02

13.1K 991 5
                                    

Mungkin Sena masih harus lebih sering beribadah dan mengucapkan syukur atas kemudahan yang ia dapatkan. Setelah ia diberi kesulitan sejenak, ia kembali dipertemukan dengan kemudahan yang bisa sedikit menolong hidupnya.

"Yaudah, kamu mulai kerja hari ini ya. Kuat 'kan angkat-angkatin karung sama dus-dus itu?"

Sena mengangguk semangat untuk meyakinkan Pak Rudi, si pemilik toko, bahwa ia bisa bekerja.

"Kuat Pak, saya udah biasa angkat yang berat-berat di rumah."

"Yaudah, kamu bantuin sana. Nanti biar Mas Sugeng yang kasih tau kamu naro-naro barangnya di mana. Saya ke depan dulu."

"Baik Pak."

Sena bersyukur karena bisa langsung kerja. Meski ia tahu ini sedikit berisiko, tapu tidak ada cara lain yang bisa ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

"Oi Dek, sini bantuin angkatin ini."

Sena yang diperintah pun tentu langsung menurut. Satu per satu ia bantu kuli angkut yang lain memindahkan dus berisi gula dari truk ke dalam toko. Begitu pun dengan barang dagangan yang lain seperti beras, minyak, dan beberapa stok dagangan yang baru datang.

Hari semakin siang dan lelah mulai terasa. Lagi-lagi Sena harus berpikir makanan murah yang tidak menghabiskan banyak uangnya yang kini tersisa 100.000 di ATMnya.

Ia duduk di belakang toko, mengipas tubuhnya yang berkeringat menggunakan kerah kausnya yang sudah nampak sedikit basah.

"Gak makan?"

Sena menoleh ke arah seorang pria yang ia pikir berusia tak jauh darinya.

"Enggak Bang, belom laper."

"Gimana belom laper sih? Orang habis ngangkatin barang segitu banyak, masa iya gak laper?"

"Beneran kok Bang, emang belom laper."

Lelaki itu nampak diam memperhatikan Sena.

"Ikut gue makan yok, di warteg depan."

"Eh, emm ... Duluan aja Bang."

"Gue yang bayarin. Itung-itung tanda kenalan."

"Gak usah Bang, saya gak enak sama Abang." tolak Sena sungkan.

"Udah santai aja. Lagian juga lo masih ada kerjaan. Kalo lo pingsan karna gak makan 'kan yang repot kita-kita juga."

Lelaki itu merasa gemas dengan tingkah lelet Sena. Tanpa permisi pada si lebih muda ia langsung menarik tangan Sena dan membawanya menuju warteg di dekat toko Pak Rudi.

"Ngomong-ngomong nama gue Ardi, kalo lo?"

"Saya Sena, Bang."

"Ooh, masih sekolah?"

"Enggak, Bang."

Mereka tiba di warteg dan Ardi langsung memesan makanan yang biasa ia makan. Sena pikir si pemilik warteg sudah kenal dengan Ardi.

"Lo mau apa?"

"Samain aja kaya Bang Ardi."

Mereka duduk bersebelahan. Ardi menuangkan air di teko ke dalam gelas dan menyodorkannya pada Sena.

"Kalo gue liat, kayaknya lo itu orang mampu buat sekolah. Kenapa malah kerja jadi kuli angkut?" tanya Ardi melanjutkan obrolan mereka sebelumnya.

Sena meminum air di gelasnya sedikit. Ia ragu apakah harus menceritakan kondisinya pada Ardi yang notabenenya adalah orang yang baru ia kenal atau tidak.

"Sen?"

Sena menoleh ke arah Ardi. "Emm ... Sebenernya, saya di usir dari rumah Bang." ujarnya dengan suara lirih.

The Housekeeper Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang