7

3K 324 1
                                    

           Apes adalah kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan Adel saat ini. Tetesan keringat sebesar biji jagung turun dari pelipis, menghujani kulit wajahnya yang mengkilat terkena cahaya matahari yang terik. Sebelah tangannya terangkat, memberi postur hormat pada kibaran bendera merah-putih di depannya. Semalam Adel seharusnya tidur cepat, tapi mata tidak bisa diajak kompromi. Selain itu, pikirannya dijejali berbagai ucapan Ashel yang sebelumnya tidak seorang pun berani mengucapkan hal-hal seperti kemarin. Adel tidak bisa melupakannya begitu saja.

           Mungkin Ashel ada benarnya, terbukti saat Adel tiba di sekolah lebih lambat lima belas menit, para guru hampir membebaskannya. Tentu saja pertimbangannya karena Adel anak Rama Pantjoro. Namun, Adel tidak menyukai semua hal tersebut, bahkan dia ingin dilahirkan dari keluarga biasa saja. Dia menolak keringanan yang diberikan para guru dan menginginkan hukuman yang seharusnya setimpal jika siswa lain terlambat masuk sekolah.

            Nyatanya diistimewakan, hanya akan memberi tekanan. Adel tahu orang-orang akan mencemooh di belakangnya, maka dia terkejut dengan Ashel, gadis tersebut berbeda. Sepertinya tidak ada setitik pun hal yang ditakuti Ashel.

            "Kira-kira apa yang buat dia nggak setakut itu?" Adel bergumam sambil menelan salivanya. Berjemur di bawah terik matahari berhasil membuatnya dehidrasi.

            Tatapan Adel manyipit saat tidak sengaja melihat sosok berdiri dengan kedua tangan bersedekap dada. Sudah dari tadi dia di sana dan mungkin tengah menatap Adel. Mereka pun bersitatap, hingga orang tersebut memilih mendekat.

           "Ashel?" tebak Adel ragu. Cahaya matahari berhasil menutupi penglihatannya sekilas.

            Botol minum terlihat disodorkan ke perut Adel. Gerakan yang mampu menyadarkan bahwa orang yang tadi memperhatikannya dari jauh benar Ashel. Botol air sangat menggoda, embun yang menetes di luar botol berhasil mendinginkan perut Adel yang tertutup seragam.

            "Makasih...." Adel menerimanya dengan keraguan. Tentu saja, rasa aneh setelah merasa dipojokan di ruang Pandora masih membekas.

             Ashel tidak memberi tanggapan apapun. Wajahnya selalu sama, menatap setiap orang di depannya dari ujung kepala sampai kaki sengit, kesan yang seakan menilai. Rasanya Adel mulai terbiasa akan hal tersebut, semoga saja! Dia akhirnya berdeham dan mampu membuat Ashel menatap matanya.

             "Istirahat ke dua, kita kumpul di ruang Sekre Pandora." Ashel kembali bersedekap dada. Sudut bibirnya naik. "Kelemahan lo ada di emosi. Kuasai. Setan sering keliaran di sini."

             Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Ashel pergi begitu saja. Adel pun segera meminum air pemberian Ashel begitu lahap, tapi lagi-lagi dia seperti sedang diperhatikan kembali.

            "Anj!" Adel terbatuk. Hidungnya perih akibat air yang naik ke saluran pernapasannya.

            Sosok gadis berambut putih berada di sampingnya, begitu dekat, sedang hormat pada tiang bendera seperti yang dilakukan Adel sebelumnya.

            "Hati-hati, Bang!" ucap orang tersebut, siapa lagi sosok berambut putih, jika bukan Azizi?

            Adel menghapus jejak air di mulutnya. Dia menarik napas sesaat dan membuangnya kasar. Sejak kapan Azizi ada di sampingnya, dan sedang apa dia di sini? Terlambat juga? Adel berusaha untuk tidak peduli. Tangannya kembali terangkat untuk melanjutkan hukuman.

            "Kadang tuh gue heran, kenapa orang sering ngikutin aturan yang belum tentu bener." Azizi berucap dengan santai. "Contohnya kayak, ngapain masuk sekolah harus tepat jam tujuh pagi, telat dikit langsung dihukum."

             Adel melirik Azizi sekilas dan berusaha mengabaikan. Lagi pula dia tidak memiliki urusan dengan makhluk di sebelahnya.

            Azizi tiba-tiba tertawa dan menoleh pada Adel. "Padahal 'kan kalau punya privilege, semua aturan nggak berlaku, ya?"

            Botol plastik yang masih dipegang Adel berbunyi gemerisik. Azizi melirik sekilas dan sebelah ujung bibirnya terangkat.

            "Aturan tetap aturan, siapa pun harus mematuhinya. Semua manusia harus sama di kehidupan sosial ini." Adel terdengar geram saat mengucapkan kalimat panjangnya.

            "Oh, gitu...." Azizi mengangguk-angguk. "Kira-kira anak yang terlambat lainnya pada kemana, ya? Seharusnya 'kan ada di sini bareng anaknya Pak Rama Pantjoro."

            Adel menoleh pada Azizi. "Maksud lo?"

            "Eh, lo nggak tahu kalau mereka dihukum bersihin seluruh kamar mandi di sekolah ini? Dan lo cuma disuruh hormat bendera sepuluh menit?" Kekehan keluar dari mulut Azizi, lalu tangannya menepuk-nepuk bahu Adel. "Udah lo tenang aja, lo anaknya Rama Pantjoro. Siapa coba yang berani ngehukum anak dari donatur nomor satu? Bisa langsung dipecat sih itu guru."

            "Lo!"

            "Gue penasaran, kira-kira udah berapa orang yang kehilangan pekerjaannya gara-gara anak yang selalu ngumpet di ketek bapaknya sok-sokan ingin hidup di kehidupan sosial ini?"

            "Bangsat!!"

             Adel sudah tidak bisa menahannya. Botol air mineral yang sudah tidak berbentuk terlempar. Tangannya yang semula hormat pada bendera pun terkepal, kemudian terayun untuk memukul Azizi. Gerakannya begitu cepat, bahkan angin pun sampai tidak menyadarinya.

             Namun, Azizi dengan mudah menahan pukulan Adel. Kepalan tangan yang dipenuhi emosi tersebut kini berada dalam cengkramannya. Senyum lebar tercetak di wajah si rambut putih. Menyenangkan, rasanya seperti melihat pertunjukan kembang api di setiap pergantian tahun baru.

             "Hei?" sapa Azizi, sebelah alisnya terangkat. Giginya berjejer rapi di balik senyum menyebalkannya.

             "Lo? Lo mancing emosi gue?!" Adel mengernyit,

            Azizi mengerutkan dahi dan mengangguk. "Oh, iya! Gue selalu ngelakuin ini ke semua orang."

            "Tai!" Adel berusaha menarik tangannya, tapi Azizi semakin kencang menahan.

          "Lo tau kenapa gue bisa nangkep pukulan lo?" Tidak mendapat tanggapan, Azizi pun terkekeh. "Karena lengan lo terlalu narik ke dalam buat ambil pukulan."

          "Hah?!" Adel geram, berusaha kembali menarik tangannya. Apa-apaan komentarnya itu? Siapa Azizi ini bisa-bisanya memberi Adel sebuah nasihat?

           Sayangnya Azizi lagi-lagi menahan tangan Adel. Senyum kembali tercetak, kali ini lebih lebar, dan Adel berhasil terperangkap di dalamnya. Kedua bola mata Adel bergetar dan menjadi gusar. Senyum Azizi terlihat seperti tokoh film yang dipaksa untuk ditontonnya saat masih kecil. Napas Adel tercekat. Sedikit pun tidak akan pernah melupakan wajah tokoh film tersebut, menggorok setiap bagian tubuh lawannya dengan tawa nyaring.

           Azizi memiringkan kepala. "Wanna fight?"

           "Heh! Heh! Heh! Apa-apan ini?!" Sebuah suara keras berhasil mengendurkan tangan Azizi.

           Adel berhasil terbebas dengan napas yang memburu. Dia melirik Azizi sekilas yang terlihat biasa saja, atau mungkin tidak waras? Wajahnya lebih tengil saat guru wanita yang berhasil menginterupsi mendekat, lalu menjewer telinganya.

           Adel menelan ludah dan menghela napas. Mereka berdua hampir saja berkelahi, tapi guru perempuan tersebut lebih memilih menghukum Azizi dari pada dirinya. Kedua tangan Adel terkepal, kakinya mulai melangkah, tidak peduli soal hukuman apapun lagi. Dia anak Rama Pantjoro bukan? Siapa yang berhak memarahinya, jika tidak ingin dipecat?

           Namun, tubuhnya seketika terhenti. Senyum kecil muncul saat sosok Ashel di ujung sana tengah bersedekap dada menatap dirinya. Mungkin, memang hanya Ashel yang dapat memarahinya, tanpa takut pada apapun.

PANDORA: The Lost Child [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang