37

2.4K 243 5
                                    

Kediaman Fiony amat sangat besar, Marsha berjalan diiringan seorang wanita memakai seragam maid dominan hitam dan putih. Kakinya menapak beberapa rumput halaman yang masih basah terkena air hujan. Marsha dibawa ke dalam ruangan di mana Fiony berada, lebih tepatnya sebuah bangunan khusus di samping rumah utama yang lebih besar.

Tempat Fiony sangat nyaman, terdapat beberapa sudut untuk bersantai, serta memiliki taman di dalamnya. Marsha diminta untuk menunggu sejenak, di ruang musik biasa Fiony gunakan untuk berlatih. Tentu saja, berbagai macam alat musik ada di sini dan tidak ketinggalan beberapa biola terpajang cantik di dalam lemari kaca. Apakah Fiony memainkan semua alat musik tersebut? Marsha menaikan kacamata, kedua tangannya menggenggam erat alat tulis yang sempat dia bawa.

"Oh, ya ampun. Kenapa sama keadaan lo?" Fiony muncul bersama beberapa wanita dengan seragam maid dan seorang laki-laki  berseragam sama seperti yang Marsha temui di depan rumah Fiony.

"Ah, ini nggak papa, kotor dikit, maaf ya?" Marsha tersenyum kikuk.

"Nggak, seenggaknya lo pakai sesuatu yang hangat." Mata Fiony melirik salah satu maid-nya dan segera membawa sebuah selimut untuk Marsha. "Pasti lo habis kehujanan."

Mau tidak mau Marsha memakainya dengan canggung. Gadis tersebut pun menatap sejenak beberapa minuman hangat serta kue kering yang disuguhkan. Tatapannya mengarah pada Fiony yang kini duduk di hadapannya sambil tersenyum. Marsha menghela napas, tampak Fiony sama sekali tidak mengetahui apa yang baru saja dilaluinya. Apakah Fiony tahu keadaan Azizi?

"Oh, iya, lo ada perlu sesuatu?" Fiony mulai membuka obrolan, tangannya dengan lembut meletakan teko teh yang baru saja dituang ke dalam cangkir kecil. "Sampai bela-balin ke sini, pasti penting. Apa yang bisa gue bantu?"

Marsha menggeleng. "Cuma wawancara singkat soal kontes lo."

Gerakan Fiony terhenti. "Oh, itu."

"Gimana, apa lo berhasil? Lawan kontestan lo ada yang ngambil La Campanella juga nggak?"

Fiony mengamati Marsha yang terlihat akan menulis sesuatu di buku. Dia tersenyum kecil dan mengaduk cangkirnya. Fiony lebih suka menambahkan madu dari pada gula dalam teh. "Gue gagal."

"Maksud lo?" Marsha mengerutkan dahinya.

"Zee nggak dateng, mungkin emang sejak awal gue udah kalah." Fiony menatap dalam pada netra hitam Marsha di balik kacamatanya. Wajahnya berubah datar. "Gue terlalu paksain dia, seharusnya gue tahu, gue akan kalah."

Marsha tersenyum, balas menatap Fiony dengan tidak kalah dalamnya. Sebelah tangannya naik untuk melepas kacamata retaknya. Kembali Marsha tersenyum, kali ini lebih santai.

"Gimana sama rencana kedua lo, apa lo juga berhasil, Fiony?" Marsha berhenti sejenak. "Atau biar lebih gampang gue panggil lo, Red Chicken?"

Tangan Fiony yang akan menjangkau cangkir terhenti. "Gue nggak tahu apa maksud lo?"

"Formulir," Marsha mengelus frame kacamatanya. "Formulir lomba paduan suara. Zee bawa formulir lo buat nyontek, di sana ada e-mail Red Chicken yang biasa hubungin gue."

Fiony segera melirik tajam beberapa pelayan dan penjaganya, menyiratkan agar segera pergi meninggalkan dirinya dengan Marsha. Setelah semuanya pergi, Fiony pun mendengus. Cangkirnya diangkat dan mulai menyesap teh madu kesukaannya. "Harusnya gue nggak ngeremehin lo, si ahli arsip."

Tangan Marsha tergenggam erat pada buku dan alat tulisnya. Napasnya menjadi memberat, setelah Fiony mengakui bahwa dirinya adalah Red Chicken yang selama ini telah mempermainkan Pandora. "Kenapa lo lakuin ini?"

Fiony menaruh cangkirnya. "Karena gue mau Zee gue balik! Jadi, gue buat skenario palsu."

"Video itu?" Seketika Marsha teringat dengan video yang terputar di ruang orkestra. "Melati?"

PANDORA: The Lost Child [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang