8

1.4K 58 0
                                    

"Berkunjunglah di libur akhir tahun. Kami semua merindukan dirimu Lar".

Kalimat terakhir Tuan Harold di telepon masih membekas di ingatan Larine. Ia belum memutuskan sama sekali apakah akan pergi atau tidak.

Sekarang Larine sedikit sibuk dengan pekerjaan barunya. Dengan sisa uang asuransi Carl setelah membayar hutang , Larine memutuskan untuk membuka toko roti sekaligus cafe kecil di sudut Paris. Ia bahkan tidak tinggal lagi di Colmar.

Peristiwa hari itu membuatnya memutuskan untuk meninggalkan Colmar. Ia hanya ingin Sena bertumbuh di lingkungan yang benar. Label janda yang ia miliki kerap menjadi bahan gosip bagi tetangga. Sungguh tidak nyaman sama sekali.

Larine belum memberitahu Frank soal itu. Ia takut bahwa ia akan bergantung pada pria itu. Dan mungkin sesuatu yang buruk akan datang. Beberapa panggilan telepon Frank akhir-akhir ini bahkan ia abaikan dengan alasan ia lupa menaruh ponsel.

Hari ini Sena pulang sekolah dengan mata sembab. Saat turun dari bis ia langsung berlari ke kamarnya. Larine mengikutinya ke kamar dan mengetuk pintu.

"Kau bisa memberitahu ibu jika harimu sulit Sena".

Tidak ada sahutan, bahkan pintu itu sengaja dikunci oleh Sena. Dengan perasaan sedih Larine kembali ke ruang depan, tempat usaha roti dan cafe. Ia melayani beberapa tamu yang datang.

Ponselnya berdering dan ia melihat nama Frank ada di sana. Larine berpikir sejenak lalu mengabaikan telepon itu. Lalu ponsel kembali berdering, itu dari sekolah Sena. Dengan cepat Larine menjawabnya.

"Kami hanya ingin memberitahu Anda untuk datang ke sekolah besok. Kami memiliki beberapa hal untuk dibicarakan. Ini tentang Sena".

Tangan Larine sedikit gemetar saat mendengar wali kelas Sena bicara. Berbagai dugaan muncul di benaknya.

"Tentu saja. Aku pasti datang besok. Terima kasih".

Seluruh tubuh Larine lemas. Ia lelah secara fisik dan kini masalah Sena. Ia belum bisa memahami itu. Dalam hatinya Larine ingin menutup toko. Pikirannya kalut sekarang.

Begitu pelanggan mulai meninggalkan toko, dengan cepat Larine menutup pintu dan menarik seluruh gorden. Ia tidak peduli bahwa hari masih siang.

Dengan langkah cepat Larine kembali ke pintu kamar Sena. Ia mengetuknya pelan.

"Apa kau bisa mendengarkan ibu? Tolong buka pintunya sayang, biarkan ibu melihatmu".

Larine hampir menangis di ujung kalimatnya. Matanya menghangat dan berkaca-kaca. Sebutir air mata lolos dari sudut. Ia menyekanya cepat.

"Mom? Apa kau menangis?".

Pintu terbuka perlahan dan suara kecil Sena membuat Larine berpaling. Ia tersenyum dan memeluk putrinya itu.

"Kau bisa berbagi segalanya padaku. Ada apa?".

Sena melepaskan pelukan Larine lalu menunduk dan memainkan jari tangannya.

"Teman-temanku mengatakan bahwa aku...aku tidak punya ayah. Padahal aku sudah memberitahu mereka bahwa ayahku sudah meninggal. Dan mereka menyebutku pembohong. Tidak ada yang percaya padaku. Aku kesal tapi aku tidak bisa membalas mereka".

Larine menarik napas sesaat lalu meraih tangan kecil Sena.

"Besok ibu akan mengantarmu ke sekolah. Ibu yang akan memberitahu mereka. Ayo keluar dan makan sesuatu yang enak!".

Larine dan Sena memutuskan untuk makan di luar. Setelah itu mereka menghabiskan sisa sore dengan berjalan-jalan. Walau bukan akhir pekan, tapi Larine sedikit menikmati waktu luang bersama Sena.

SECOND HOME (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang