Sunyi, sepi, sendiri, bagaimana cara menggambarkannya? Apakah duduk terpekur di ruang kosong yang gelap, atau melayang di angkasa tanpa gravitasi? Gita sangat menginginkan hal tersebut. Langkahnya terus berderap di jalanan sempit gang-gang antar kampung di ibu kota. Telinganya sedari tadi mendengar banyak jenis suara; musik yang berdendang, percakapan antar penjual dan pembelinya, kucing-kucing saling mengejar, sepasang kekasih yang sedang merayu, bahkan pertengkaran antar tetangga. Namun, Gita tidak membencinya, bayang-bayang hitam tidak akan muncul, jika dia ada di tempat ramai.
"Eh, Neng Gita udah pulang?" ucap salah seorang tetangganya, saat ini sedang berkumpul bersama bapak-bapak lain di Pos Ronda.
Gita menoleh dan tersenyum singkat. "Udah, Pak. Mari?"
"Iya Neng, silakan, silakan!"
Tangan Gita yang semula akan mendorong gerbang terhenti. Tatapannya mengerling ke sekitar. Suara bapak-bapak di Pos Ronda begitu dominan, tapi tidak membuatnya berhenti waspada. Bola matanya menepi dan berhasil menemukan gedung menjulang di antara pencakar langit lainnya. Dia terdiam sesaat untuk menatap salah satu lantainya, masih tetap sama seperti sebelumnya, tapi Gita merasa sedang diawasi. Ah, mungkin hanya perasaannya saja. Lebih baik dia bergegas masuk dan naik ke kamar kosnya.
Baru tiga hari Gita menempati kamar ini. Tidak terlalu mahal memang, bahkan terkesan sederhana dan apa adanya. Yah, setidaknya sanggup untuknya tinggal, walau pun Gita bisa membeli apartemen atau rumah hasil dari Pandora. Lampu kamar segera dia nyalakan, tangannya naik untuk mengendurkan dasi seragam dan mendekat pada papan tulis yang menggantung. Perlahan dia menggores spidol untuk menulis angka-angka yang dikirim Red Chicken.
"Tahun pertama sembilan angka." Gita mulai bergumam. "Tahun kedua sepuluh angka, tahun ketiga tujuh angka dan semuanya acak."
Sepuluh baris ke bawah berisi angka-angka yang dikirim penculik anak Red Chicken sudah disalin. Dia mundur sesaat dan mulai melepas dasinya. Kancing atas kemeja seragamnya dia lucuti, rasanya sungguh mencekik. Gita beralih pada papan tulis lain yang lebih besar. Dia mulai bermain dengan angka-angka tersebut. Beberapa rumus dipakai, walau berakhir dengan gelengan kepala.
"Percuma," desis Gita. Matanya terpejam sesaat dan kembali mundur. Senyum kecil pun muncul. "Bukan style gue juga."
Benar, Gita bukan tipe yang terperinci. Sama halnya dengan Ashel, keduanya lebih suka menemukan pola garis besar ketika dihadapkan pada sebuah kasus, dari pada bergelut dengan garis-garis halusnya. Dia menyisir rambut ke belakang dengan jemari tangan. Kaki melangkah pada satu-satunya meja yang ada di ruangan. Ada sebuah vas dengan setangkai mawar putih di sana, Gita menyentuh sesaat dan beralih pada amplop kecil di sebelahnya. Ingatan Gita kembali pada Azizi yang menyelipkan amplop tersebut ke dalam genggamannya.
"Apa yang dia kasih ke gue?" Gita menarik kursi dan menaruhnya di depan papan tulis. Dia mulai duduk dan amplop segera dibuka. "Hm, memory card?"
Gita mengamati benda berbahan plastik berwarna hitam kecil tersebut secara seksama. Benda itu berhasil menutupi angka-angka yang tadi ditulisnya. Kerutan muncul di dahi Gita. Tatapannya yang semula fokus pada kartu memori, beralih pada angka-angka di papan. Pupil matanya melebar dan tawa pun mulai terdengar. Gita tertawa? Ya, tentu saja. Benda pemberian Azizi perlahan luruh, sebelah tangannya menunjuk papan tulis, dan tawanya mulai hilang.
"Ah, jadi, gitu?" ucap Gita sekenanya.
Namun, belum sempat menyentuh papan tulis kembali, suatu benda berhasil melintas di depan hidungnya. Begitu cepat, bahkan banyangannya pun tidak sempat terlihat. Gita membeku. Sebuah peluru mendarat tepat pada vas bunga miliknya. Suara pecahan mengikis rasa puas akan keberhasilannya menguak misteri angka-angka kasus Red Chicken. Dia menelan salivanya dan menoleh perlahan ke asal peluru tersebut. Ada lubang menganga, menembus dinding kamar kosnya.
Apakah firasat Gita benar?
Otaknya dengan cepat menganalisa. Kamarnya berada di lantai dua, lebih tepatnya diapit dua kamar lainnya. Bisa disimpulkan penembak memanfaatkan jendela kamar sebelah yang terbuka menghadap langsung ke gedung. Selain itu dinding kamarnya hanya terbuat dari kayu tipis, mengingat tempat kosnya ini sangat sederhana. Namun, bagaimana cara si penembak mendapatkan posisi yang tepat? Atau sebenarnya meleset? Gita hanya berjarak dua senti dari lajur peluru. Apa ini? Sebuah peringatan atau memang orang itu gagal membunuh Gita?
Ponsel di saku rok seragamnya segera dia hubungkan dengan seseorang.
"Hallo, Kak Gita?" Sebuah suara, berhasil tersambung.
Wajahnya yang tenang dan dingin telah kembali, Gita menatap vas yang telah hancur tidak berbentuk. Bunga mawar putih tergeletak di atas lantai dengan air berceceran. "Jemput gue di tempat biasa, sama cariin gue kos-kosan baru."
"Hah?! Cari kos lagi?! Yang bener aja dah!!"
***
Ruang musik seharusnya sudah ditutup sejak tadi, ekstrakulikuler paduan suara sudah selesai berlatih, tapi Azizi masih di dalam sana. Gadis berambut putih tersebut menekan tuts piano asal dan tentunya tidak enak di dengar. Fiony juga tidak ikut membubarkan diri, dia ada di dalam sesekali memainkan biolanya.
"Percaya nggak kalau lo nanti jadi pengiring gue?" Fiony duduk di sebelah Azizi yang masih sibuk menekan-nekan tuts.
"Pengiring?" Azizi mengerutkan dahinya. "Gue nggak bisa main piano."
"Mau gue ajarin?" tawar Fiony dengan senyum manisnya dan mendapat anggukan kepala Azizi.
Fiony menggeser duduknya lebih dekat dengan Azizi. Kedua tangannya mulai menekan tuts. "Gimana kalau kita mulai dari Mayor Scale?"
Satu tangan Fiony dengan lihai bermain di atas tuts piano. Awalnya terdengar cepat, tapi karena sadar tengah mengajari seseorang, gerakannya mulai memelan dan diulang beberapa kali. "Untuk tahu formula atau teknik penomoran not."
"Oh ya?" Sudut bibir Azizi terangkat. Satu tangannya menekan tuts, meniru apa yang Fiony lakukan sebelumnya tanpa satu kesalahan pun. "Mayor Scale lebih berguna buat musik-musik klasik. Gimana kalau lainnya?"
Tentu saja Fiony terkejut, ternyata Azizi berhasil menguasai teknik yang baru saja dia perlihatkan begitu singkat. Fiony tersenyum, atau memang Azizi bisa bermain piano? "Yang lain?"
Azizi mulai menekan tiga tuts berbeda begitu cepat. "Trill."
Lagi-lagi Fiony dibuat terkejut. "Tadi katanya nggak bisa?"
Azizi terkekeh. "Entah, bisa gitu aja sendiri."
"Ya, udah lo main ini aja." Fiony mengambil buku berisi kumpulan partitur yang biasa digunakan anak-anak paduan suara lainnya untuk bermain piano. "La Campanella."
"Gue bisa sedikit main piano, bukan berarti bisa main ini lagu." Azizi menggaruk rambut bagian belakang kepalanya.
"Hm, gitu." Tangan Fiony meraih biolanya. "Lagu ini gue pilih buat kontes nanti."
"Mungkin gue bisa belajar sedikit-sedikit hehe." Azizi menarik buku partitur dan mulai mempelajarinya. "Gimana kalau lo mainin duluan? Gue mau denger."
Senyum merekah di wajah Fiony. "Oke!!"
Suara biola mulai terdengar mengalun indah. Fiony dengan serius menggesek alat musik yang selalu bertengger di bahunya. Tiap sudut gedung berhasil dipenuhi oleh keindahan La Campanella. Tidak ada yang benar-benar bisa mencapai ketepatan tempo pemilik aslinya, Fiony sadar akan hal tersebut, tapi siapa peduli, dia menikmati bermain biola dengan Azizi di dekatnya. Senyum kecil muncul saat matanya berhasil menangkap bayang seseorang di depan ruang musik, cahaya lampu berhasil terpantul dari bias kacamata orang tersebut. Fiony tahu Marsha sedari tadi ada di sana melihat interaksinya dengan Azizi.
***
Baru update, karena saia sakit, sekarang lagi pemulihan hehehe
Votenya bestiiii!!! Alias Phi Sisca 🥲
KAMU SEDANG MEMBACA
PANDORA: The Lost Child [END]
FanfictionPandora merupakan ekstrakulikuler di SMA Semesta. Komunitas yang menerbitkan majalah dan mading sekolah. Namun, di balik semua itu Pandora merupakan kelompok khusus buatan kepala sekolah untuk menyelesaikan berbagai misi rahasia. Hanya saja salah sa...