"Rasa-rasanya tidak cukup jika kita tidak membicarakan atlet nasional kita yang telah membawa piala Sea Games tahun lalu, Reva Fidela Adel Pantjoro." Suara laki-laki berbadan besar berpakaian dogi putih dengan sabuk hitam, berbicara di depan stand mikrofon. Kepalanya menoleh pada gadis berpakaian sama, berdiri berdampingan dengan tamu yang lain. "Tapi sayang sekali, Adel tidak bergabung di dojo kami, dia mungkin sedang mencari suasana baru."
Tawa ringan keluar dari para hadirin yang memenuhi lapangan indoor milik Semesta. Terdapat ratusan murid memakai dogi berasal dari berbagai sekolah. Kali ini Semesta menjadi tuan rumah untuk pertandingan tahunan di cakupan provinsi.
Adel hanya tersenyum kecil menanggapi pernyataan dari ketua Dojo Semesta---ekstrakulikuler karate yang sering dia lihat berseliweran di sekitar sekolah.
"Sebelumnya kita mengalami sebuah musibah atas kepergian salah satu guru di SMA Semesta, Bu Naomi," lanjut orang tersebut. "Semoga kasusnya segera selesai dan do'a kita semua menyertainya."
Ketua Dojo masih berbicara, tapi tatapan Adel tidak terfokus pada acara penyambutan ratusan murid di depannya. Jauh di depan sana, sosok Azizi Asadel tengah duduk santai di area penonton. Apa yang dilakukan orang itu di sini? Adel semakin menajamkan penglihatannya saat tangan Azizi mulai membuka lembar demi lembar buku yang mirip seperti yang dimiliki Gita.
"The Golden Rules?" Adel berbisik, tidak, lebih tepatnya judul buku tersebut terus bergaung di kepalanya, bahkan saat dirinya diminta menjadi pembuka pertandingan dengan menjatuhkan salah satu karateka atau sampai acara penyambutan selesai dan lapangan telah sepi.
Ashel mengatakan Gita begitu terobsesi pada buku tersebut. Saat itu Adel terus mengikuti langkah Ashel, sampai berhenti di sebuah bangunan yang sudah tidak berbentuk.
"Berhenti ngikutin gue!" ucap Ashel begitu tenang. Tidak seperti biasanya yang meledak-ledak.
"Ini udah terlalu jauh!" Adel sadar kakinya menginjak beberapa ranting, pecahan genting dan kaca. Rumput-rumput sudah menjulang setengah badannya. "Kita balik, kasus Red Chicken belum selesai."
Tawa Ashel bergema. "Kak Gita bisa selesaiin sendiri, nggak perlu ada gue atau elo, Olla sama Marsha."
Akhirnya Adel hanya bisa menghela napas. Dia mencoba untuk lebih merilekskan diri. "Tempat apa ini?"
Tidak ada jawaban, tapi Ashel berbalik menghadap Adel yang terus mengikutinya berjalan kaki cukup jauh dari sekolahan. "Lo inget ucapan gue waktu itu soal weaving?"
Adel awalnya mengernyit, tapi segera ingat percakapan apa yang dimaksud Ashel. Pandangannya pun naik untuk melihat bangunan yang mungkin menjadi tempat tujuan Ashel. Apa maksudnya? Hanya bangunan ini saja tidak membuahkan apapun. Adel kembali menatap Ashel. "Tell me more."
Ashel tersenyum singkat. "The Golden Rules adalah kunci untuk membuka pintu kebenaran dan Kak Gita melakukan apapun untuk bisa memecahkannya. Dia sangat terobsesi sama buku itu."
"Kenapa sama buku itu?"
"Karena buku itu satu-satunya peninggalan dari kakeknya."
Adel terkesiap, digelengkan kepalanya agar lebih jenih. Entahlah, akhir-akhir ini dia lebih sering memikirkan banyak hal. Selain soal dirinya yang mungkin akan diekspos Marsha lewat majalah bulanan, dia memikirkan tentang Red Chicken, belum lagi soal teman-teman barunya yang amat sangat misterius dan saling menyimpan rahasia. Adel yakin hal itu, mereka tidak mudah untuk ditebak, begitu sulit untuk Adel menjangkaunya sekarang. Lagi pula ini baru satu kasus dan mungkin dia akan segera pindah dari sekolah ini, satu-satunya pegangan Adel adalah kendali Marsha akan majalahnya.
Ruangan luas ini sudah sepi dan kini Adel kehilangan sosok Azizi yang sedari tadi duduk di tribun penonton. Tatapannya menelusuri keberadaan orang tersebut, hingga sebuah tepukan mendarat di bahunya. Adel berbalik dan satu pukulan mendarat di tulang pipinya.
Tentu saja Adel tidak siap, pukulan orang tersebut cukup kuat dan menyakitkan, Adel bahkan berhasil tersungkur. Napasnya segera memburu, dia membalikan tubuh untuk melihat siapa yang berani melakukan hal tersebut.
"Lo!" Adel menyentuh pipinya yang mungkin menimbulkan lebam. Tatapannya begitu tajam memperhatikan sosok berambut putih dengan senyum miringnya. "Kalau lo mau tanding sama gue, kita tanding secara fair, gue sewain wasit, kita tanding sesuai aturan!!"
Azizi Asadel tertawa. Kedua tangannya ditarik ke belakang tubuh. "Gue pikir waktu itu lo udah ngerti soal aturan."
"Mau lo apa?!" Adel berhasil berdiri dan menatap tajam Azizi. Dia tidak suka cara Azizi yang terlalu berputar-putar. Tangannya sedari tadi sudah kebas, menunggu untuk dilapiaskan.
Sebuah senyum muncul di wajah Azizi. Dia memperhatikan Adel yang masih memakai dogi kebanggaannya, Azizi yakin sudah banyak musuh yang berhasil digulingkan oleh Adel. Apakah kaki dan tangan mereka patah? Atau ada yang lebih parah lagi? Dia menggeleng, Adel terlihat begitu menyedihkan. Banyak dinding yang telah dibangun, memenjarakannya secara tidak sadar. "Menurut lo untuk ada di Pandora, mendali emas aja cukup?"
"Hah?!"
Sebelah tangan Azizi terangkat, menunjuk udara. Kakinya mulai melangkah mengitari lapangan. "Menurut lo apa bedanya orang tanding badminton sama ngejar layang-layang?"
Tangan Adel yang semua tergenggam kuat, perlahan mengendur. Bola matanya mengejar setiap pergerakan Azizi, otaknya mencerna setiap ucapan orang tersebut. Apa yang sedang dilakukan Azizi? "Gue nggak tau."
Kepala Azizi menoleh dengan sebelah alis terangkat. Tangannya menpraktekan bagaimana seseorang mengibaskan raketnya di udara. "Saat tanding badminton gue bisa memprediksi di mana bola jatuh, lewat udara yang stabil, gue bisa hitung sesuai hukum fisika. Gue bisa prediksi gimana lawan mau mukul bola, atau gue bisa manipulasi power pukulan gue sesuai aturan badminton. Tapi saat gue ngejar layang-layang?"
Adel mengernyit, mencoba memahami setiap ucapan Azizi.
"Nggak ada yang bisa gue prediksi, nggak ada satu aturan fisika pun yang bisa gue pakai untuk berebut layangan. Gue harus bisa berdansa sama si layang-layang, ke kanan-ke kiri, jalanan terjal atau mulus, angin yang besar atau kecil, kendaraan lalu-lalang, dan keadaan lain." Azizi menatap lurus ke dalam dua mutiara hitam Adel. "Jadi bagian Pandora lo akan nemuin musuh yang nggak peduli sama aturan apapun, selayaknya mengejar layang-layang, lo harus kuasai hal-hal yang nggak bisa lo prediksi."
"Lagi pula itu udah nggak berguna lagi 'kan?" Sebuah suara berhasil memecahkan fokus keduanya. Mereka menoleh dan mendapati gadis berkacamata.
"Marsha?" Azizi tersenyum cerah. Seakan semua hal di dunia ini hanya terfokus pada Marsha. "Tadi itu maksudnya apa?"
Tidak ada balasan senyum seperti yang selalu Azizi dapatkan. Marsha menaikan kacamatanya. "Semua yang kamu bilang ke Adel udah nggak berguna lagi 'kan? Kamu bukan lagi bagian dari Pandora."
"I-itu...." Tubuh Azizi lemas. Dia hanya bisa terdiam, tatapannya mengarah pada tangan Marsha yang meraih Adel.
"Gue tadi nyariin lo, kirain udah selesai!" Marsha menyelipkan tangannya pada Adel dan menyadari ada lebam di pipinya. "Ih, ini apa?"
"Bukan apa-apa." Adel hanya tersenyum kecil.
"Ya, udah ayo!"
"Hm."
Kaki Adel mulai mengikuti Marsha yang berhasil menariknya keluar dari lapangan indoor. Namun, dia tetap menyempatkan diri memandang Azizi sesaat dengan buku The Golden Rules yang masih terpantri di tangannya. Suatu saat nanti dia akan membalas pukulan di pipinya, atau setidaknya bisa mematahkan kaki Azizi.
***
Aduh kayaknya salah bgt sy kasih karakter Adel karate, padahal sy pribadi lebih familier sama jujitsu, walau sama2 dari Jepang wkwkwk. Jdi tolong koreksi ya klo salah, Sensei hehehe 🙏🙏

KAMU SEDANG MEMBACA
PANDORA: The Lost Child [END]
FanfictionPandora merupakan ekstrakulikuler di SMA Semesta. Komunitas yang menerbitkan majalah dan mading sekolah. Namun, di balik semua itu Pandora merupakan kelompok khusus buatan kepala sekolah untuk menyelesaikan berbagai misi rahasia. Hanya saja salah sa...