Games dalam komputer tengah berjalan, seekor kodok dengan bola merah ditembakkan ke kumpulan bola yang memiliki warna sama. Tidak ada suara yang ditimbulkan karena perpustakaan tidak akan memaklumi, jika ada yang bersuara gaduh. Azizi memasukan buku ke dalam rak sesuai arahan petugas perpustakaan yang tengah sibuk bermain Zuma. Untuk memudahkannya membawa buku, Semesta memfasilitasi perpustakaan dengan keranjang beroda. Sesekali Azizi bersiul, dan berhenti saat sadar kakinya masih memijak perpustakaan sekolahnya.
Azizi mendapat hukuman membantu petugas perpustakaan yang kesehariannya bermain games. Dia menyukainya, tapi menghambatnya keluar, bahkan untuk mengurus Laknat Band. Beruntung dia sempat melakukan negosiasi dengan Muthe agar mereka bisa mengadakan mini konser di Piringku setiap malam minggu. Setidaknya itulah rencana Azizi di setiap tempat usaha, jika dia melakukan utang, apapagi jika bukan untuk menjalin tali kerjasama.
Matanya mengerling, ada beberapa siswa di perpustakaan, sebagian besar mencari buku untuk menunjang tugas mereka, sebagian lagi hanya untuk menyendiri dengan buku kesukaannya. Azizi pun sesekali membaca saat ada yang membuatnya tertarik, seperti saat ini dia menemukan buku karya Plato, sampai lupa tugasnya. Cukup lama sampai entitas manusia berhasil menyadarkannya.
"Ashel?" Azizi yang awalnya terkejut berhasil menetralkannya. Senyum lebarnya mengembang, begitu menyebalkan bagi Ashel. "Kangen gue ya?"
Ashel mengamati Azizi dengan kedua tangan dilipat di depan dada. Sudah jelas tidak pernah ada tatapan ramah yang diberikan gadis tersebut, jika berhubungan dengan Azizi. Dia melirik buku bacaan Azizi. "Socrates?"
Azizi menengok sambul bukunya. "Plato."
"Tapi isinya tentang Socrates yang ditulis Plato."
Senyum mengembang di wajah Azizi. "Oh, ya? Gue nggak tahu, tuh." Dia mendekati Ashel. "Kenapa Plato nulis tentang Socrates?"
"Karena Plato murid Socrates?" Ashel mengamati Azizi yang begitu dekat dengannya. Alisnya naik ke atas. "Ada tragedi yang menyebabkan Plato terpukul berat, Socrates orang yang sangat dia kagumi."
"Tragedi apa?"
"Socrates dihukum mati." Ashel menatap ke dua mata Azizi dan berdecak. Dia mendorong tubuh makhluk tersebut dan berkacak pinggang. "Anyway, gue tahu lo lagi mengalihkan pikiran gue, tapi nggak semudah itu!"
Azizi terkekeh dan menaruh buku ke dalam rak. "Apa? Lo mau ngajak debat soal filsafat?"
"Stop it!" Ashel mendelik. "Ini soal lo dan Bu Naomi. Lo terlibat 'kan? Keluarnya lo dari Pandora itu perintah dari Kak Gita 'kan? Dia ada di baliknya. Kenapa?"
Ini tidak mudah, sosok di hadapannya adalah Ashel. Nyatanya gadis ini sangat cerdas, hanya saja mudah meluap-luap. Azizi menerawang ke atas. "Kayaknya gue punya utang sama lo, ya?"
"Lo punya utang sama semua orang, termasuk Bu Naomi." Kali ini Ashel yang tersenyum. "Lo gagal 'kan? Lo gagal ngelindungin Bu Naomi."
Azizi terdiam dan menatap Ashel dalam. "Apa mau lo?"
"Kasih tahu gue apa yang kalian berdua sembunyiin dari gue dan lainnya." Kembali Ashel melipat kedua tangannya di depan dada.
Cukup lama Azizi terdiam, hingga gadis berambut putih tersebut kembali mendekati Ashel. Sebelah tangannya bertumpu pada rak di belakang tubuh Ashel dan mulai berbisik di telinganya. "Hexagon."
Satu kata yang berhasil menulikan semua indra yang dimiliki Ashel. Napasnya tercekat dan mulai mendorong tubuh Azizi sampai mundur cukup jauh. Ashel menatap Azizi nanar, tidak mungkin. Sejak kapan Azizi memiliki minat pada Hexagon? Gadis berambut panjang tersebut menggeleng dan segera pergi meninggalkan Azizi dengan tumpukan bukunya.
***
"Kasih tahu gue gimana cara Azizi berlatih?" Adel menatap Olla yang sudah membawa beberapa makanan ke dalam markas Pandora.
"Maksud lo latihan gelud?" Olla mengunyah kripik singkong Jipota yang sangat terkenal. "Sama kaya lo gitu, berisik banget."
"Yang lain mungkin?" Adel berusaha sebisa mungkin mengorek sosok Azizi. Entahlah, Azizi sering sekali mengganggu pikirannya. Ucapan Marsha sama sekali tidak mempan untuk membuatnya berbangga diri menjadi sosok yang lebih baik dari Azizi. Nyatanya, pukulan Azizi cukup menyakitkan, pukulan yang belum pernah Adel rasakan sebelumnya.
Bukankah aneh jika Adel tiba-tiba bertanya soal Azizi padanya? Olla mengamati Adel sesaat dan menyipitkan matanya. Ah, apa ini merupakan sebuah kompetisi dingin? Entahlah, kata-kata itu terlintas saja di otaknya, ini seperti tiruan dari istilah perang dingin. Olla tertawa di dalam hati. "Lo harus tahu kalau Azizi itu agak gila."
Adel mengerutkan dahinya. "Gila?"
"Ada cerita, ini agak lama sih waktu kita masih kelas satu. Jadi, kita dapet misi buat mata-matain salah satu warga, tapi mendadak ada tawuran." Makanan di tangan Olla diletakan. "Lo tahu apa yang Azizi lakuin? Dia masuk ke gerombolan orang-orang yang lagi tawuran itu."
"Ngapain?" Rasa penasaran terus menggerogoti Adel. Azizi benar-benar gila. Mungkinkah Azizi sok-sokan menjadi pahlawan untuk mencegah dan mendamaikan mereka?
"Apalagi kalau bukan ikut tawuran!" Olla tertawa. "Gue cuma sembunyi aja di dalem mobil, tapi untungnya dia baik-baik aja, dan lo tahu saat gue tanya, jawabannya enteng banget, katanya buat latihan."
"Latihan? Kenapa harus tawuran?"
"Gue juga tanya hal yang sama." Makanan kembali Olla raih, kali ini dia cukup santai untuk menceritakan bagaimana Azizi yang gila. "Dia bahas soal ekologis? Tauk dah, intinya dia ngelatih hal-hal yang mungkin bakal dia alami di luar sana kalau jalanin misi di Pandora."
Olla kembali melanjutkan. "Hal-hal kayak medannya terjal, atau tiba-tiba hujan turun, berapa musuh yang bakal dia hadapin, belum lagi dia nggak mungkin tahu gimana musuh-musuhnya bertarung. Gue akuin walau dia agak-agak, tapi cukup kritis. Maksud gue, hal-hal kayak gitu juga gue terapin waktu gue pegang setir."
Ah, kini Adel mulai paham. Selama ini pukulan yang sering Adel rasakan di atas matras dan mungkin sama seperti pukulan miliknya, berbeda dengan, Azizi yang tidak menginginkan piala atau menjadi juara. Dia pun teringat bagaimana Sensei-nya memberi strategi pada Adel agar melihat bagaimana musuhnya bergerak dari dokumentasi pertandingan-pertandingan sebelumnya. Selain itu, para peserta sering mengakali berat badan agar mendapat kelas yang lebih ringan. Jelas, hal-hal seperti itu tidak dibutuhkan saat tittle Pandora melekat pada dirinya.
Kini pertanyaan muncul di kepala Adel. Kenapa Azizi mengatakan hal tersebut? Apakah Azizi peduli padanya? Adel menggeleng. Tatapannya mengarah pada majalah Pandora yang sempat menyita perhatiannya juga. Marsha dan Azizi memang tidak bersama, bahkan setahu Adel mereka seperti sedang bertengkar, tapi keduanya melakukan hal yang sama.
Adel tersenyum, Marsha hanya memancing Adel dengan wawancara yang nyatanya menginginkan Adel menjadi dirinya sendiri, sedangkan Azizi berusaha membuat Adel berkembang di Pandora dengan caranya yang menyebalkan. Nyatanya mereka berdua begitu peduli padanya.
Pandora benar-benar menarik.
"Lo ngapa dah? Kesambet ya?" Olla menepuk-nepuk pipi Adel yang sedari tadi diam sibuk dengan pikirannya sendiri.
***
Mau tanya dong, khususnya buat yg sama2 author. Kira-kira ada yg sama ga kaya aku, jadiin nulis itu sebagai penghilang stress? jadi obatnya gitchu...
Sebenarnya otak aku tuh kebanyakan ide, jdi tertekan, sulit tidur, bangun tidur aja udh digeruduk sama ide-ide, idenya tuh bukan cuma soal tulisan, ada banya bidang, haduh haduh ... ga tau ya mungkin karena ADHD jga wkwkwk
Jadi, maaf ya klo tulisannya ga jelas, kesana-kesini, karena sulit fokus mwehehe
KAMU SEDANG MEMBACA
PANDORA: The Lost Child [END]
Fiksi PenggemarPandora merupakan ekstrakulikuler di SMA Semesta. Komunitas yang menerbitkan majalah dan mading sekolah. Namun, di balik semua itu Pandora merupakan kelompok khusus buatan kepala sekolah untuk menyelesaikan berbagai misi rahasia. Hanya saja salah sa...