24

83 5 0
                                    


  "Ceritanya sad ending El, gue jadi sedih jadinya."

  Elden membalik buku bersampul biru di genggamannya dan membaca sinopsis di belakangnya," seorang omega mempunyai 2 mate?"

  "Ya, gue belinya sekitar seminggu lalu di toko buku. Ceritanya kenapa berujung sad ending sih? Kenapa ketiganya nggak bisa bersatu?"

  Elden meletakkan kembali buku itu diatas meja dan mengusap kepala Milla dengan gemas," ya mana mungkin bisa bersatu, dua penguasa dalam satu wilayah tidak akan dapat membuat wilayah itu makmur jika keduanya memiliki visi yang berbeda. Lo tahu? Minyak dan air bisa dalam satu wadah tapi tidak bisa disatukan."

  "Tapi Elden, kenapa kedua alpha-nya tidak bisa menahan keegoisan mereka  demi mate-nya sendiri? Kenapa mereka tidak memikirkan sedikit pun perasaan mate-nya? Endingnya, ketiganya tidak ada yang bahagia dan tidak ada yang memiliki omega itu pada akhirnya. Omega itu memilih mati daripada melihat kedua alphanya yang mati karena memperebutkan dirinya," jelas Milla menurunkan tangan besar Elden dan merematnya.

  "Itu hanyar cerita sejarah, penulis hanya menulis apa yang mereka lihat dan saksikan. Tidak ada yang tahu masalah inti diantara ketiganya, kita tidak tahu apakah masalahnya ada di kedua alpha itu atau sebenarnya pada omega-nya sendiri. Milla, itu cerita sudah sangat lama dan tidak ada reinkernasi dari keduanya selama ini. Jangan terlalu dipikirkan."

  Sebenarnya Milla ingin becerita tentang dua jiwa werewolf-nya dan kemungkinan Aldevaro juga mate-nya. Namun sepertinya ia memang harus menunggu ulang tahun ke 17-nya dan semuanya akan nyata,

  "Ngomong-ngomong Elden, bagaimana ceritanya tentang mark Fero?"

  Pada saat ia menanyakan ini tanpa sadar matanya melirik kearah kakaknya yang sedang bercanda ria  dengan pacarnya di bangku halaman sedangkan dirinya dan Elden duduk tak jauh dari mereka disebuah bangku dibawah pohon besar. Ya mau gimana lagi, dia menyukai pheromone Elden dan ingin menghirup sebanyak-banyaknya.

  "Apa yang perlu diceritakan? Dulu Fero tahu kalau..."

  Pintu cafe terbuka membuat lonceng diatas pintu berdering, dengan langkah riang Alya memasuki Cafe dan langsung mematung melihat seorang barista yang dikenalnya membuat kopi dengan lihai. Tubuh atletisnya terbalut sempurna dibalik celemek cokelat khas barista membuat Alya tidak dapat berkata-kata.

  Fero yang merasa jengah diperhatikan menatap Alya dengan memincing mata membuat Beta yang baru pulang dari rumah neneknya itu terkesiap, Alya pun memberanikan diri menghampiri Fero yang sedang membersihkan tangannya dengan tisu.

  "Fero, lo kerja di cafe ayah gue?"

  Fero berdehem membuat Alya lagi-lagi menutup mulutnya karena terkejut. Sejak kapan Fero bekerja? Kenapa ayahnya tidak memberitahu?

  "Sejak kapan? Kenapa gue nggak tahu? Lo nge part-time disini? Pegawai tetap atau sementara?"

  Fero mengabaikan Alya seperti biasa tidak membuat Alya berkecil hati, bahkan beta itu memotret Fero terang-terangan dan Fero tidak menegurnya.

  Setelah Alya mendapat foto yang bagus ia langsung beranjak menemui ayahnya yang berada diruangan pemilik untuk mengirim makanan yang bibinya buat. Tapi setelah setelah mengantar makanan ia tidak langsung pergi bermain melainkan mengirim foto itu dulu ke Milla untuk mengejutkan omega itu.

  Milla diseberang terkejut, es krim yang sedang dimakannya hampir menetes membasahi tangannya jika Elden tidak menegur. "Lihat ini El, Fero jadi barista."

  Elden tidak terkejut, ia sudah mengetahuinya sejak Fero pertama kali viral. Walau ia sudah menawari Fero pekerjaan lebih privat baginya alphadom bergaji lebih tinggi namun alphadom itu tetap menolaknya. Jadi tidak ada yang bisa Elden lakukan untuk Fero menarik diri dari pekerjaan itu.

  "Biarkan saja, dia alpha yang suka bekerja keras."

  "Kenapa dia sudah bekerja? Bukannya juga barista adalah pekerjaan memalukan untuk alphadom?"

  "Ayahnya setelah diturunkan jabatannya tidak ingin bekerja lagi, jadi dia harus turun tangan sendiri menghidupi ibu dan kakaknya yang sakit."

  Milla jadi ingat Devan yang mengincarnya di kantin waktu itu, jika diingat kembali ia sedikit takut dan berhenti mengingatnya. Sebentar lagi dia akan berumur 17 tahun, dia harus fokus dengan itu.

  "Elden, apa lo sudah punya pacar?" Tanya Milla tiba-tiba setelah menghabiskan es krimnya dan menyeka tangannya bersih.

  Elden tersenyum lembut dan menarik Milla gemas ke pelukannya," gue jomblo, dari lahir sampai sekarang."

  "Kenapa lo nggak pernah laku?"

  "Omongannya, gue nggak punya minat berhubungan dengan orang lain dan gue rasa gue nggak akan berhubungan selain dengan mate gue. Apalagi gue punya tanda mark, gue akan selalu jaga kehormatan tanda mark gue."

  Milla mencubit perut Elden sedikit keras membuat Elden harus pura-pura mengaduh karena sebenarnya itu tidak berasa sekali," kenapa lo malah deketan sama gue? Bagaimana kalau nanti gue bukan mate lo coba?"

  "Apa lo mau jadi yang kedua?"

  "Elden!"

  "Hahaha...."

  Tiba-tiba saja seseorang menarik kerah belakang Elden membuat alphadom itu terpaksa berdiri. Milla lantas berdiri dan memandang kakaknya marah karena menggangu momen-nya dengan Elden.

  "Apaan sih kak? Ganggu tahu nggak?" Marah Milla berkacak pinggang.

  "Ini lebih 5 menit dari waktu yang ditentukan, Elden harus pergi," ujar Axel lalu memberikan lirikan ke bodyguard yang memegang kerah Elden untuk menyeretnya keluar.

  "Gue bisa sendiri."

Melepaskan tarikan itu sangat mudah, setelah beberapa patah kata dengan Milla Elden beranjak meninggalkan mansion dengan perasaan berbunga. Entah mengapa satu jam itu hanya terasa 5 menit baginya. Ia ingin terus bersama Milla!

  Aldevaro menuruni tangga setelah tidur 1 jam dan kini dia berpakaian santai dengan ipad di tangan kanannya. Melihat kebawah ia langsung mendapati adiknya Viera, Sofia dan Hensel beserta seketarisnya William sedang menikmati buah strwaberry yang pasti berasal dari kebun belakang.

  "Kakak, akhirnya muncul juga!" Seru Viera berlari memeluk Aldevaro dengan senang walaupun ia tahu kalau dia tidak akan mendapat balasan karena kedatangannya yang mungkin membuat kakaknya marah.

  "Siapa yang mengizinkamu datang?" Tanya Aldevaro dingin membuat Viera melepaskan pelukannya dan berdiri dengan gugup. Hensel yang sudah menyiapkan beribu alasan siap berdiri untuk mewakili Viera namun Aldevaro mengangkat tangannya menyuruhnya untuk diam. Tidak mendapat bantuan, Viera akhirnya dengan terpaksa memberanikan bersuara.

  "Ka-ka-kakak, A-aku hanya ingin memberi kejutan," jawab Viera dengan gugup dan saat dia mendongakkan wajahnya dia melihat iris mata merah itu semakin menakutkan.

  "Se-sekolah libur senin dan selasa, ja-jadi a-aku menyusul kakak."

  Aldevaro mengabaikan air mata Viera yang turun, ia terus berdiri menunggu Viera menjawab apa yang ingin ia dengar.

  "I-ibu mengizinkan, aku datang juga dengan kak Sofia dan paman Hensel."

  "Jangan marah padanya Varo, dia hanya ingin memberikanmu kejutan," sahut Sofia namun Aldevaro tidak memperdulikannya.

  "Maaf kak hiks... aku salah, aku seharusnya izin dulu ke kakak kalau aku ingin menyusul kakak. Aku salah dan aku menerima hukumannya," ujar Vierra menunduk dalam dan kedua tangannya saling bertautan dengan gugup.

   "Aku tidak liburan, kau tahu itu," ujar Aldevaro dalam. Benar, dia melakukan penerbangan ini untuk bisnis bukan bersenang-senang.

  Viera mengangguk patuh, ia sangat salah tergoda rayuan calon kakak iparnya Sofia untuk menyusul kakaknya. Ia sangat menyesal sekarang, pasti kakaknya akan menghukumnya berat.

  "Setelah pulang, jangan keluar rumah 2 minggu. Sekolah online."

  Viera benar-benar menyesal, padahal hari kamis minggu depan dia memiliki jadwal presentasi di kelasnya dan dia mungkin akan mendapat keluhan dari teman-temannya juga.

Bar-bar OmegaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang