Ketukan langkah Azizi bertalu cepat mengejar waktu, dia sudah berjanji akan menjadi pengiring piano Fiony. Tangannya menggenggam tas dengan pakaian yang akan dipakai nanti saat dirinya tampil. Ya, sebentar lagi dia tiba di pintu lobi gedung pencakar langit di depannya. Suasana begitu ramai, banyak peserta yang lalu-lalang ditemani sanak saudara, teman, bahkan guru mereka. Azizi sempat kesusahan saat akan memasuki lift menuju lantai di mana Fiony berada.
Selain itu, sepertinya sedang ada pertunjukan seni di ruangan lain, benar-benar menyenangkan. Dia bahkan belum pernah melihat pertunjukan secara langsung, semalam dia menghabiskan waktu untuk menonton banyak audisi agar tidak norak banget. Suara denting lift berhasil mengembalikan kesadarannya. Tubuhnya hampir tersungkur saking banyaknya orang.
Namun, belum sampai kakinya menuju ruang peserta audisi, ponselnya bergetar. Mau tidak mau Azizi berhenti untuk melihat orang yang berani menginterupsinya di menit-menit akhir seperti ini. Dia menepi sejenak dan menemukan Shani mengiriminya sesuatu.
"Apaan nih?" Beberapa potongan gambar dengan angka-angka di ujungnya menarik rasa penasaran Azizi, ternyata gambar dari hasil rekaman CCTV.
Matanya menyipit tatkala berhasil menemukan sosok yang begitu familier di dalam potongan gambar tersebut. Jantungnya seakan berhenti berdetak dan napas mendadak memburu. Kenapa Marsha ada di sana dalam keadaan yang buruk? Tubuhnya dililit tali, bersandar pada dinding. Azizi meremas ponselnya, menyalurkan segala emosi di dalam dirinya.
Sebenarnya apa yang sedang terjadi?
Azizi kembali melangkah memasuki lift yang berbeda. Keringatnya berkucur hebat, napasnya berhembus panas. Dia sudah tidak mempedulikan lagi bagaimana Fiony menjalani audisinya nanti. Beruntung, kali ini hanya dia seorang diri di dalam lift, karena bisa saja Azizi menumbangkan semua orang yang menghalangi langkahnya.
"Dimana?!" Azizi mencoba menghubungi Shani, tapi tidak tersambung. Hampir saja dia membanting ponselnya, tapi terhenti ketika seseorang berhasil memanggil namanya.
"Azizi, woy!!" Terlihat Olla dengan topinya melambai ke arah Azizi yang kini berdiri di depan lobi. "Di sini!!"
Tanpa menunggu lama lagi, Azizi berlari ke arah Olla. "Marsha kenapa?!!"
"Masuk dulu!" Olla mendorong tubuh Azizi agar duduk di samping kursi kendali. Dia sendiri segera masuk dan menekan beberapa tombol, dan kaca mobilnya mulai menggelap. "Pakai sabuk pengaman lo!"
"Kasih tahu gue dulu, ini ada apa?!"
"Gue jelasin di jalan!!"
Azizi tahu jalanan merupakan keahlian Olla. Gadis tersebut segera menginjak gas dan menukik memasuki rute, tidak disangka jalanan cukup macet walau pun masih cukup pagi. Olla menoleh pada Azizi sesaat. "Gue dapet chat alamat lo sama Fiony audisi dari Bu Shani, awalnya gue nggak tahu kenapa, tapi setelah Amanda kelihatan panik lewat earphone, sekarang gue tahu situasinya."
"Situasi gimana maksud lo?"
"Kita lagi jalanin misi!" Olla menekan klakson, sepertinya akan memakan waktu lama. "Lo nggak tahu?"
Tentu saja Azizi menggeleng, sejak keluar dari Pandora sama sekali dia tidak pernah mendapat informasi apapun yang terjadi di dalam kelompok tersebut. Walaupun Shani adalah ibunya, tidak membuat Azizi sampai melakukan hal konyol untuk mengorek apapun yang terjadi di dalam Pandora.
"Kita dapet misi dari klien namanya Red Chicken, singkat cerita dia nyuruh kita nyari anaknya yang hilang diculik sepuluh tahun yang lalu." Stir di tangan Olla mulai berputar, tangannya yang sebelah menarik perseneling. "Kita hampir berhasil mecahin kasusnya, tapi seperti yang terjadi sekarang, kita kalah jumlah. Amanda hilang kontak sama yang lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
PANDORA: The Lost Child [END]
أدب الهواةPandora merupakan ekstrakulikuler di SMA Semesta. Komunitas yang menerbitkan majalah dan mading sekolah. Namun, di balik semua itu Pandora merupakan kelompok khusus buatan kepala sekolah untuk menyelesaikan berbagai misi rahasia. Hanya saja salah sa...