Bel pulang sekolah telah berbunyi dan para anggota Pandora diminta untuk datang ke markas. Sepertinya kata markas lebih enak didengar di kepala Adel daripada ruang sekretariat, karena memang Pandora merupakan kelompok yang bergelut pada bidang non akademis, atau apapun itulah. Tangan Adel kini dipenuhi kaleng soda yang sengaja dia beli untuk anggota Pandora lainnya. Senyum tercetak saat ingatannya muncul.
"Terkadang apa yang lo percaya bisa melindungi, bisa jadi sumber dari ancaman baru."
Saat itu, kata-kata yang dikeluarkan Ashel sangat melekat di otaknya. Sebenarnya apa yang membuat Ashel sampai di titik bisa mengatakan hal tersebut? Sungguh Adel ingin mencoba memahami setiap anggota Pandora.
Tangannya pun merogoh kantong tasnya dan mengeluarkan sekotak susu rasa strawberry. Dia membelinya bersama Marsha sebelum masuk ke markas. Tadinya ingin membeli rasa yang lain, tapi tidak ada. Ya, sudah, perlahan susu kotak rasa strawberry tersebut disodorkan pada Ashel.
Tentu saja, Ashel terheran-heran waktu itu. "Apa ini?"
"Susu kotak?" Adel menggaruk belakang kepalanya. "Buat ganti air tadi pagi?"
"Tapi gue nggak ngasih lo susu strawberry tadi pagi." Ashel menatap tajam susu kotak yang masih ada di tangan Adel. "Lagian strawberry terlalu lembut buat gue!"
"Lo nggak suka ya?"
Diam sejenak, akhirnya susu strawberry tersebut diambil Ashel. Senyum pun kembali hadir di wajah Adel, bahkan dia menunggu Ashel menusuk sedotan dan meminumnya. Bukan hanya itu, Ashel juga mengucapkan terima kasih pada Adel, walau terdengar lamat-lamat.
Kali ini Adel tidak ingin salah rasa lagi, seharusnya sejak awal dia tidak mengikuti Marsha yang sama-sama membeli susu strawberry, sudah jelas Ashel dan Marsha sangat-sangat berbeda.
Adel telah memasuki markas Pandora dan menatap sekeliling. Ada Marsha yang sudah di depan laptopnya dan tengah serius mengetik. Cahaya terang bisa terlihat di sekujur tubuhnya, sepertinya Marsha sedang dianugerahi banyak ide hari ini. Adel tidak ingin mengganggu, dengan ragu diletakan satu kaleng soda di ujung meja Marsha.
Kakinya kembali melangkah dan bertemulah dia dengan Olla yang tengah sibuk membaca buku Kode Para Kriminal. Mungkinkah Olla sedang mencari arti dari angka-angka yang dikirim penculik anaknya Red Chicken?
"Hah!!" Olla teriak frustrasi. Tangannya menutup buku yang tadi dibaca. "Susah amat yak!!"
Adel tersenyum dan menyerahkan satu kaleng soda. "Minum dulu!"
"Widih, ultah ya lo?" Olla dengan enteng menerima kaleng soda dari Adel dan mulai meminumnya.
"Nggak, cuma mau bagi-bagi aja." Adel menaruh sisa kaleng soda di atas meja utama. Pandangannya kembali melirik sekitar. "Kak Gita sama Ashel belum dateng ya?"
Olla mengedikan bahu. "Tau dah, gue harap mereka belum bisa mecahin angka-angka dari Red Chicken."
"Kok gitu?"
"Iyalah, gue ngerasa cuma gue yang bego di kelompok ini." Olla berdecak. Saat mengambil uang muka dari Red Chicken, Ashel terlihat sangat ahli dan Olla hanya bisa mengikuti setiap perkataannya. "Gue juga pengen pinter kayak yang lainnya."
"Maksudnya gimana?" Adel terlihat bingung arah pembicaraan Olla.
"Nih, waktu gue sama Ashel ambil duit dari si Red Chicken, ternyata lokasinya ngarah ke kos-kosan."
"Beneran ada duitnya?" Adel terlihat takjub. "Berapa?"
"Baru dikirim lima ratus juta, pelit nih keknya Red Chicken." Olla segera menggeleng. "Woy, fokus ke pembahasan teknis ambil duitnya!!"
"Oke-oke! Santai, Bro!"
"Denger yak!" Olla mulai bercerita. "Pas sampe kos-kosan, kita berdua langsung diarahin ke pemiliknya, terus si Ashel pura-pura mau ngekos bareng gue. Jadi, kita berdua bisa bebas lihat-lihat isi kosnya."
