Tarik napas, hembuskan, tarik napas, hembuskan! Adel terus melakukan gerakan tersebut agar hatinya lebih tenang. Ini kali pertama dia berdiri di antara dua gedung yang menjadi sekretariat ekstrakulikuler di SMA Semesta. Orang yang namanya Marsha mengabari Adel untuk datang ke gedung A.
Gadis tersebut menatap sekitar. Banyak orang berseliweran dengan urusan masing-masing. Adel yang masih baru di sekolah ini kembali harus beradaptasi. Mau bagaimana lagi dia tidak memiliki banyak pilihan.
Gedung A yang dimaksud Marsha ada di sebelah kiri tubuh Adel, gedung yang memiliki cat krem dengan beberapa tali terulur dari rooftop. Apakah tali-tali tersebut milik komunitas pecinta alam? Serius mereka membuat wall climbing di gedung?
"Sepertinya agak nyentrik." Adel menggeleng. "Gue nggak ngerti kenapa Bokap nyuruh ikut Pandora, padahal ada ekstrakulikuler karate di sini."
Tidak sengaja pandangan Adel tertuju pada gedung B dengan beberapa siswa berpakaian gi tengah memutari gedung.
Tidak ingin banyak bicara, Adel segera berjalan memasuki gedung. Sedikitnya Adel cukup terkesiap, lantaran dia bersimpangan dengan sosok berambut pendek, dicat putih, dan berkacamata hitam. Seingat Adel, orang ini menjadi bahan tertawaan saat upacara bendera tadi pagi.
Adel menoleh untuk memastikan orang yang sudah berjalan agak jauh tersebut adalah orang yang dimaksud. Berbeda dengan dirinya yang masih memakai seragam, siswa berambut putih tersebut telah berganti pakaian dengan kemeja putih kebesaran dan celana kain panjang.
"Itu dia nggak pake sandal atau sepatu gitu?" Adel mengerutkan keningnya. "Orang aneh."
"Hai?" Sebuah suara berhasil mengalihkan Adel.
"E- hai?" Adel mengamati sosok gadis berkacamata yang menghalangi pandangannya. Gadis tersebut memiliki beberapa tumpuk kertas di tangannya. "Marsha, ya?"
Marsha tersenyum dan mengangguk. "Lo Reva 'kan?"
Adel mengangguk. "Panggil Adel aja."
"Oke, Adel." Marsha tertawa pelan. "Langsung ke atas aja, yuk?"
Marsha berjalan mendahului Adel untuk memimpin. Dia terlihat agak kesusahan membawa tumpukan kertas yang diminta Gita. Entahlah, akhir-akhir ini Gita terobsesi dengan penemuan harta karun.
"Mau gue bantu, Marsha?" Adel berjalan lebih cepat untuk menahan sebagian kertas di tangan Marsha.
"Makasih." Marsha menyerahkan setengah dari tumpukan kertasnya. Dia mengamati tubuh Adel yang cukup kokoh dan kuat. Tentu saja karena Adel atlet karate. "Ngomong-ngomong lo tadi nggak nyasar 'kan?"
Menoleh, Adel menggeleng. "Udah lo briefing, jadi aman-aman aja. Cuma ya, gue agak deg-degan sama orang-orang baru."
"Ah, lo bukan tipe orang yang mudah bergaul ternyata. Introvert gitu ya? Sama dong."
"Lo introvert? Tapi, kayak mudah akrab sama orang?"
Marsha mengedikan bahunya. "Mungkin bakat?"
Adel tersenyum dan menggeleng. "Gue udah lihat beberapa anggota Pandora di akun sosmed official, katanya ada yang keluar satu ya?"
"Iya, tadi kayaknya lo simpangan deh sama dia."
"Serius? Yang mana?"
"Yang rambut putih tadi." Marsha mulai menaiki anak tangga.
"Hah?" Adel tercengang. "Orang aneh itu? Dia pernah ada di Pandora?"
Marsha menoleh dan tertawa lagi. "Kaget banget, ya?"
Adel mulai menyusul Marsha yang sudah sampai setengah tangga. Dia masih tidak habis pikir, bagaimana mungkin ayahnya menyuruh Adel memasuki organisasi yang pernah dimasuki orang aneh.
Adel menghela napas dan menatap lorong lantai dua yang berhasil dicapainya. Suasana di lantai dua ternyata lebih ramai dari sebelumnya, membuat Adel lebih melekat pada Marsha.
"Terus dia ngapain di gedung ini?" Adel nyatanya masih penasaran. Orang aneh tadi seharusnya ada di gedung B, karena di sana tempatnya ekstrakulikuler paduan suara, mengingat kejadian tadi pagi.
"Minta ijin." Marsha menanggapi dengan enteng.
"Ke?"
"Gue." Marsha berhasil menyingkir ketika sebuah bola meluncur ke arahnya. Gadis tersebut melongok dan menggeleng. "Kebiasaan deh!"
"Sorry, Sha, sorry!" Orang yang melempar bola tertawa dengan kedua tangan ditangkupkan di depan dada. Dia salah satu anggota ekstrakulikuler sepak bola wanita.
"Iya." Marsha tersenyum dan melanjutkan jalan. Dia menoleh pada Adel. "Nanti hati-hati ya kalau lewat sini. Orang tadi suka nendang bola ke orang-orang yang lewat."
Ucapan Marsha sempat mengalihkan perhatian Adel. Awalnya dia terkejut dengan perkataan Marsha soal 'minta ijin'.
"Eh, tadi lo bilang apa? Dia minta ijin ke elo?"
"Iya."
"Kenapa?"
"Karena kita pulang bareng, alias gue nebeng dia hehe. Kebetulan rumah kita satu arah dan Zee ada latihan sampai malam."
Keduanya tiba di anak tangga menuju lantai tiga. Jaraknya cukup jauh dan Adel takjub dengan Marsha yang mungkin akan membawa semua tumpukan kertas ini sendirian.
Sampai di lantai tiga keduanya dikejutkan dengan konser dadakan. Marsha tersenyum saat melihat Olla dengan percaya diri menggoyang-goyangkan badan sambil bernyanyi dengan mikrofon. Orang-orang di sekitarnya tentu dari berbagai ekstrakulikuler lain yang ada di lantai tiga, bahkan ada yang dari lantai dua naik ke atas.
"Lo udah tau 'kan yang itu namanya Olla?" Marsha diam sejenak untuk melihat respon Adel. Tidak disangka Adel tersenyum, berbeda dengan respon saat melihat Azizi tadi. "Adel?"
"Dia menikmati sekali dan super positif." Adel menoleh pada Marsha. "Kayaknya gue bakalan suka di Pandora."
"Okey." Marsha tersenyum kikuk. "Kita lanjut masuk ke ruang Pandora aja."
Adel mengangguk dan terlihat lebih semangat. Tanpa sengaja dia menatap Ashel yang merupakan anggota Pandora lainnya. Perempuan tersebut terlihat asik sedang bergosip dengan beberapa orang.
Adel kemudian menunduk saat Ashel melihat keberadaanya. Dia melirik sekilas dan menyadari Ashel sudah bersedekap dada sambil menatapnya penuh intimidasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
PANDORA: The Lost Child [END]
FanficPandora merupakan ekstrakulikuler di SMA Semesta. Komunitas yang menerbitkan majalah dan mading sekolah. Namun, di balik semua itu Pandora merupakan kelompok khusus buatan kepala sekolah untuk menyelesaikan berbagai misi rahasia. Hanya saja salah sa...