23

1.3K 62 1
                                    

Frank masih tidak melepas pandangan matanya dari Larine. Ia benar-benar khawatir tentang kesehatan wanita itu. Setelah meneguk minuman dari gelasnya ia pergi ke makam untuk membawa Larine.

Pada saat yang sama Tuan Mayer dan Elena baru saja memasuki pekarangan bersama Theodor. Tanpa sengaja mata Elena melihat tangan Frank yang merangkul bahu Larine.

Sesuatu kembali bergolak di dadanya. Ia mengambil kacamata hitamnya dan memakainya untuk menyembunyikan api kemarahan di matanya.

"Aku rasa Larine ada di sana".

Kata Elena berbisik pada ayahnya. Tuan Mayer menoleh mengikuti telunjuk Elena. Ia langsung bergerak menuju makam. Langkah kaki Elena semakin berat saat hampir tiba. Tangan Frank belum turun dari bahu Larine.

"Larine...".

Sapa Tuan Mayer yang langsung membuat Larine menghambur dalam pelukannya. Ia menangis dengan keras.

"Aku tidak punya siapapun lagi Paman Harold. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Kenapa semua pergi meninggalkan aku? Apa kesalahanku pada takdir? Ini tidak adil untukku Paman Harold".

Tuan Mayer turut meneteskan air mata saat mendengar perkataan Larine. Ia sungguh tidak bisa menghiburnya dengan kalimat apapun. Ia menyeka air matanya cepat sambil menangkup kedua pipi Larine.

"Jangan putus asa seperti ini. Lihat aku. Kau masih memiliki aku. Kau harus bisa melewati semua ini. Ibumu adalah wanita yang sangat kuat dan aku tahu kau sama sepertinya. Tanganku selalu terbuka lebar untukmu sayang".

Mendengar perkataan Tuan Mayer, kembali Larine memeluknya erat. Ia merasakan ketulusan Tuan Mayer dan juga ia merasa ibunya ada di sini.

Ia melepaskan pelukannya dari Tuan Mayer kemudian memeluk Elena.

"Aku turut berdukacita atas kepergian Sena. Aku hanya pernah bertemu sekali dengannya dan ia sangat manis. Kau harus mendengarkan kata-kata ayah. Hiduplah dengan baik mulai sekarang".

"Terima kasih Elena. Aku akan mengingatnya dengan baik".

Setelah selesai meletakkan karangan bunga Larine mengajak Tuan Mayer dan Elena juga Frank untuk kembali ke rumah ayah mertuanya.

"Ayah ini Pamanku dan juga sepupuku".

Ayah Carl menyalami Tuan Mayer dan menatapnya lama.

"Larine selalu membicarakanmu. Kau benar-benar mirip dengan Mariela".

Tuan Mayer terkekeh. Ia menepuk bahu ayah Carl.

"Terima kasih telah mendukung Larine selama ini. Mulai sekarang aku yang akan bertanggung jawab untuknya".

Larine sedikit terkejut dengan keputusan Tuan Mayer tapi ia tidak bisa menolak itu di depan ayah mertuanya. Ia berniat akan bicara dengan Tuan Mayer nanti.

Tidak banyak yang dilakukan Elena di sini selain matanya yang terus memperhatikan sikap Frank dan Larine bergantian.

Jika saja ia tak melihat foto dan video yang dikirim Derek, ia pasti masih percaya bahwa Frank adalah suami yang baik dan Larine adalah sepupu berhati malaikat.

Tanpa sadar tangannya meremas kuat ujung mantelnya. Rasa geram kembali menyerangnya.

"Kami harus pulang ke Paris. Terima kasih untuk jamuannya".

Tuan Mayer pamit pada mertua Larine.

"Aku akan bicara dengan Larine sebentar".

Ayah Carl berjalan menjauh diikuti oleh Larine.

"Aku tahu ini bukan waktu yang tepat tapi aku harus mengatakan ini. Carl dan Sena sudah tiada. Aku ingin kau melanjutkan hidupmu. Di mataku kau masih putriku namun jika besok-besok kau menemukan seseorang yang baik, bukalah hatimu dan jalani hidupmu dengan bahagia. Kau tahu kasih sayang kami tidak pernah berkurang untukmu".

SECOND HOME (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang