18

7.9K 770 1
                                    

Malam itu Denis tengah asyik menonton TV bersama Ibunya. Matanya fokus mengarah pada film yang sedang ditayangkan.

"Denis," Yang dipanggil menoleh ke arah sang Ibu.

"Kenapa Ma?"

"Kamu ada rencana nikah kapan?"

Denis menghembuskan napasnya kasar. Meski ini pertama kali sang Ibu menanyainya soal menikah, tapi rasanya ia sangat malas menanggapi.

"Denis aja masih dua lima, Ma. Belom siap mental juga."

"Yaa, gak papa kalo emang belum siap. Tapi kasian loh Gisele, kamu macarin dia dari jaman kuliah, sampe sekarang belom dikasih kepastian juga."

"Denis ngerasa kayak masih ada sesuatu yang belom bisa Denis terima dari Gisele, Ma."

Bu Mina yang tadinya sedang sibuk dengan majalahnya menoleh ke arah sang anak.

"Loh? Kenapa? Pacaran udah lama kok masih bilang ada yang gak bisa diterima?"

Denis menggaruk lehernya. Ia sendiri juga sedang merasa bingung.

"Yaa, gimana ya? Sifat manjanya Gisele, duuhh, kadang suka bikin Denis gak tahan sampe ujung-ujungnya kita berantem. Denis capek aja gitu ngadepin sifat manja dan kolokannya dia. Beda banget sama Sena yang mandiri."

Bu Mina sedikit mengerutkan dahinya. "Kenapa tiba-tiba nyambung ke Sena?"

Denis baru sadar dengan apa yang ia katakan. Ia menatap sang Ibu dengan tatapan kikuknya.

"Emm ... Maksud Denis, Gisele 'kan seumuran sama Denis, tapi kok bisa gitu dia lebih kekanakan daripada Sena. Denis gak maksud ngebandingin kok." ujarnya mencari alasan.

"Iya, tapi kenapa harus Sena yang di sebut?"

"Ya kan karena emang dia yang di rumah. Mama 'kan tau temen Denis gak banyak-banyak amat, jadi dia yang Denis liat tiap hari di rumah." jawab Denis dengan cepat.

Bu Mina hanya diam sambil menatap putranya yang kini nampak salah tingkah sambil menonton TV. Samar-samar suara tangisan Yosse terdengar dari arah kamar Sena.

"Duuh, kasian Yosse. Dari tadi 'kan dia nangisnya?" tanya Bu Mina yang diangguki oleh Denis.

"Denis mau liat Yosse dulu." Denis langsung pergi meninggalkan ruang TV dan mendatangi kamar Sena.

Dilihatnya pemuda itu tengah kewalahan menenangkan putranya yang terus menangis meski tangisannya terdengar lemah.

"Yosse kenapa, Nak? Jangan nangis terus sayang, nanti Yosse nyesek."

Denis menghampiri Sena yang memunggunginya sambil menimang Yosse.

"Sen,"

Sena menoleh ke arah Denis. Nampak kedua matanya sudah sedikit berkaca-kaca mendengar tangisan anaknya.

"Yosse kenapa?"

Sena menggelengkan kepalanya. "Saya juga gak tau, Mas. Di kasih susu nolak, di kasih oksigen juga gak mau tapi rewel terus."

Denis duduk di sebelah Sena. "Emm ... Gue boleh coba gendong gak? Belom pernah juga 'kan gue gendong dia?"

Sena terdiam sambil menatap wajah penuh harap Denis. Sebenarnya ia ingin menolak, tapi mendengar Yosse yang terus menangis adalah sebuah sayatan bagi hatinya.

"Bo-boleh..."

Denis mengambil alih tubuh mungil Yosse dengan hati-hati. Baru kali ini ia merasakan betapa kecilnya tubuh Yosse. Bahkan ia sampai sedikit melonggarkan gendongannya karena takut kedua tangannya bisa meremukkan tubuh mungil itu.

"Kecil banget, gue gak bakal bikin dia remuk 'kan, Sen?"

Sena hanya tersenyum dan menggeleng. Tak lama tangisan Yosse mereda saat Denis menggendongnya. Kali ini Sena benar-benar merasa takut. Ia takut kalau setelah Yosse merasakan pelukan sang Ayah untuk pertama kali, seterusnya ia akan menginginkan Denis untuk sering menggendongnya.

"Iih, langsung diem. Kamu pengen di gendong uncle ya?" ujar Denis senang sambil memainkan tangan Yosse yang juga menggenggam jari telunjuknya.

"Eh, Sen,"

"Iya?"

"Gue ... Minta maaf ya, soal tadi sore." ujar Denis dengan nada tak enak hati.

"Yang mana, Mas?"

"Yang tadi sore, yang gue judesin lo. Harusnya 'kan gue gak usah se-bete itu cuma karena lo ngobrol sama Ardi. Dia temen lo 'kan?"

Sena teringat tentang kejadian sore tadi yang juga sempat membuatnya takut dengan Denis.

"Ooh, gak papa, Mas. Gak usah dipikirin."

"Tapi ... Emangnya lo tuh tadi ngobrol apa sih? Kok muka sampe deket banget sama si Ardi? Rahasia banget emangnya?"

Sena terdiam mendengar pertanyaan yang sama dari Denis seperti tadi sore.

"Sen? Kok bengong?"

Sadar akan tingkah lakunya, Sena menjilat bibirnya yang terasa kering. Matanya bergulir ke segala sisi, merasa gugup saat ditatap oleh Denis.

"Emm ... Bukan apa-apa kok, Mas. Kita juga gak sadar kalo ngobrol muka kita kedeketan." jawab Sena.

"Ooh, jadi lo gak mau cerita ke gue ya? Gak papa sih, gue gak tersinggung kok." sahut Denis sambil tersenyum. Sena tidak bodoh untuk tahu makna dari kalimat Denis yang seakan menyindirnya.

"Bukan gitu, Mas Denis..."

"Gak papa, Sen, beneran. Cuma kalo emang lo lagi ada masalah, atau lagi ada yang pengen lo ceritain, atau bahkan mau minta tolong gue buat bantu megangin Yosse silakan aja. Gue sama sekali gak keberatan kok. Gue juga mau dengerin curhatan lo."

Lagi-lagi Sena dibuat bungkam oleh ucapan Denis. Harapan yang tiap hari ia tekan agar menghilang, justru malah tumbuh semakin besar di hatinya. Berulang kali ia mengatakan bahwa dia tidak boleh mengharapkan Denis, tapi nyatanya kondisi seakan memaksanya untuk terus berharap bahwa suatu hari nanti Denis akan menjadi miliknya dan menerima statusnya sebagai ayah kandung Yosse.

"Mas Denis," panggil Sena dengan suara pelan.

"Hm?"

"Ke-Kenapa Mas Denis sebaik itu sama saya?"

Denis tidak langsung menjawab. Ia memasang wajah seakan berpikir karena dia sendiri juga tidak tahu alasannya.

"Gue cuma kasian aja sama lo kalo gak ada yang bantuin. Punya anak itu 'kan tanggung jawab besar, tapi lo juga harus ngurus rumah karena lo kerja di sini. Jadi gue gak setega itu juga buat cuma mandang lo sebagai ART di rumah ini. Lagian 'kan gue udah pernah bilang, gue gak punya banyak temen, jadi karena lo ada di rumah ini, itung-itung bisa jadi temen gue juga 'kan? Makanya gue berusaha bikin lo betah di sini " jawabnya panjang lebar.

Sena sedikit menundukan kepalanya setelah mendengar jawaban Denis.

"Jadi cuma karena kasian ya? Sen, lo tuh emang gak seharusnya berharap apapun.'-Sena.

"Lagian sekarang ada si kecil ini, jadinya gue makin betah di rumah karena ada mainan." lanjut Denis sambil menyolek hidung mungil Yosse dan tersenyum.

"Anak saya bukan mainan, Mas." sahut Sena main-main sambil tersenyum. Entah harus berapa lama ia memberikan senyuman palsu untuk menutupi perasaannya.

"Biarin, 'kan gemes."

Sena lagi-lagi hanya bisa tersenyum. Ia memperhatikan bagaimana wajah bahagia Denis saat berusaha mengajak Yosse berbicara meski bayi mungil itu memejamkan mata dengan sedikit gerakan di jarinya.

'Kalo Mas Denis tau, apa wajah bahagia itu bakalan tetap ada di sana? Atau malah terganti dengan wajah kecewa, marah, dan jijik?'-Sena.

TBC.
*************************************

Votenya ya kawan, terimakasih...

The Housekeeper Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang