Mingyu sepertinya benar. Mama ternyata tak memperlakukannya berbeda karena alasan buruk. Justru mama memperlakukan Minghao dengan tujuan supaya Minghao tak bernasib sama dengan dirinya nanti.Pada bulan Mei lalu, Minghao datang ke rumah ini. Rencananya ia ingin menyampaikan rencana perceraiannya yang akan dilaksanakan saat itu, namun berbeda dari biasanya Mama kala itu nampak sangat ceria. Seperti sosok yang selalu Minghao lihat dulu saat ia rasa duniannya masih baik-baik saja.
Wanita paruh baya itu seperti tak punya kekhawatiran, rasanya ia sedang hidup tenang dan bahagia. Pikiran jelek Minghao menganggap itu karena dirinya tak lagi ada dirumah setelah diboyong suami pura-puranya, apalagi kala Jhonny berkata, "Seneng dia, bebannya udah hilang."
Pikiran itu membuat Minghao menarik niatannya. Ia pikir sebaiknya kabar perceraiannya disampaikan setelah Mingyu dan Minghao resmi berpisah di pengadilan.
Lagi, Minghao tentu terganggu dan sedih tentang dirinya yang ternyata dianggap beban. Namun pikiran itu sirna setelah Minghao sadar beban yang dimaksud tentang dirinya bukanlah makna secara harfiah. Mama ternyata terbebani dengan mimpi dan cita cita Minghao yang tinggi. Terbebani dengan sikap Minghao yang selalu merasa dibenci. Beban itu nampaknya membuat rumah ini terasa dipenuhi asap dan abu, baik Mama maupun Minghao tak mampu menyampaikan fikiran masing masing sampai akhirnya datanglah Mingyu.
"Mau makan, Gyu?"
"Boleh ma."
Mingyu meneguk gelas berisi teh hangat yang mama tuangkan untuknya. Berterimakasih kala sebuah sarapan rumahan sederhana disajikan untuknya seorang. Heran Minghao, mengapa dua insan yang paling sering mengganggu fikirannya ini bisa secara tiba tiba memiliki chemistry yang tak terkirakan?
Si manis menggelengkan kepalanya kala melihat Mingyu dengan tenang menyantap sarapan nya didapur dengan mama dihadapan. Kakinya melangkah ke teras depan, teringat bagaimana mama tertatih tatih berjalan keluar rumah pada tengah malam hanya untuk menyambut anak dan menantunya yang jarang sekali datang.
Samuel melambai dari balik pagar. Ia masuk tanpa permisi dan memeluk sepupunya yang sudah lama tak ia jumpai. "Luar biasa, masih hidup ternyata!"
"Kemana kamu waktu mei lalu? Kok gak liat?"
"Kerja!"
Minghao menatap Samuel tak percaya. Sepupunya ternyata tak melanjutkan pendidikannya setelah SMA. Tak seperti cita-citanya, Samuel malah memilih bekerja.
"Tsk! Tenang. Aku gapapa. Aku seneng kok kerja, punya uang~"
Yang lebih muda tersenyum cerah. Ia lantas bertanya soal pernikahan Minghao dan perkuliahannya. Yang ditanya hanya mengungkapkan apa yang harus diungkapkan, "Semuanya baik, Aman." Sesuai apa yang diharapkan semua orang.
"Baguslah... I mean kayaknya bener kata mamamu soal pilihan ini yang ternyata tepat buat kamu. Maaf dulu aku roasting suamimu itu."
Minghao membatu. Diteras rumah mamanya itu dirinya dan sang sepupu berdiri menghadap langit yang belum terlalu biru. Anginnya dingin namun segar, bahkan matahari masih nampak malu-malu.
Samuel kembali berujar, "Hidup susah ditebak, menurutku gak salah kok kita jilat ludah sendiri soalnya dulu kita belum sadar hal hal itulah yang ternyata baik buat kita dimasa depan."
Lelaki muda dengan kaos putih itu terkekeh seolah meledek Minghao. Teringat dihari pertama Mingyu datang dulu, dihadapan Samuel Minghao terus menerus mengucap sumpah serapah, menangis dan marah. Namun ia kini datang dan mengaku bahwa semua baik-baik saja walau bukan itu lah yang ingin ia sampaikan sebenarnya.
"Enggak salah nih?"
"Kalau salah pun gapapa Hao!" Samuel merenggangkan tubuhnya. "Pasti ada hikmahnya!" kemudian izin pamit, ia harus bekerja nanti siang. Namun sebelum berlalu Minghao menyercanya dengan teriakan, "Lo kok bijak banget sekarang, Bocah!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Five Years
RomanceMinghao dijual bibinya pada seorang pria kaya untuk dijadikan suami palsu. Kontrak yang rencananya berlangsung hanya sampai sang bunda meninggal dunia mundur hingga 6 bulan lamanya. Namun sampai ratusan hari berlalu, Minghao masih berada di rumah me...