"Jadi lo yang udah numbangin semua orang di sini?" Adel menatap tajam seorang pria dengan tubuh tambun dan tinggi puluhan senti di atasnya. Tampilan pria tersebut sangat tidak enak dipandang, pakaiannya kumal serta beberapa bercak darah melumurinya. Adel cukup bergidik, tidak hanya puluhan orang yang sudah tidak sadarkan diri di ruang orkestra ini. "Red Chicken?"
"Tunggu, tunggu dulu!" Azizi menyeka darah dari mulut dengan lengannya. "Dia Red Chicken?"
"Lo tahu Red Chicken?" Adel menoleh dan menaikan sebelah alisnya.
Azizi pun menggeleng. "Cuma tahu dari Olla, dia yang bawa gue ke sini." Tatapannya kembali mengarah pada pria tambun. "Jadi dia beneran Red Chicken? Orang yang bayar kalian kalau nemuin Melati 'kan?"
"Red Chicken!" Pria tambun tersebut tiba-tiba melebarkan kedua tangannya dan tertawa keras. "Gue akan bawa kalian ke Red Chicken! Gue kaya! Gue kaya!!"
"Oh, bukan Red Chicken." Ucapan pria tambun tersebut seakan menjawab setiap pertanyaannya. Azizi pun menoleh pada Adel dan menepuk bahunya. "Adel mungkin ini saatnya."
"Hah?" Sungguh Adel tidak mengerti kenapa Azizi tiba-tiba menyentuhnya, belum lagi tindakan Azizi yang melangkah begitu saja untuk menjangkau Marsha, berakhir melayang, bertubrukan dengan pintu orkestra yang sangat keras dan kokoh terlihat sangat ceroboh. "Bicara yang jelas!"
"Gue mau minta maaf," ucap Azizi dengan senyum kecilnya. "Ada kemungkinan salah satu sumpit patah."
Lagi-lagi Adel dibuat tidak mengerti akan tindakan Azizi. Maksudnya apa? Kenapa tiba-tiba meminta maaf? Lalu sumpit, sumpit apa? Banyak pertanyaan di kepalanya saat ini, tapi Adel hanya bisa berucap; "Hah?!"
Bukan hanya Adel yang dibuat kebingungan, bahkan laki-laki tambun dan Marsha yang sedari tadi bergerak meronta-ronta pun berhenti. Gadis yang akan diselamatkan tersebut menggeleng, Azizi mungkin terlihat seperti bercanda, tapi di balik candaannya pasti ada hal yang tersirat. Dia sangat tahu bagaimana Azizi bergerak.
"Gue mau minta maaf, karena gue ngerasa udah berlebihan dan terlalu memaksakan kehendak." Azizi berjalan menaiki undakan dan berhenti di antara kursi-kursi penonton, di sana banyak terdapat orang-orang yang telah dihabisi pria tambun. "Bu Shani sebenernya udah sering ngingetin gue soal hal ini."
"Bu Shani?" Adel mengerutkan dahi.
"Iya, Bu Shani selalu bilang nggak semua orang sama kayak gue, nggak semua orang punya pemahaman yang sama, nggak semua orang punya pengalaman yang sama, nggak semua orang dididik dengan cara yang sama." Azizi menaikan kedua tangan dan mulai kembali berjalan. Langkahnya diekori oleh penglihatan sang pria tambun. "Gue tahu gue berlebihan, makanya gue minta maaf sama lo."
Adel terdiam, suara Azizi begitu lantang dan menggema. Dia yakin bukan hanya dirinya yang bisa mendengar. Apakah yang dikatakan Azizi sungguhan? Bagi Adel, Azizi sangat menyebalkan, tapi di balik semua itu, dia bisa melihat sisi lain yang belum pernah diraihnya, hal yang terlalu bebas dan sulit untuk dimengerti, sifatnya yang abstrak, karena berupa sebuah pemikiran. Sama halnya seperti menangkap asap, seakan tidak tersentuh hanya aromanya yang menempel di kulit.
"Lo tahu kadang gue pengen bisa main game sama lo dan ngalahin Bisboss." Azizi telah berjalan cukup jauh, kini hampir berseberangan dengan Adel. Sejak kapan Azizi sudah ada di sana? "Lo tahu gimana cara ngalahin Bigboss di game? Serang bagian yang rentan sampai darahnya habis."
Adel mengerutkan dahi. Ruang orkestra berbentuk setengah lingkaran dan kini Azizi berdiri di panggung utama yang biasanya berisi puluhan pemusik beserta alat musiknya, sedangkan yang dimiliki Marsha hanya sebuah panggung kecil di tengah.
KAMU SEDANG MEMBACA
PANDORA: The Lost Child [END]
FanfictionPandora merupakan ekstrakulikuler di SMA Semesta. Komunitas yang menerbitkan majalah dan mading sekolah. Namun, di balik semua itu Pandora merupakan kelompok khusus buatan kepala sekolah untuk menyelesaikan berbagai misi rahasia. Hanya saja salah sa...