

Sekarang Sena tidak tahu harus kemana. Uang di dompetnya tidak akan cukup untuk membayar sebuah kamar kos. Isi kartu ATMnya pun sudah habis untuk bayar uang semester kemarin dan hanya tersisa 200.000 rupiah.

Sejenak Sena duduk di sebuah kursi taman yang belum jauh dari komplek perumahannya. Mengistirahatkan diri sambil memikirkan apa yang harus ia lakukan dengan sisa uang 200.000 di ATMnya.

"Gue harus gimana sekarang?" monolognya lirih.

Tak ingin berlarut terlalu lama, Sena kembali melangkahkan kakinya semakin jauh dari rumahnya. Ia sadar bahwa sekarang ia sudah tidak bisa memikirkan dirinya sendiri lagi. Bayi di dalam perutnya, meski masih sulit ia menerima, tapi tetaplah bukan sosok yang bisa ia salahkan.

The Housekeeper Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang