"Nah, udah selesai!!" Marsha mendongakkan kepalanya dan tersenyum.
Sosok anak perempuan cantik hampir jatuh akibat tali sepatunya tidak benar. Tangan Marsha terangkat untuk menghapus jejak air mata yang sempat mengalir, karena terkejut. Gadis tersebut memeluk si anak perempuan dan mengucapkan beberapa kata penenang. Beberapa saat muncul ibu si anak dan berterima kasih pada Marsha.
Senyum kembali muncul saat anak perempuan tersebut melambaikan tangannya pada Marsha, sebelum pergi meninggalkannya.
"Bye-bye, Kakak Cantik!!"
Kini Marsha celingukan mencari sosok Azizi yang katanya akan rapat. Hembusan napas pun dia keluarkan, jelas tidak ada rapat di tempat yang selalu ramai di setiap hari libur ini. Lagi pula terlalu percaya pada Azizi Asadel adalah kesalahan besar.
Marsha kembali mengitari pandangannya untuk mencari tempat duduk. Sayangnya hampir semua kursi panjang yang tertanam di atas tanah berumput ini dipenuhi orang-orang, hanya ada satu dan tidak benar-benar kosong. Mau tidak mau Marsha mendekat.
"Maaf ya, saya numpang duduk." Marsha berusaha ramah pada sosok yang menempati sebagian kursi.
Tidak ada jawaban, sepertinya orang tersebut sedang tertidur, terlihat bagaimana tubuh bergerak seirama dengan hembusan napasnya. Marsha mengamati lebih teliti. Pakaian yang digunakan sudah lapuk dan kotor, bahkan bau tidak enak berhasil masuk ke indera penciumannya. Marsha menatap sekitar, ternyata beberapa orang tengah mengamatinya. Akhirnya, Marsha berusaha lebih menepi. Dia baru saja beramah-tamah dengan salah satu tuna wisma di taman ini.
Sambil menunggu Azizi yang tiba-tiba hilang saat menolong gadis kecil tadi, Marsha kembali melirik sosok di sebelahnya. Keningnya mengerut ketika pantulan arloji dengan harga fantastis melingkar di tangan si tuna wisma. Apakah hasil curian? Tidak, Marsha tidak boleh berperasangka buruk.
"Em, maaf?" Entah kenapa Marsha jadi penasaran dan seperti mengenali sosok tersebut, walau kepalanya tertutup sempurna dengan kupluk jaket.
Si tuna wisma terdengar menghela napas panjang, sedikit membuat Marsha terkejut.
"Berisik, gue lagi tidur!" Suara tuna wisma tersebut seketika berhasil melebarkan pupil mata Marsha.
"Amanda? Ini elo?" Marsha menggoyangkan tubuh Amanda yang terbalut pakain lapuk.
"Hm." Amanda membalikan tubuhnya, membelakangi Marsha.
"Ih, udah nggak mandi berapa hari lo?"
Menunggu beberapa detik, akhirnya menjawab. "Dua minggu."
"Ih, mandi Amanda!"
Lagi-lagi Amanda menghembuskan napasnya. "Berhenti ngomel seolah-olah lo nyokap gue. Cukup Ashel aja."
"Amanda?"
Amanda berdecak dan membalikan badannya. "Yes, mommy?"
Marsha terkikik. "Tumben deh, keluar dari kandang?"
Menyebut kata kandang pada kediaman Amanda tentu bukan tanpa sebab, hampir semua anggota Pandora setuju ruang bawah tanah yang sering didiami Amanda memiliki pemandangan tidak sedap. Ashel yang bermulut pedas tentu sering mengkritik dan menyarankan Amanda menyewa jasa asisten rumah tangga, tapi melihat bagaimana keadaan Amanda saat ini, sepertinya ucapan Ashel tidak berguna.
Amanda tersenyum pada Marsha. "Cari inspirasi?"
Marsha tidak mengerti, Amanda bisa dikatakan orang jenius, bahkan lebih jenius dari semua anggota Pandora. Hanya saja dia tidak memiliki ambisi atau obsesi untuk ikut campur urusan orang lain dan tidak suka terikat dengan apapun. Itulah sebabnya Amanda memilih berhenti sekolah sejak SMP dan menjalankan bisnis di bidang IT. Salah satu hasilnya arloji tersebut. Itu pun tidak seberapa, Marsha sempat terkejut saat mengetahui Amanda memiliki perusahaan start-up dengan semua karyawannya berupa AI.
"Selamat ya, kalian berhasil nangkep pedofil pembunuh tolol itu tanpa sedikitpun ngotorin tangan kalian. Najis juga sih nyentuh tuh orang." Amanda merentangkan kedua tangannya dan menguap. "Gue denger udah jadi mayat sekarang, gara-gara dikeroyok sama disodomi masal napi lainnya."
"Ah, itu." Marsha bahkan baru tahu informasi tambahan tersebut. Dia tidak heran bagaimana Amanda bisa mendapatkannya.
"Pedofil punya iQ di bawah rata-rata, didukung dari latar belakangnya juga. Sialnya, dia terus beruntung. Korbannya anak-anak jalanan yang nggak punya identitas dan nggak diharepin siapapun juga. Kecil kemungkinan ada yang melapor soal kehilangan anak sejak kasus pertama. Jadi, dia bisa bebas berkeliaran."
Amanda kembali tersenyum sampai matanya menyipit.
"Kalian kesulitan dapet bukti, cuma berbekal deduksi. Jadi, kalian buat perangkap di panti asuhan. Ashel juga punya keahlian manipulasi yang bagus, dia seperti virus yang masuk ke perangkat lunak dan pura-pura jadi salah satu data komputer. Dia bukan cuma manipulasi si pedofil, tapi juga pemilik panti."
Marsha terdiam mendengar Amanda secara seksama. "Lo nguntit kita?"
"Kagak." Amanda membuka kupluk kepalanya. "Ashel pake jasa gue buat fokus nyebarin informasi lowongan pekerjaan jadi tukang bersih-bersih ke si tolol itu. Dia jadi kandidat tunggal dan langsung diterima."
Suasana kemudian hening. Suara percakapan orang-orang di sekitar menjadi latar belakang, ditambah desir angin yang menerbangkan dedaunan. Marsha menoleh kembali pada Amanda.
"Pesan dari Kak Gita, mungkin waktu dekat ini kita bakal pakai jasa lo lagi." Marsha tersenyum. "Ada kemungkinan kita bakal ke kandang lo."
Amanda berdiri dan kembali merentangkan tangannya. "Pastiin lo hubungin gue sepuluh hari sebelumnya."
"Boleh." Marsha kembali tersenyum. "Kalau waktu sepuluh hari itu cukup buat lo bersih-bersih."
"Gue nggak denger." Amanda menutup telinganya dan mulai menjauh. "Mending lo susul pacar lo dari pada dia mulai edan lagi."
Marsha mengerutkan dahinya. "Gue nggak punya pacar!"
Namun, otaknya seketika teringat Azizi. Matanya terpejam sesaat dan senyum tipis tercetak. Azizi mengatakan ada rapat, tapi malah Marsha yang bertemu Amanda. Mungkinkah Azizi sudah merencanakannya? Entahlah, lebih baik Marsha mencari Azizi yang belum kembali juga.
Telinga Marsha tidak sengaja mendengar alunan musik dihiasi beberapa teriakan riuh. Selain Marsha, orang-orang yang berkumpul di sekitarnya segera berlari untuk mendekat. Marsha menatap dari kejauhan, ada kumpulan orang bermain alat musik berbeda dan salah satunya menjadi vokalis. Marsha menyipit saat melihat sosok berambut putih tengah berkeliling di kerumunan sambil membawa kardus. Orang-orang yang berkumpul pun memasukan uang mereka.
Tanpa sadar tatapan keduanya bertemu. Azizi menyodorkan kardus ke orang di sebelahnya dan melambaikan tangan pada Marsha. Dia berlari mendekat dengan senyum mengembang.
"Pacar ya?" Marsha menggeleng, bahkan di dalam pikirannya tidak pernah terbesit kata tersebut. Bahkan, semua anggota Pandora sepertinya lebih berbakat memecahkan kasus dari pada memiliki pacar. "Zee mungkin nggak paham apa itu cinta."
Azizi pun tiba dan mengatur napasnya. Dia luruh dan bersimpuh di depan Marsha. "Sekretaris, kamu kok ngilang harusnya sama aku rapat tadi. Dasar pemakan gaji buta!"
"Pardon?" Marsha ikut bersimpuh dan memiringkan kepalanya untuk bisa menatap Azizi.
"Enggak, hehe, tadi maksudnya aku udah selesai rapatnya." Azizi membalas tatapan Marsha lamat-lamat.
"Rapat? Kamu beneran rapat?!" Marsha terkejut, tidak disangka ucapan Azizi serius.
"Iya, kamu lihat di sana!" Azizi menunjuk kerumunan orang yang menonton acara musik yang sepertinya tidak ada sebelumnya. "Aku gabungin para pemusik yang main sendiri-sendiri dan buat grup namanya Laknat Band!"
Marsha mengerutkan dahinya. "Laknat Band?"
Azizi seketika berdiri dan mengulurkan kedua tangannya ke atas. Wajahnya mendongak menatap langit. "Semuanya, mulai sekarang panggil gue Produser Azizi Asadel!!!"
***
Iya deh si paling produser.
KAMU SEDANG MEMBACA
PANDORA: The Lost Child [END]
FanfictionPandora merupakan ekstrakulikuler di SMA Semesta. Komunitas yang menerbitkan majalah dan mading sekolah. Namun, di balik semua itu Pandora merupakan kelompok khusus buatan kepala sekolah untuk menyelesaikan berbagai misi rahasia. Hanya saja salah sa...