33

1.7K 249 33
                                    


Suara earphone bergemerisik, Ashel mencoba membenahi dengan mengetuknya dengan kuku jari, walau sebenarnya itu cara yang sangat tidak membantu. Dia menatap sekitar lorong menuju ruang orkestra yang kosong tanpa ada seorang pun, rasanya aneh, tidak mungkin Azizi menghabisinya semua, Azizi hanya menyentuh orang-orang yang berjaga di luar dan lobi depan.

Ashel kembali mencoba terhubung dengan Amanda. "Amanda, lo masih di sana? Hellowww?!"

"Iya, gue di sini!" Terdengar jawaban dari seberang sana. "Oke, di depan ada pintu besar yang terhubung ke lobi ruang orkestra, di sana nggak ada siapa-siapa."

"Lo yakin?" Ashel memastikan, perasaannya sejak tadi tidak tenang.

"Iya, lorongnya nggak sepanjang lorong sebelumnya."

Ashel mulai memelankan langkahnya ketika Azizi yang diikuti Adel juga berhenti berjalan. Kedua orang tersebut lantas menoleh untuk menatapnya, seakan meminta Ashel mengambil keputusan. Rasanya cukup tidak nyaman, maka Ashel menatap Oniel seakan bertanya apa yang harus dilakukan sekarang.

Oniel tertawa kecil. "You're the leader, menyelamatkan Marsha adalah tujuan kamu 'kan?"

Ashel menelan salivanya, dia menggeleng. "KIta semua harus selamat." Dia kembali berbicara dengan Amanda. "Gimana sama jalur evakuasi yang seharusnya jadi rencana utama?"

"Wow!" Amanda berucap takjub. "Nggak ada siapapun!"

"Serius lo?!"

"Dua rius, gue cuma mendeteksi ada beberapa orang di dalam ruang orkestranya."

Ashel memejamkan mata. Ini aneh, orang-orang mendadak menghilang. Segera dia menatap dua orang di depannya. "Oke, kalian Azizi dan Adel masuk ke dalam, terus keluar lewat jalur evakuasi. Biar gue di sini jaga pintu." Seakan lupa akan keberadaan Oniel, Ashel pun berdeham. "Bu Oniel juga bisa ikut mereka."

Oniel menggeleng. "No, no, no, saya di sini sama kamu."

"No no no juga!! Kenapa gue harus sama dia?!!" Azizi menatap nyalang pada Adel. "Gue bisa bawa Marsha keluar dari sini, sendiri!"

"Hey?!" Adel merasa tersinggung, seharusnya yang mengeluarkan kata-kata tersebut adalah dirinya.

"Kenapa? Lo nggak suka sama ucapan gue tadi? Kurang jelas?"

"Marsha itu tanggung jawab gue, gue yang harusnya bawa dia keluar dari sini!!"

"Hah?! Tanggung jawab? Lo ngehamilin dia sampe harus tanggung jawab?!"

"Sinting ya lo?!"

"STOP IT!!" Ashel mendorong bahu Adel dan Azizi ke dalam lorong yang menghubungkan mereka pada ruang orkestra dengan raut marah. "Kalian berdua masuk ke dalam dan selesaiin masalah kalian!!"

Pintu pun ditutup dengan keras, suaranya berdebum menerbangkan debu-debu yang berserakan. Beruntung udara sedang lembab, karena hujan, jika tidak debu bisa menyebar ke seluruh gedung.

Sekarang hanya ada Oniel dan Ashel. Tangan Ashel terlipat di depan dada dengan muka bersungut, muak rasanya melihat perdebatan dua orang tersebut. Dia menoleh saat mendengar Oniel kembali tertawa ringan. "Biasanya Azizi sama Olla, sekarang tambah Adel."

"Pasti sulit menjadi pemimpin." Oniel menatap Ashel sambil menyangga punggung di tembok.

"Bukan, Kak Gita pemimpin kita, tapi saya nggak tahu dia menghilang begitu aja." Ashel menggeleng dan mendesah, kemudian menatap Oniel. "Kenapa Bu Oniel ikut saya di sini? Padahal mereka yang sepertinya butuh Bu Oniel buat beresin orang-orang yang tersisa."

PANDORA: The Lost Child [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang