03

11K 959 7
                                    

Waktu berlalu cukup cepat bagi Sena. Tanpa ia sadari ia sudah 3 bulan bekerja di toko Pak Rudi. Dan perlahan semuanya semakin terasa baginya. Setiap jam 4 atau jam 5 pagi ia akan terbangun dan berlari ke kamar mandi karena morning sickness yang baru muncul setelah usia kandungannya 2 bulan. Ardi tentu mengkhawatirkan Sena, bahkan lelaki itu terus meminta Sena untuk periksa ke dokter apakah dirinya sakit atau tidak.

Tapi tentu saja Sena menolak dan mengatakan ia hanya kelelahan. Ia belum siap, dan mungkin tidak akan pernah siap jika harus menceritakan kondisi tubuhnya yang sebenarnya.

Di jam istirahat toko, Sena memilih untuk menyendiri di belakang toko sambil menghitung uang yang ia punya. Gaji dari Pak Rudi tidak seberapa, bahkan ia harus menahan diri untuk tidak membeli ponsel karena lebih memikirkan soal persalinannya. Ia tidak mungkin melahirkan dengan cara normal, itu mustahil. Bahkan kehamilannya sendiri pun kadang masih ia anggap sebagai mimpi buruk belaka. Ia membutuhkan biaya banyak untuk mempersiapkan kelahiran bayinya yang tentunya akan sangat mahal.

"Di cariin ternyata di sini."

Sena menoleh ke arah Ardi yang datang sambil menenteng sebuah kantung plastik.

"Nih." ujarnya sambil menyodorkan sebotol minuman dingin pada Sena dan ikut duduk di samping lelaki muda itu.

"Makasih, Bang."

Ardi membuka kaleng kopinya dan menyalakan rokok.

"Kenapa diem aja di sini? Bukannya makan." Tanya Ardi memulai obrolan.

"Gak papa, Bang. Emang gak laper aja."

Asap putih keabuan menguar dari celah bibir Ardi.

"Sen, gue boleh nanya gak?"

Sena menoleh. "Boleh, nanya apa Bang?"

"Gue perhatiin kayaknya belakangan ini lo sering banget ngitungin gaji lo dari Pak Rudi. Lo lagi ada kebutuhan banyak ya?"

Sena terdiam mendengar pertanyaan Ardi. Ia tidak pernah berpikir bahwa Ardi akan sebegitu memperhatikannya di balik sikap lelaki itu yang terkadang cuek dan lepas tangan terhadapnya.

"Emm ... Yaa, saya 'kan gak mungkin tinggal sama Bang Ardi terus. Jadinya saya lagi ngitung-ngitung buat nyewa kosan."

"Gue gak keberatan kok kalo lo tinggal sama gue. Gue juga kadang-kadang kesepian sih di kontrakan sendirian. Kalo ada lo enak, gue jadi ada temennya buat ngobrol."

"Tapi 'kan saya gak mau nyusahin Bang Ardi terus. Kemaren aja Bang Ardi sampe beliin kasur buat saya."

"Ya masa iya gue ngebiarin lo tidur di lantai mulu? Jahat amat gue jadi temen."

Sena hanya tersenyum menanggapi ucapan Ardi. Hening kembali menyelimuti mereka selama beberapa saat dengan hembusan angin yang perlahan berhembus menerpa tubuh mereka.

"Gue mau nanya lagi boleh? Kali ini lebih serius."

Sena menoleh ke arah Ardi yang menatapnya dengan tatapan serius. Entah kenapa timbul rasa takut melihat mata tajam Ardi yang langsung mengarah ke matanya.

"Bo-Boleh, Bang..." Jawab Sena yang tiba-tiba gugup.

"Soal kondisi lo, lo sering banget muntah-muntah pas subuh, terus juga gue perhatiin kayaknya lo gampang banget capek belakangan ini. Sebenernya, lo itu kenapa Sen?"

Lidah Sena terasa kelu untuk menjawab. Apa yang ia takutkan selama ini benar-benar terjadi. Perlahan Ardi pasti akan menyadari semuanya, apalagi mereka saat ini tinggal bersama.

"Jujur aja Sen, gak usah nutup-nutupin apapun. Kalo emang lo sakit dan butuh biaya, gue bakal bantuin lo. Lagian juga--" Ardi menjeda sejenak ucapannya. Matanya melirik ke arah perut Sena yang tertutup kaus.

The Housekeeper Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang