Aqila melirik tiga teman Bhumi yang datang. Dilihat dari penampilan mereka, mereka juga bukan anak baik-baik pikirnya. Karena apa? Mereka berempat termasuk Bhumi berada di balkon dan merokok bersama. Tapi apakah mereka tidak takut jika Kemala atau Pak Gunawan memergoki mereka? Bukankah mereka harus takut? Juga mereka sangat asik bermain game.
"Lo orang baru?" Tanya teman Bhumi yang rambutnya begitu panjang.
Apakah di sekolahnya tidak ada razia rambut? Aqila tidak tahu apa-apa tentang SMA tapi itu hal tidak lumrah sama sekali.
"Iya, den. Silahkan diminum. Saya permisi!" Aqila menunduk dan berniat untuk pergi.
Bisa dipastikan mereka teman akrab Bhumi. Dia harus melaporkannya juga nanti!
"Siapa yang suruh lo pergi?" Tanya Bhumi.
"Tugas saya sudah selesai."
"Siapa bilang?" Bhumi menatap Aqila begitu tajam.
"Jangan galak-galak sama pembantu baru lo. Kalau dilihat-lihat dia nggak kayak pembantu. Mbak penyanyi ya dulu? Penyanyi dangdut?" Tanya anak lain yang penuh senyuman aneh diwajahnya.
"Bukan! Saya nggak bisa nyanyi!" Sejak kapan Aqila menjadi penyanyi dangdut? Dia bahkan tidak bisa bernyanyi saking suaranya sangat jelek mirip tokek.
"Umur mbak berapa sih?" Tanya anak yang paling tinggi.
"17 tahun sama kayak kita! Omong-omong, lo nggak sekolah? Lulusan SMP?" Bhumi memperhatikan Aqila lamat-lamat.
Dilihat-lihat Aqila memang tidak seperti pembantu yang ada. Biasanya mereka dekil dan tidak terawat amat. Tapi Aqila berbeda, apalagi wajahnya. Wajah Aqila bukan seperti anak yang tinggal di desa terpencil. Bukan seperti itu. Wajahnya seperti anak-anak disekolahnya malah. Dengan rambut hitam panjang, kulit kuning langsat, wajah khas jawa walau lebih ke arah keturunan, Bhumi yakin Aqila pasti keturunan sebuah negara di asia lain. Apalagi alis tebalnya itu. Bhumi tidak percaya bahwa Aqila hanya lulusan SMP dan hanya seorang pembantu.
"Mau sekolah nggak mbak? Nanti saya daftarin aja! Papa saya jadi komite." Anak paling tersenyum cerah.
Sekolah?
"Nggak deh den. Saya harus kerja, lagipula saya mana bisa sekolah juga. Nanti saya kejar paket C saja." Aqila tersenyum sopan.
Dia mau sebenarnya. Tapi umurnya sudah tidak semuda itu lagi. Dia sudah berusia 19 tahun, usia aslinya. Ditambah dia sedang bekerja menjadi agent mata-mata. Mustahil dia bisa sekolah lagi. Suatu hari nanti dia akan mengejar ujian paket C saja. Toh juga sama-sama ijazah SMA.
"Sayang banget mbak! Padahal saya mau bantu lho!" Anak yang tersenyum aneh berdiri dan mendekati Aqila.
"Terima kasih den. Tapi saya juga baru kerja disini."
"Pendek juga ternyata. Nama saya Dareen. Nggak usah pakai den atau apa itu. Dareen aja!"
"Saya A... Suyem! Saya Suyem den, maaf den. Tapi saya nggak bisa. Den Dareen, itu aja ya den?" Aqila mendongak melihat Dareen.
Kenapa anak zaman sekarang tinggi-tinggi? Aqila begitu mendongak menatap wajah Dareen.
"Saya Farraz mbak! Salam kenal!" Farraz tersenyum pada Aqila dan bermain game lagi.
"Iya, Den Farraz!"
"Gue Radi. Panggil mas aja!" Pinta Radi.
"Mas?"
Memang boleh seperti itu? Aqila harus bagaimana cara memanggil Radi? Mungkin tidak apa-apa asalkan masih sopan, karena tetap saja dia sedang berperan menjadi pembantu rumah tangga yang menjunjung tinggi sopan santun pada majikan berserta orang-orang yang mengenal mereka.