Olla meminum sodanya lagi. "Pas kita dah lihat-lihat, gue nggak bisa nemuin tanda-tanda adanya duit, tapi si Ashel ngarahin gue buat cek plafon. Si Ashel langsung narik pemilik kos buat ngobrol di luar. Gue nggak ngerti gimana cara dia bisa buat yang punya kos ngobrol lama, sampe akhirnya gue bisa naik ke plafon, terus jatuhin tuh duit di atep mobil gue. Untung posisi kosnya mendukung, jadi mobil gue bisa masuk."
"Gimana cara Ashel tahu duitnya ada di plafon?" tanya Adel.
"Karena ada tambalan baru di plafon. Ashel nanya ke si pemilik kos, terakhir renovasi kapan dan ternyata udah dua tahun yang lalu." Olla menghabiskan sodanya. "Gila 'kan, hal sederhana gitu aja gue kagak nyampe, buset bego banget dah gue!!"
Olla membuang kaleng sodanya dan mengambil kaleng lainnya. "Jangan tanya ke gue gimana cara Red Chicken naruh tuh duit, jelas kagak bisa gue jawab, kecuali lo tanya Kak Gita atau Ashel."
Adel mengerutkan dahi. "Marsha?"
"Mungkin lo bakal dapat jawaban, Red Chicken pake jasa jin." Olla tertawa pelan. "Tapi Marsha lebih banyak bantu sih dari pada gue."
"Kalau Azizi?"
Mendengar nama Azizi berhasil membuat Olla meremas kaleng soda di tangannya dan melemparnya asal. "Gue belum balas dendam sama si monyet satu itu!!!"
Namun, siapa sangka kaleng soda yang dilempar Olla mendarat mulus di atas buku yang selalu dibaca Gita. Adel yang sadar terlebih dulu, terlihat panik. "Anjir, kena bukunya Kak Gita!!"
Olla yang segera sadar pun sama-sama panik. "Azizi sialan!!"
Adel mencoba menjauhkan buku Gita dari genangan soda di atas meja. Olla berlari kesana-kemari untuk mencari kain atau apapun yang bisa mengeringkan. Beruntung hanya sebagian kecil yang basah. Adel bisa bernapas lega. Dia ingat saat pertama kali bertemu Gita, bahkan suaranya bisa menaikan bulu kuduk.
"The Golden Rules." Judul buku milik Gita bisa terbaca jelas. Marsha memberitahu sebelumnya soal harta karun yang Gita cari dengan berbekalkan buku ini. Bagaimana bisa?
"Bukunya gimana?" Olla berhasil menemukan sekotak tisue di dekat meja Marsha dan mulai mengeringkan meja Gita. "Untung di meja cuma ada buku, coba kalau ada petanya. Nggak tau dah nasib gue gimana nanti."
Oh, Adel baru sadar. Meja besar Gita hanya terdapat buku tanpa ada peta yang selalu terpantri di sana.
"Aman kok, aman." Adel mencoba menenangkan Olla. "The Golden Rules aman!"
"Gue bisa beliin yang baru sih, tapi Kak Gita pasti kagak mau."
"Buku ini ada yang lain juga?" tanya Adel.
"Itu karya J.H, ada banyak di toko buku. Punya Kak Gita aja yang kelihatan buluk gara-gara sering dibaca terus." Olla sempat-sempatnya tertawa. "Kagak bosen apa yak, baca ulang-ulang?"
Mendengar respon Olla, sepertinya pemahaman Marsha dengan Olla soal harta karun yang dicari Gita berbeda arti. Adel menggaruk kepalanya, memahami para anggota Pandora lebih sulit dari yang dia kira.
Melihat meja Gita yang masih dikeringkan Olla, Adel mencari tempat lain untuk meletakan buku Gita. Tanpa sengaja dia melihat sudut lain, tempat yang belum pernah dia sentuh. Adel mendekat dan menemukan sebuah samsak berwarna biru tergantung gagah, selain itu ada lemari yang berisi peralatan bela diri berwarna senada yang hampir semuanya Adel kenali.
"Biru berarti dipenuhi kesedihan." Adel mendekat dan menyentuh samsak yang terlihat lebih menonjol dari yang lainnya. "Apa gue juga perlu memahami Azizi Asadel?"
***
Makasih ya udah dua setengah triliyun yg baca dan lima ratus miliyar lebih vote wkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
PANDORA: The Lost Child [END]
FanfictionPandora merupakan ekstrakulikuler di SMA Semesta. Komunitas yang menerbitkan majalah dan mading sekolah. Namun, di balik semua itu Pandora merupakan kelompok khusus buatan kepala sekolah untuk menyelesaikan berbagai misi rahasia. Hanya saja salah sa...