18

2.3K 283 24
                                    

Apakah sudah terlambat untuk dunia tahu siapa itu Reva Fidela Adel Pantjoro? Dia hanya anak bungsu yang bergelimang harta orangtuanya yang tersohor, diperlakukan selayaknya putri kerajaan, penuh dengan pengamanan ketat. Tidak, itu hanya sampul yang dibangun oleh keluarganya tentang Adel. Rama Pantjoro begitu narsistik, semua harus berlabel namanya, bahkan untuk seorang Adel. Ketika semua media berpaling, Rama Pantjoro tidak benar-benar menatap Adel. Anaknya hanya boneka yang akan digeletakan setelah selesai bermain peran.

Adel tidak benar-benar bisa merasakan adanya kasih yang tulus. Semua yang gemilang tidak membuatnya tertarik.

"Kamu nanti cukup setuju aja apa yang Papa bilang ke media, ya?" Suara Rama Pantjoro begitu lembut, mampu menyihir Adel yang saat itu tidak tahu apapun.

"Sekarang lagi jamannya perempuan menyuarakan emansipasinya, coba kamu bergaya sedikit lebih garang. Papa masukin kamu ke klub karate, ya? Mereka harus tahu Papa sudah mendidik kamu dengan benar."

"Lihat kakak kamu, dia udah jadi perwira! Itu semua berkat Papa!"

"Pindah sekolah ya, Nak? Papa rasa temen-temen kamu itu bisa merusak citra kamu dan Papa."

"Jangan bergaul sama mereka, ya? Kalau media tahu, karir kamu bisa turun. Papa nggak mau nama Papa ikut merosot."

Tangan Adel terkepal. Ayahnya begitu mendominasi, sampai Adel tidak benar-benar tahu siapa dia sebenarnya, apa yang dia mau, bagaimana dia bisa berekspresi, dan kapan semua berakhir?

Adel seakan lumpuh, jika tidak digerakan oleh Rama Pantjoro. Alam bawah sadarnya mengatakan bahwa dia hanya hidup untuk Rama Pantjoro. Selama ini Adel sudah merasakan banyak pukulan fisik dari guru karatenya, bahkan musuh-musuhnya di pertandingan, tapi tidak ada yang lebih menyakitkan daripada pukulan psikologis yang diberikan ayahnya. Jiwanya benar-benar sudah direnggut, hanya menyisakan kehampaan.

Mata Adel menatap lurus ke depan, memperhatikan bagaimana orang lain melakukan aktivitas di sore hari, entah bermain atau sedang melakukan kegiatan terakhirnya sebelum pulang untuk beristirahat. Tangannya bersedekap di depan dada, berusaha untuk mengenyahkan segala pikiran yang masih tersisa soal wawancaranya dengan Marsha, tapi sangat sulit. Bibirnya berdecak dan mengacak rambut.

"Tumbuh dengan nama Pantjoro enak nggak sih?" Pertanyaan Marsha awalnya sangat sederhana.

"Hm, ya, enak-enak aja, selayaknya anak lain. Gue bisa dapet apapun yang gue mau,  makan apapun yang gue mau, main sama siapapun, nggak ada hambatan."

Palsu, nyatanya tidak sebebas seperti jawabannya tersebut. Adel tentu masih menyunggingkan senyumnya pada Marsha.

"Keren banget!" Marsha tersenyum simpul. "Lo terkenal banget nih sama tittle atlet karate, sering dapet juara juga, ada teknik khusus nggak buat dapetin semua itu?"

"Cukup latihan teratur aja sih, bokap gue selalu buat jadwal biar gue tetep terjaga staminanya, jadi ada semacam jeda untuk istirahat."

"Kalau soal makanan?"

"Semua udah terjadwal dan tersaji, gue tinggal makan aja."

"Yang buat jadwalnya juga bokap lo?"

"I-iya, ada campur tangannya juga, tapi gue punya orang khusus yang ngatur." Saat itu Adel sedikitnya kikuk dan mulai tidak nyaman. Benaknya cukup gelisah, agak khawatir jika Marsha akan mengarah pada pertandingan Sea Games yang pernah dia menangkan. "Ada lagi?"

"Buat hobi?"

"Ah, itu!" Adel tersenyum cerah. Memorinya berputar, Adel sering berkuda. Tangannya dengan lihai memegang kendali atas kuda pribadinya. Dia menatap jalur yang selalu dia lalui dipenuhi cahaya, hingga tatapannya bertemu dengan Rama Pantjoro. Mengawasinya, seakan jika Adel melakukan kesalahan, maka kesenangannya akan direnggut. Adel menggeleng, kebingungan. "Gue suka ...."

PANDORA: The Lost Child [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang