peace letter

76 38 8
                                    

Sederas apapun ia turun
Semenakutkan apapun ia turun hujan tetaplah air yang akan selalu menghadirkan suatu kenangan dan kelembutan.

Selamat membaca, semoga suka.

🌧


MODUS. Bukan, maksudnya yang ini bukan tetang nilai yang sering muncul dalam mata pelajaran matematika, melainkan cara seseorang mengambil kesempatan demi mendapatkan perhatian, seperti yang Rain lakukan saat ini. Dirinya sedari tadi sudah mondar mandir ke arah kelas sebelah. Sembari menunggu Pipit datang, sekalian mengintip apakah Asghar sudah berada di kelasnya atau belum.

Rencananya Rain akan memberikan surat yang ditulisnya sampai begadang tadi malam kepada Asghar. Supaya cepat baikan!. Rain menggigit kukunya saat merasakan gugup. Kakinya kembali melangkah ke arah kelas itu sebab tadi dirinya tidak berhasil mengintip. Dengan langkah pelan tapi pasti, kakinya mulai berjalan. Satu langkah..dua langkah.. sebentar lagi sampai di dekat jendela kelas itu,
satu langkah lagi..

“DORRR!!”

“SETANNN!!.” Rain berjengit kaget saat bahunya di tepuk kencang oleh seseorang. Jantungnya kini berdegub tak beraturan. Suara tawa perempuan yang sangat dikenalinya menggema di koridor yang masih sepi. Rain membalikkan badannya sambil berkacak pinggang. Terlihatlah Pipit yang sudah berjongkok memegangi perutnya sambil menertawakan dirinya.

“bhahaha anjir perut gue pagi-pagi udah sakith.” Ucapnya. Pipit bangkit dari duduknya. Matanya memicing menatap Rain yang seketika panik seperti terciduk melakukan tindak kriminal.

“hayoloo ngapain ngintip-ngintip kelas sebelah!.” Jari telunjuk Pipit meoel-noel lengan Rain.

“enggak gue nggak ngintip! Orang gue cuma mau jalan-jalan aja nungguin lo.” Rain mengelak mencoba menormalkan ekspresinya.

“udah pinter bohong lo ke gue? Kita udah tiga tahun temenan Rain! Nggak usah malu-malu kalau sama gue mah!.” Pipit mengambil satu tangan Rain lalu menggandengnya berdiri di depan pintu kelas mereka. “jadi apa maksud dan tujuan anda pagi ini?.” Pipit memajukan kepalan tangannya ke arah Rain seolah-olah itu adalah mikrofon.

“seperti yang udah gue ceritain ke lo tadi malam.” Bodohnya Rain memajukan wajahnya ke arah tangan pipit saat berbicara. Pipit mengangguk paham.

Tadi malam dirinya memang menelpon Rain karena gabut saja, lalu perbincangan mereka terlarut pada curhatan Rain yang merasakan perbedaan pada Asghar, seperti menjauh dari dirinya. Pipit juga menyetujui rencana sahabatnya yang akan memberikan surat perdamaian hari ini.

“jadi? Orangnya udah datang?.” Rain mengendikkan bahunya. “gue belum sempat ngintip gara-gara lo.”. Tangannya mengambil surat yang di simpannya dalam saku roknya lalu menunjukkannya pada Pipit. Kertas surat itu sangat gilrly pikirnya. Kalau Asghar membaca surat itu nanti di depan umum, orang lain akan tau kalau itu dari perempuan.

“ck lama sih! Mau gue intipin nggak?.” Tawar Pipit membuat mata gadis itu berbinar lalu mengangguk semangat. “okeh let’s go!.” Belum sempat kakinya melangkah suara besar dari arah belakangnya menghentikan aksinya.

"selamat pagi burung Pipit yang ditemani hujan." Pipit menghembuskan nafasnya kasar. Baru mendengar suaranya saja mood nya sudah tidak baik apalagi melihat wajahnya yang menyebalkan. Dengan terpaksa dirinya membalas ucapan laki-laki itu.

"tumben sendirian? Yang lain mana?."

"nggak usah cari yang nggak ada, sama yang ada aja sini." Naufal mengedipkan matanya membuat gadis itu bergidik ngeri.

Cerita Hujan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang