Day 444

926 78 5
                                    

Patah hati patah hati.

Minghao malam itu tanpa sadar malah pulang ke rumah sang suami, padahal seharusnya ia kembali ke indekos Jungkook sang kawan.

Malam itu, Minghao masuk dan langsung berbaring di ranjang dimana sudah ia tarik dan lempar plastik yang terpasang, Kemudian tertidur bersama tangisan.

Pagi ini masih dengan pakaian semalam Minghao turun ke ruang makan. Seolah reflek dalam diri, Minghao tanpa permisi bahkan tak bertingkah seolah ia pernah pergi. Si manis justru duduk layaknya dulu, di kursi favoritnnya, hal yang selalu ia lakukan setiap hari di rumah ini.

Anehnya, Para pelayan dan pekerja dirumah Mingyu tak ada yang berkomentar. Mereka pun memperlakukan Minghao seperti biasanya tanpa bertanya. Walau banyak tanda tanya di kepala mereka, Namun untuk menghormati sosok yang masih menjadi suami majikan, mereka semua bertingkah bak tak ada sesuatu yang mengherankan.

Juga fakta bahwa Minghao nampak tak baik-baik saja sekarang adalah alasan lain mengapa para pelayan tak berani bertanya macam-macam. Si manis terduduk lesu. Suguhan makanan pagi itu tak terlihat sedap menurutnya. Padahal dulu, apapun yang tertata di atas meja (kecuali sayuran) baginya adalah makanan bintang 5 yang akan selalu ia santap dengan nikmat.

Mata bengkak Minghao memang yang paling menonjol bagi semua orang. Kehadirannya tadi malam memang mengejutkan, namun keadaannya sekarang yang membuatnya terlihat mengkhawatirkan. Sendok di sentuh perlahan, Minghao bahkan tak berucap terimakasih seperti biasa pada Mbok Diya yang menuangkan air ke gelasnya. Lelaki yang semalam baru di putuskan oleh cinta terbaiknya hanya mengaduk-aduk isi piring tanpa sekalipun membuka mulutnya.

Bisik-bisik memang sudah terdengar sejak tadi. Para pelayan yang bertugas pagi ini berusaha keras tak berprilaku kurang ajar. Namun mungkin berbagai pikiran dan asumsi yang terlintas di kepala mereka tak tertahankan. Hingga sebuah suara pintu terbuka nyaring terdengar,

"Minghao?"

Mingyu datang.

Pria dengan setelan rapih di tubuh itu baru mengetahui kedatangan Minghao tadi pagi dari penjaga rumah yang melapor padanya. Mingyu sedikit senang karena artinya ia tak perlu repot menghubungi Minghao lewat ponselnya, atau harus repot memanggil dan mencarinya karena ternyata, Minghao datang dengan sendirinya. Bos muda itu duduk terburu buru, namun menolak saat piring hendak di siapkan. Mingyu langsung mengucapkan apa yang hendak ia sampaikan sejak kemarin.

"I'm glad you here. Saya baru saja mau menghubungi kamu."

Sayang, ucapan semangat dan menggebu-gebu dari Mingyu tak dapat respon yang sejak semalam pria itu bayangkan. Minghao hanya melirik sebentar dan menanggapi dengan suara gumaman tak bersemangat.

Mingyu tak pikirkan itu. Dalam hati dan pikiran ia berlatih dan memikirkan matang-matang rangkaian kalimat yang akan ia keluarkan. Berhati-hati, Mingyu tak mau berita pengunduran percerain ini membuat Minghao mengamuk lagi. Maka, Dengan perlahan lahan Mingyu membuka mulutnya, "About our divorce..."

"..."

"We can do it in December," Ucap Mingyu tenang. Ia tatap lelaki yang masih menundukan wajahnya itu penuh harap, semoga Minghao tak memberi tatapan mematikan atau berucap kasar. "I hope you fine with it."

Sendok di tangan Minghao ia simpan. Suara dentingannya walau pelan membuat Mingyu sedikit terguncang. Ia tak takut pada bocah itu, Mingyu hanya khawatir Minghao menganggapnya tak dapat di andalkan karena terus mengundur perceraian. Saat itu Mingyu hendak buka suara, namun ucapan Minghao lebih dulu terdengar,

"Cerai nya di undur lagi?"

"Iya."

"Mm, Yaudah."

Kini suara kursi yang terseret menghilangkan sepi. Minghao memundurkan tempat duduk kayu itu menjauh dari meja. Tak menghiraukan wajah terkejut Mingyu disana, Minghao hanya menatap sebentar sosok yang masih berstatus sebagai suaminya. Kemudian bertanya, "Kalau gitu, Gue boleh tinggal disini lagi, ya?"

Hening. Mingyu baru menyadari keadaan bocah itu kini. Mata merah dan bengkak Minghao yang sedang ditatapnya. Tanpa berpikir, Mingyu menjawab, "Ya." Bersama anggukan.

Yang lebih muda berdiri kemudian. Tanpa bicara apapun berlalu pergi keluar ruang makan. Tak Minghao makan bahkan satu suapan, Makanan disana bak hanya jadi mainan.

Mingyu masih di posisinya mulai kebingungan. Apa ia berhasil membuat Minghao kecewa?

"Sial..."

Seharian, Wajah murung selalu terbayang. Hati Mingyu tak tenang kala pikiran buruknya soal Minghao yang akan mencapnya sebagai lelaki tak bertanggung jawab terus berputar. Mingyu kesal sendiri jika ia dianggap tak kompeten sebagai suami bohongan.

Mungkin karena jiwa ambisiusnya, Mingyu harus hidup dalam kesempurnaan. Makanya, Kala sikap Minghao tak sesuai dengan apa yang ia bayangkan, Mingyu jadi kepikiran.

Dan malam ini saat akhirnya ia kembali, sejak masih berada di dalam mobil matanya langsung terarah pada kursi di taman depan. Tempat dimana Minghao selalu duduk bersama Seungkwan. Mingyu makin takut jika Minghao menganggapnya lebih buruk dari sebelumnya.

Seungkwan menyimpan sepiring menu makanan di meja makan. Langkahnya yang hendak pergi terhenti kala Mingyu menahan, "Sebentar, saya mau tanya."

"Eh iya Mas?"

"Ada cerita nggak? Apa gitu Minghao ke kamu?"

Pelayan rumah paling muda itu terdiam. Matanya berkedip-kedip heran. Namun setelah menggeleng sebentar Seungkwan kembali pada kesadaran. "Raden gak cerita apa apa, Mas Mingyu. Tadi saya cuman nemenin duduk soalnya dari sore Raden ngelamun disitu."

Kini pikiran Mingyu bertambah terbang. Di kamar, Mingyu menatap keluar jendela sambil bertanya-tanya, Ada apa dengan bocah disana?

Karena ternyata, sesuai yang Seungkwan ceritakan. Minghao sudah terlihat murung sejak kemarin malam. Artinya, mata sayu itu bukan gara-gara ucapan Mingyu soal pengunduran cerai mereka. Walau dalam hati Mingyu senang karena apa yang ia khawatirkan ternyata hanya angan-angan, Namun lelaki 26 tahun itu malah bertambah beban pikirannya.

"Dia kenapa ya?"

Ah sial, Minghao terus berputar dikepalanya sampai malam!

Five Years Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang