Berjalan santai dengan tangan membolak-balik majalah tidak membuat Olla mengabaikan setiap orang yang dilewatinya, sesekali dia mampir pada para siswa yang membuat perkumpulan. Olla tentu saja tidak ingin satu orang pun terlepas untuk tidak memperhatikan dirinya. Apakah model rambutnya kali ini sudah cetar? Tentu saja, dia mengikuti gaya Shani yang muncul di televisi waktu itu. Andai dia anak Shani sudah pasti akan menurunkan banyak sifatnya, tapi ketika Azizi muncul sebagai anak Shani membuatnya tersandung dan membuang napas kesal. Menyebalkan!
Gadis tersebut mulai membuka pintu markas Pandora yang tidak terkunci. Saat melongok dia bisa mendengar suara pukulan di tempat biasanya Azizi berlatih. Benar saja ada Adel di sana, tengah memukuli samsak biru. Pakaiannya telah berganti dengan kaos dan celana pendek, rambutnya yang sebahu dikuncir kuda. Olla bersiul, untuk pertama kali dia melihat Adel menunjukan bakatnya.
"Widih ada atlet nasional nih!" Majalah yang sedari tadi Olla baca digeletakan di meja yang dekat dengan Adel. "Marsha jago juga, ya cari foto profil lo yang cocok buat dipajang."
Mendengar nama Marsha dan majalah, berhasil menurunkan kedua tangan Adel. Dia terdiam, jantungnya yang sudah berdegup kencang, semakin liar. Dia melepas sarung tangan dan melemparnya asal. Kakinya melangkah menghampiri Olla.
"Coba gue lihat!" Adel menarik kasar majalah sekolah bulan ini dan membukanya dengan keringat dingin.
"Santai, kali, Bang! Foto lo cakep-cakep!" Olla menatap heran Adel yang terlihat gelisah. "Tapi, masih cakepan gue!"
Adel berhasil menemukan rubrik berisi anak-anak Semesta yang berprestasi dan kali ini ada profilnya di sana. Matanya menelusuri dengan teliti, berulang-ulang, takut jika ada yang terlewat.
"Mana?!" Telunjuk Adel mencoba menelusuri tiap huruf, tapi kerutan di dahinya tercipta. Tidak ada satu pun hasil wawancara yang ditakutinya muncul. Adel menatap meja Marsha yang kosong, cukup dalam. Kenapa?
"Jadi, kalau lo nggak tahu apa yang lo suka, mungkin lo tahu apa yang lo inginkan?" Pertanyaan Marsha begitu nyata di ingatannya. Dia berpikir dalam akan satu pertanyaan tersebut.
"I want kill my father!" Ya, kata-kata itulah yang keluar dari mulut Adel. Napasnya memburu dan ekspresi Marsha berubah seketika.
"Lo tahu 'kan wawancara ini gue rekam?"
"Ya."
Marsha waktu itu mungkin berhasil menguasai dirinya sendiri. Dia tersenyum kecil dan mulai memahami mengapa Adel menjawab pertanyaannya seperti itu. "Gue rasa ini bukan apa yang bener-bener lo inginkan?"
"Terus apa?!" Adel tanpa sengaja menggebrak meja. "Setiap pertanyaan yang lo kasih, bokap gue selalu ada. Dia ada di mana-mana, di kepala gue, di mulut gue, di mata gue, di setiap gerakan gue, dan .. dan di ...."
"Di hati lo?" Marsha kembali tersenyum walau sempat terkejut sesaat. "Itu normal, karena dia bokap lo, dia sayang sama lo."
"Normal?" Adel menggeleng, lalu menelan salivanya. "Gue nggak bisa hidup kayak gini terus!"
"Terus, lo beneran mau 'bunuh' bokap lo sendiri?" Marsha bertanya dengan memberikan gerakan mengutip dengan kedua tangannya. "Ini negara hukum, Adel."
Adel memejamkan matanya. Dia mengangguk. "Seenggaknya gue bisa bunuh dia dari pikiran gue."
"Pengakuan yang bagus." Marsha mematikan rekaman suara dari ponselnya. "Gue rasa lo cukup tahu gimana media bergerak, informasi lo ini bisa jadi makanan publik yang lezat. Gue harap lo nggak menyesal, Del."
"Kenapa lo?!" Olla mendorong lengan atas Adel, tapi bukan Adel yang terdorong, malah dirinya yang mundur ke belakang. "Buset!"
Adel seketika tersadar dan segera mencari ponselnya. Dia ingat, Pandora memiliki akun sosmed yang berisi berita-berita populer di Semesta yang tidak mungkin dicantumkan di dalan majalah, selain itu, sosmed lebih berbahaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PANDORA: The Lost Child [END]
FanfictionPandora merupakan ekstrakulikuler di SMA Semesta. Komunitas yang menerbitkan majalah dan mading sekolah. Namun, di balik semua itu Pandora merupakan kelompok khusus buatan kepala sekolah untuk menyelesaikan berbagai misi rahasia. Hanya saja salah sa...