🎶we'll be okay, for today- Arash Buana🎶
.
.
.Asghar berlari sekencang mungkin saat dirinya sudah sampai di depan sebuah rumah sakit yang menjadi tempat ayahnya di tangani. Tanpa memperdulikan banyak bahu yang mungkin sudah tertabrak olehnya, dirinya terus berlari hingga sampai di depan ruangan bertuliskan Instalasi Gawat Darurat.
Asghar berhenti sebentar, menormalkan nafasnya yang memburu sebelum menghampiri wanita yang kini tengah menangis di pelukan Bik Jin. Begitu juga dengan anak kecil yang terus menerus berteriak memanggil ayahnya di pelukan sang ibu. Sungguh pemandangan yang tak pernah Asghar banyangkan sebelumnya.
Langkah kakinya memberat. Mati-matian Asghar menahan air matanya yang ingin jatuh. Tidak, dia tidak boleh menangis. Dia harus kuat untuk memberikan kekuatan pada yang lainnya.
Ibu yang melihatnya mendekat lantas bangkit dan memeluknya erat. Tangis ibu kembali pecah. Wanita itu kini meraung-raung di pelukan putranya. Bayangkan saja, seseorang yang ditunggunya untuk pulang dalam keadaan sehat tanpa kurang suatu apapun, tapi dipatahkan begitu saja oleh takdir memberikan hal sebaliknya.
Dia hancur, begitu juga dengan ibu. Asghar membalas pelukan ibu tak kalah erat. Tangannya mengelus punggung yang bergetar karena tangisnya. Rasanya Asghar ingin marah pada takdir karena membuat air mata yang selama ini dijaganya mengalir dengan deras.
"mas, ayah mas... Ayah bohong! Dia bilang sama ibu kalau akan selamat sampai rumah. Dia bilang pengen cepat pulang dan ketemu kita mas..." ibu merancau di sela tangisnya.
"tapi ini bukan rumah kita! Dia bahkan belum ketemu kita, kenapa mas... kenapa ayahh.." Asghar bungkam. Pelukannya pada sang ibu semakin mengerat.
Dia tidak punya jawaban atas pertanyaan itu. Dari sekian banyak candaan takdir padanya, ini yang paling tidak lucu. Kenapa harus ayahnya yang seperti ini? Kenapa bukan dirinya saja? Andai kata takdir seseorang bisa digantikan, Asghar siap untuk terbaring sakit di dalam sana menggantikan ayahnya.
"bu.. kita berdoa supaya ayah baik-baik aja, dan ayah pasti baik baik aja. Adan yakin, sekarang ibu tenang ya," Asghar melepas pelukannya, menuntun ibunya untuk duduk di kursi yang sebelumnya diduduki.
Asghar berjongkok di hadapan ibunya. Dia tidak boleh terlihat lemah, dia harus menguatkan ibunya walaupun sebenarnya kesedihan dalam dirinya juga butuh dikuatkan. Ibu jarinya menghapus jejak air mata di wajah pucat ibunya.
"ayah terlalu semangat buat ketemu kita, dia lupa hati-hati seperti yang ibu bilang. Ayah kayaknya nyuruh kita untuk nunggu sebentar lagi. Kalau mau nyambut ayah, ibu gak boleh nangis kaya gini. Kita harus kuat demi ayah," ucapnya diselingi senyum menenangkan. Sebisa mungkin Asghar menjaga suaranya agar tidak bergetar.
Dia beralih menatap adiknya yang sudah tak lagi menangis di dekapan Bik Jin. Tangannya terulur mengusap rambut adiknya sayang. Dengan perlahan dia memindahkan adiknya duduk di pangkuannya. Bahunya di gunakan sebagai sandaran ibunya, sementara badannya dengan leluasa di peluk oleh Iam yang masih sesenggukan.
Seharusnya memang seperti ini. Bahunya harus lebih kuat, bahkan dirinya tidak boleh lemah untuk menjadi tepat bersandar paling nyaman orang-orang di sekitarnya.
Wajahnya tenang, tapi tidak dengan hatinya yang terus mengucapkan banyak semoga, harap-harap tuhan mendengar rentetan do'a untuk ayahnya. Bahkan Asghar belum sempat bertanya kenapa dan mengapa ayahnya bisa jadi seperti ini. Dia hanya sibuk menenangkan orang-orang tersayangnya.
*****
Asghar menggeliat dari tidurnya. Matanya perlahan terbuka menampilkan sosok ayahnya yang terbaring dengan tenang di hadapannya. Dengan perlahan dia menegakkan tubuhnya yang terasa sakit dan pegal karena tidur dengan posisi yang kurang nyaman.
Semalam ayah sudah di pindahkan ke dalam kamar rawat inap. Dokter bilang tidak ada yang serius dengan kondisi ayah, beliau hanya mengalami cedera otak ringan. Tapi Asghar juga tidak tahu kenapa sampai saat ini ayahnya belum sadar juga. Mungkin beliau masih ingin istirahat sebentar lagi.
"mas, mau makan apa? Biar bibi belikan di kantin," suara wanita yang umurnya sudah berkepala lima itu mengalihkan atensinya. Terlihat bik Jin berjalan mendekat.
"gak usah bik, belum lapar. Beli buat bibi, ibu sama iam aja."
"tapi mas Adan belum makan loh dari semalam. Bibik takut masuk angin," ucapnya menyiratkan kekhawatiran.
Asghar melirik jam yang berada di atas nakas. Sudah pukul setengah sepuluh pagi. Itu artinya Asghar baru tidur selama dua jam karena ingin terus memantau keadaan ayahnya.
"ibu sama Iam kemana bik?"
"ibu pulang sebentar ngambil baju bapak sama bajunya mas iam. Bibi disuruh tunggu di sini aja jagain mas Adan."
"Adan udah besar bik, yang ada bibi yang harus Adan jagain. Sini deh, biar Adan aja yang beli makanannya, bibi tolong tungguin ayah ya."
Asghar menuntun bik Jin untuk duduk di sova yang tersedia di sana. Dia melirik ke arah ayahnya sebentar kemudian beranjak keluar. Tujuannya saat ini bukan ke kantin seperti yang dikatakan pada bik Jin, melainkan taman rumah sakit yang masih terlihat sepi. Asghar mendudukkan dirinya di salah satu kursi besi di bawah pohon besar disana. Kepalanya terasa berat, mungkin karena hari ini dia kurang tidur.
Tangannya tergerak mengambil sekotak rokok yang tersimpan di saku celananya. Asghar sudah sangat hafal dengan kebiasaannya melampiaskan masalah pada benda nikotin itu. Seakan akan hanya itu satu-satunya cara agar pikirannya bisa sedikit tenang.
Ingatannya tiba-tiba melayang pada festival semalam yang di tinggalkannya begitu saja. Apa yang terjadi setelahnya? Apakah dia benar benar telah mengacaukan semuanya? Bagaimana dengan ketiga sahabatnya? Bahkan sampai sekarang Asghar belum menghubungi mereka. Ponselnya mati dan dia tidak ingat meletakkan benda itu dimana.
Jika benar semuanya kacau, kali ini kesalahan itu ada pada dirinya. Tapi dia tidak punya pilihan saat itu. Hembusan nafas lelah kembali lolos dari bibirnya. Tangannya mencengram rambutnya kuat supaya sakit yang dirasakan dapat menggantikan rasa pening di kepalanya.
Dia akan meminta maaf karena membuat keluarganya kelaparan sebab teralu lama menunggunya membeli makanan. Asghar masih ingin duduk disini. Menikmati sebatang rokoknya dengan isi pikiran yang kian berisik.
Puntung rokoknya yang sudah seukuran jari kelinking di tekannya hingga mati ke ujung kursi. Sebelah tangannya menyumpal kembali bibirnya dengan rokoknya yang baru. Asghar berdecak saat korek apinya tak kunjung hidup dengan jempol yang terus mencoba memantik.
"bangsat," desisnya saat tiba-tiba saja rokok di bibirnya di ambil paksa oleh tangan seseorang.
Asghar mengangkat pandangannya. Matanya seketika melebar ketika melihat seorang gadis yang kini terang-terangan mematahkan benda nikotin itu di depan matanya. Pandangannya menajam, emosinya terpancing saat ini.
"Rain, lo apa-apaan sih?!"
TBC
Akhirnya up! Apa kabar kalian semuaa? Semoga sehat selalu ya!
Gimana part kali ini? Aku sengaja kalau buat konflik itu yang ringan supaya baikannya juga gampang hehe. Soalnya aku gak tega kalau mereka kit heart terlalu dalam. Biar aku saja yang merasakannya..
BeRsyAnDYaaA..Jangan lupa vote and comment donggg, nulis itu tidak gampang loh!!
Sampai ketemu minggu depan yaw..
Papay(●´з')♡
![](https://img.wattpad.com/cover/342145372-288-k172303.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Hujan [END]
ContoSaat hujan datang dan kamu terjebak di antara derasnya, hujan memberimu dua pilihan. Berteduh atau tetap Bersamanya. ----- Jatuh Cinta milik gadis bernama Rain Ayrudia ibarat rintik hujan yang jatuh membasahi bumi. Definisi bumi menurutnya adalah s...