36

2K 295 22
                                    

Ruang tunggu Instalasi Gawat Darurat menjadi tempat bagi orang-orang yang sedang menunggu gelisah. Mereka menatap pintu yang masih tertutup sambil menggigit kuku. Anggota Pandora duduk dengan lesu, pandangannya tampak kosong, pakaian mereka cukup lusuh dan kotor. Adel menatap lantai. Mendapat pukulan dengan tenaga yang amat besar pasti berakibat fatal pada Azizi. Dia tahu Azizi berhasil menumbangkan banyak orang, tapi tetap saja setiap manusia memiliki limit mereka masing-masing. Andai, andai saja mereka tidak lengah, kepala Azizi pasti masih utuh. Adel menarik napas, wajah pucat dan tubuh dingin Azizi masih terngiang-ngiang di kepalanya. Dia baru menyadari, tubuhnya sama sekali tidak mendapat luka, setiap Adel terpojok Azizi selalu menarik perhatian Bisboss, menjadi tameng dan membiarkan Adel mengeksekusinya.

Adel pun baru pertama kali merasakan perasaan yang sulit diartikan saat membabi-buta memukuli pria tambun, sampai benar-benar tumbang. Kekuatannya seakan lebih memuncak dan dia menangis. 

"Lo juga perlu dirawat!" Ashel menarik dagu Adel untuk melihat beberapa luka di sana. Jika tidak diobati bisa terkena infeksi, tangan Adel pun ditarik untuk bertemu seorang perawat yang sedang lewat.

Oniel berdiri bersama beberapa pria berjas yang sebelumnya diketahui sebagai orang-orang Hexagon, memperhatikan anggota Pandora yang tersisa. Tentu saja, Oniel tahu anak-anak Pandora sedang tidak baik-baik saja

Azizi mengalami pendarahan cukup serius di kepalanya, saat ini masih ditangani dokter di dalam ruang IGD. Sudah hampir tiga puluh menit sejak kedatangan mereka, belum ada satu orang pun keluar dari ruangan tersebut. Oniel mendekati Ashel yang kini tengah mengintip dari balik jendela yang tertutup gorden.

"Kamu butuh sesuatu, Ashel?" tanya Oniel penuh perhatian.

Ashel menggeleng, dia beralih pada anggota Pandora lainnya. "Kalian kalau butuh sesuatu bilang, ya?"

"Ah, gue enggak." Olla tersenyum kecil. Ada rasa bersalah bersarang di dalam dirinya, seharusnya dia tidak membawa Azizi ke  gedung putih atau memberi sebuah tongkat baseball. Dia menggeleng, apakah ini karma Azizi, karena telah menumbangkan banyak orang? Tidak, tidak, tidak, sudah jelas Olla yang memberi ide pada Azizi sebelumnya. Dia menjadi semakin gelisah dan mengacak rambut gusar.

"Lo mau ke mana, Sha?" Ashel berseru.

Semua orang serentak menatap Marsha yang sudah berdiri akan beranjak pergi. Bisa terlihat, Marsha telah menghapus air matanya, berulang kali.

Senyum tipis pun tercetak di bibir merahnya, Marsha menggeleng. "G-gue mau keluar sebentar, gue nggak bisa di sini."

Benar, pasti sulit menjadi Marsha yang melihat langsung keadaan Azizi dan selalu berada di sampingnya. Keadaan Marsha pun tidak lebih baik dari lainnya, kacamatanya retak, terdapat beberapa darah Azizi di bajunya, walau sudah luntur terkena air hujan, tetap saja melihat Azizi digenangi darah membuat jiwanya goyah. Kakinya bahkan sudah lemas saat tidak berhasil menjangkau tubuh Azizi yang limbung ke belakang.

Ashel mengangguk membiarkan kaki Marsha melangkah.

Gadis terdebut menaikan kacamata, penglihatannya lurus ke depan menuju pintu keluar. Seseorang muncul dari sana, sosok yang sangat dikenalinya. Namun, Marsha tidak menggubris, dia berjalan seakan tidak pernah bertemu dengan siapapun.

Sosok tersebut tersenyum tipis. Marsha berjalan begitu cepat, melewatinya, angin berhasil menerbangkan rambutnya yang panjang. Dia melangkah semakin dekat dengan ruang di mana Azizi berada. Matanya berhasil mengabsen orang-orang yang sedang murung, bahkan beberapa orang berjas hitam begitu asing di kepalanya. Langkah kakinya berdentum, berhasil menyadarkan gadis yang tengah berdiri di depan pintu, hingga, gadis tersebut berjalan cepat ke arahnya dengan telunjuk mengacung ke arahnya.

PANDORA: The Lost Child [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang