35

2.1K 270 27
                                        

"Uh!" Azizi menarun kedua telapak tangan di pipinya, terlihat menikmati dua orang yang tengah bertarung, saling menghindar, lebih tepatnya Adel. "Dia nggak mau colok mata tuh laki pake pisaunya apa ya?"

Tatapan Azizi pun berpindah pada Marsha yang masih di tempatnya, secepat kilat Azizi mendekat dan menarik kain yang menyumpal mulut Marsha. Senyum Azizi mengembang ketika berhasil membuat Marsha bebas. Namun, saat Azizi akan melepas tali yang melilit Marsha, diinterupsi.

"Bantuin Adel dulu!" Marsha berusaha menarik minat Azizi yang berusaha mencari simpul tali, tapi tidak digubris sama sekali. "Zee, kamu tadi udah minta maaf 'kan?"

"Hah? Siapa? Mana ada." Azizi mendongak sejenak dan kembali berusaha melepaskan Marsha. "Salah denger kali kamu."

Marsha menghela napas, ternyata ucapan Azizi tadi tidak lebih dari main-main. Bagaimana permintaan maaf bisa dipermainkan seperti itu? Marsha berusaha kembali agar Azizi mendengarkannya. "Bantuin Adel dulu."

"Iya." Sebuah suara yang dikeluarkan Azizi mampu memunculkan senyum milik Marsha, tapi kalimat selanjutnya membuat senyum itu menghilang. "Nanti ya, aku bawa kamu pulang ke rumah dulu biar aman, terus aku ke sini lagi bantuin Adel."

"Zee ...."

"Oh, atau aku beliin kamu es krim dulu? Atau mie tektek?"

"Zee!"

"Apa harusnya aku bawa kamu lebih jauh lagi, biar nggak ada seorang pun yang bisa nyentuh kamu?"

"Azizi!" Marsha kini menatap penuh Azizi, dari yang sedari tadi bolak-balik melirik Adel yang hampir terpojok.

"Hm." Tangan Azizi pun berhenti menemukan simpul tali dan meraih kain yang sebelumnya digunakan si pria tambun untuk menyumpal mulut Marsha. Dia segera berdiri dan menghampiri laki-laki raksasa yang sedang sibuk dengan Adel.

Tentu saja, Adel yang sedari tadi hanya melakukan gerakan bertahan---karena menyerang pun tidak menghasilkan apapun, malah membuka peluang bagi musuhnya dan dia tidak ingin menggunakan pisau yang kini ada di pihaknya--- terkejut saat pria tersebut memutar tubuhnya dan mengayunkan tongkat baseball ke belakang. Adel menemukan Azizi sudah ada di sana, tengah menahan tongkat baseball tersebut dengan sebuah kain yang melingang di antara kedua tangannya.

"Hai, Nub!" Azizi tersenyum, kain yang dia pungut tadi berhasil menghadang tongkat baseball yang hampir menghantam tengkoraknya, sudah dipastikan Azizi akan mengalami gagar otak parah, mengingat tenaga pria raksasa ini sangat besar. "Insting yang bagus!"

Namun, siapa sangka pria tambun tersebut menendang perut Azizi dan membuat gadis berambut putih tersebut kembali melayang, menghantam ujung panggung. Suara debuman jelas terdengar nyaring, tubuh Azizi ambruk mengakibatkan debu-debu beterbangan.

Adel menemukan celah, segera menghampiri Marsha dan berusaha untuk melepas tali dengan pisau di tangannya, tapi pria tambun menyadari, berakhir Adel menggeletakan pisau tersebut di paha Marsha. Setidaknya Marsha bisa menggunakan pisau tersebut untuk melepaskan dirinya sendiri.

Melihat Adel yang kembali diserang, Azizi pun segera bangkit, walau sambil terbatuk-batuk. Kakinya melayang dan menukik pada lekukan kaki si pria tambun yang terluka. Tentu saja, hal tersebut berhasil menumbangkannya. Tongkat baseball terlempar dan segera digenggam Adel.

Sebuah kesempatan emas, dengan tekat yang kuat Adel pun memukul kepala sang Bigboss. Suara teriakan keluar, berkali-kali saat Adel terus memukulnya sampai tidak terdengar kembali. Apakah Bigboss telah dikalahkan? Azizi mencoba mendekat dan menekan kaki pria tambun yang masih mengeluarkan darah, tidak ada pergerakan, sepertinya Adel berhasil menghilangkan kesadarannya.

Azizi menoleh dan mendekat pada Marsha yang sudah bebas dari tali di tubuhnya. Gadis berambut putih tersebut tersenyum lebar, kedua tangannya meraih tubuh Marsha agar masuk ke dalam rengkuhannya. Adel membuang tongkat baseball dan ikut mendekat, bermaksud ingin memeluk juga, tapi Azizi segera menarik Marsha agar berputar, tidak memberi kesempatan Adel untuk ikut bergabung.

Bukankah Adel juga ikut dalam mengalahkan pria raksasa tadi, bahkan pukulannya yang membuat Bigboss tidak sadarkan diri? Adel mengerutkan dahinya, apakah dia tidak diajak untuk merayakan kemenangan dalam pelukan? Dia tidak mengerti, Adel juga ingin ikut merayakannya, Adel juga mau dipeluk Azizi dan Marsha.

Namun, acara berpelukan harus terhenti dan bercerai. Lampu sorot tiba-tiba menyala bersamaan, mengarah pada tiga orang tersebut. Apa ini? Sebuah pertunjukan tambahan? Konyol sekali. Mereka menatap sekitar, sebuah cahaya keluar dari sebuah alat yang terpasang jauh di atas kursi penonton. Marsha mencoba melihat lebih dekat, matanya melebar, dia sangat tahu benda tersebut tidak lebih dari sebuah proyektor. Dia mengikuti arah cahaya dari proyektor yang memgarah pada panggung utama. Sebuah layar turun otomatis, berhasil mencetak sebuah video yang ditampilkan

Adel ikut melihat sekitar, suara gemerisik mulai keluar dari tiap sudut ruangan. Suaranya mulai menjadi jelas dan mengalun seirama dari video yang ditampilkan.

"Melati?" Adel mengerutkan dahi. Video yang ditampilkan menunjukan sosok gadis kecil dengan gaun putihnya berlarian, tertawa, membawa sebuah tas gendong kecil. "Nggak mungkin, Ashel bilang kasus ini palsu."

"Ayo! Masuk! Bu guru udah datang!" Suara anak kecil ikut bersahut, bukan milik Melati, sepertinya sosok yang tengah merekam. Terlihat Melati di sana hanya tertawa dan segera memasuki sebuah ruangan dengan nuansa penuh gambar kartun warna-warni.

Marsha menyipitkan matanya dan menemukan sebuah papan di atas pintu ruangan tersebut dengan nama Ruang Melati.

Azizi yang sama-sama ikut menyaksikan video menyentuh perutnya, terasa mual dan menyakitkan. Apakah ini karena perutnya ditendang oleh pria raksasa tadi? Bahkan kini kepalanya ikut berdenyut, sangat salah memang menerima serangan langsung.

"Zee?" Marsha yang berjarak cukup jauh dari Azizi seketika terkesiap menatap video yang masih berputar dan kini berubah latar.

Seorang laki-laki muncul di sana mengenakan pakaian adat pernikahan, hal yang membuat Marsha menyebut nama Azizi adalah laki-laki tersebut berambut putih, terlihat tidak cocok jika usianya terlihat masih muda. Marsha menelan salivanya, ada hal yang membuatnya semakin terkejut. Shani ada di sana duduk di samping laki-laki berambut putih tersebut, terlihat mengenakan pakaian yang serasi.

Adel menoleh pada Azizi, tubuh gadis berambut putih tersebut bergetar, keringat terlihat mengucur di pelipisnya. Adel menggeleng, otaknya seakan menolak segala hal yang membuatnya semakin liar menerka-nerka.

"Kamu punya Bunda baru!" Suara anak kecil yang merekam kembali terdengar, kali ini mendapat jawaban dari Melati.

"Iya, aku seneng deh, punya Bunda baru!!"

Kelopak mata Adel melebar, bukan, bukan karena video yang ditontonnya, tapi tongkat baseball melayang dan menghantam kepala belakang Azizi dengan keras. Adel berlari dan segera menerjang sosok pemukul yang ternyata pria tambun yang kembali sadar. Tangannya secepat kilat melesat dengan membabi-buta memukuli wajah pria tersebut. Setetes air mata jatuh, tubuh Adel bergetar membuat hantamannya semakin brutal. "ANJING!!!

Darah mengalir, turun membasahi leher Azizi. Marsha menjerit, tidak sempat untuk meraih tubuh Azizi. Gadis berambut putih tersebut merasakan tubuhnya menjadi ringan, seakan terbuat dari bulu angsa. Angin seakan berhembus membawa aroma laut yang khas, tubuh Azizi perlahan limbung ke belakang, menembus lantai panggung yang berubah menjadi air biru. Rasanya dingin dan menusuk kulit, napas Azizi menjadi tercekat, air laut menyumbat pernapasannya. Dia mencoba meraih apapun, tapi tubuhnya seakan terus ternggelam ke dasar laut yang gelap dan mencekam.






****

Siapa sangka? 😱

PANDORA: The Lost Child [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang