30

87 9 1
                                    

  Dibangunan yang sama, terdengar suara jeritan suara wanita yang familiar lagi dimalam yang dingin. Kali ini jeritan itu terdengar cukup lama, setelah suaranya mulai terputus-putus seseorang tiba-tiba saja keluar dari pintu utama dengan jaket depannya ternodai bercak darah yang mengerikan. Seseorang  itu menghentikan langkahnya dan mengangkat teleponnya yang sedaritadi berdering.

 "Hari ini aku tidak pulang, aku ke apartemen."

  Setelah mematikan teleponnya. seseorang itu memasuki mobil hitamnya dan segera melepas jaket penuh darahnya lalu melemparkannya ke belakang. Keluar dari perkarangan gelap itu dia mulai melaju dengan cepat menuju ke apartemennya hanya setengah jam lebih cepat dari biasanya.

 "Gue sepertinya akan gila," gumam seseorang itu yang langsung melemparkan dirinya ke sofa tengah.

 "Kapan lo akan menghilang? gue capek," keluh seseorang itu dengan hembusan nafas berat. Sekali lagi, seperti sebelumnya tidak ada jawaban atas pertanyannya. Dengan langkah lemah ia menuju dapur dan hendak mengambil secangkir air putih namun ia langsung membelokkan langkahnya ke rak lemari atas dapur yang berisi berbagai macam anggur dan mengambil beberapa botol anggur sekaligus.

 Seseorang itu kembali duduk disofa dan langsung meneguk anggur itu langsung dari botolnya. Tanpa ada yang tahu kenapa, dia melemparkan botol itu langsung ke kaca yang digantung di dinding samping. Seseorang itu menangis, menjambak rambutnya dan meraung dengan keras. Kenapa dia terlambat lagi? Apa sekarang dia lagi yang akan kalah? Padahal hanya menunggu waktu, sampai dia berumur 17 belas dan ia yang akan pertama kali menemukannya. Tapi siapa sangka. ternyata rival-nya sudah bertemu duluan dan mereka berdua sudah memiliki hubungan cukup dekat. Kenapa dia tidak mengawasi dengan lebih cermat? padahal dirinya yang pertama kali bertemu dengannya.

  "Raga ini bodoh, bajingan tidak berguna! kenapa dia mengacuhkan mate-nya sendiri?"

  "Dan apa yang harus saya lakukan untuk membunuh jiwa ini dan mengambil raganya? Sumpah demi moongoddes, saya ingin menemuinya sesuka saya," Teriak sesorang itu lalu menendang meja kecil di depannya, ia mengambil botol anggur lain dan menghabiskannya langsung. Ya, dia tidak bisa mengendalikan tubuh yang dihinggapinya sesuka hati. Bahkan lebih parahnya lagi dia  hanya bisa muncul hanya saat tubuh ini kelelahan, walau pemiliknya sadar tapi mereka tidak bisa berkomunikasi secara langsung. Sampai saat ini, dia hanya bisa perlahan mempengaruhi perasaan raga ini agar sang pemilik sadar akan keberadaan mate-nya.

 "Bajingan!"

 pyarrr

  "Aldevaro?"

  Dengan segera Hary meraih adiknya yang pingsan setelah memukul tv di depannya dengan botol anggur. Tanpa basa-basi ia pun membopong tubuh adiknya keluar dan membawanya ke rumah sakit.

  "Kakak sudah tahu kalau ada yang tidak beres denganmu," gumam Hary melirik adiknya yang terbaring di tempat duduk belakang mobil.

 Dirumah sakit, Aldevaro diperiksa dengan intensif oleh beberapa dokter sekaligus. Keadaan Aldevaro cukup membuat beberapa dokter kebingungan, karena pasalnya jantung Aldevaro sudah berhenti namun tubuhnya terus menggeram seperti menahan sesuatu keluar disertai keringat mengalir begitu deras. 

 "Maaf, tapi untuk kali ini kami tidak dapat menemukan penyakit pasien. Tapi kami akan tetap berusaha sebisa mungkin agar pasien dapat bertahan."

 Hary mengusap wajahnya kasar, ia tidak berani mengabari rumah tentang kabar Aldevaro atau ibunya akan panik. Setelah mengecek Aldevaro sebentar, ia keluar menelusuri lorong rumah sakit untuk mencari angin. Namun tanpa sengaja ia menabrak sekelompok orang dan terkejut siapa mereka.

 "Kita bertemu disini, apa ada yang sakit?" Tanya Kylson membuat Hary mendesah berat.

 "Aldevaro, dia terkena penyakit serius dan jantungnya berhenti. Aku tidak tahu apa yang selanjutnya aku lakukan, dokter masih belum tahu apa penyakitnya."

 "Aldevaro? apa itu Aldevaro di sekolahku?" tanya Milla ke Kylson dan Kylson mengangguk membenarkan.

 "Oh, adikmu temannya Aldevaro Kyl?" Tanya Hary melirik Milla sekilas.

 "Ya, mereka satu sekolah."

 Tentu saja Kylson tahu apa saja yang terjadi Milla disekolahnya dan siapa yang pernah berinteraksi padanya.

 "Kalian ada keperluan apa dirumah sakit? Menjenguk seseorang?"

 "Hanya mengecek jadwal rut Axel, dia terlambat beberapa hari."

  Axel yang disebut namanya hanya bisa mencibir alasan kakaknya dengan hati dongkol. Padahal mereka disini untuk mengecek Milla secara keseluruhan tapi kenapa dirinya dibawa juga? sangat menyebalkan.

 "Mungkin dia kebanyakan bergadang dan terlalu lelah, aku dulu juga begitu dan itu normal."

 "Iya, kata dokter juga begitu. Kalau begitu kami pamit pergi dulu dan Aldevaro semoga cepat sembuh."

  Saat Kylson hendak berlalu pergi, lengannya langsung ditahan Milla membuatnya langsung berhenti dan menunduk untuk melihat adik bungsunya."Ada apa? mau jenguk Aldevaro?"

 Milla mengangguk pelan, entah kenapa kedua tangannya mulai berkeringat dingin setelah mendengar keadaan Aldevaro. Tiba-tiba saja ingatannya terus berputar saat Aldevaro menitikkan airmata tadi siang, ia benar-benar tidak akan tenang jika belum melihat keadaan Aldevaro langsung.

 "Baiklah, apa itu boleh Hary?"

 "Tentu saja boleh, tapi mungkin kalian hanya bisa melihatnya dari luar. Dia masih ditangani dokter."

 Hary pun mengantar ketiga bersaudara itu untuk pergi ke Icu tempat 30 menit ini Aldevaro tempati. Semakin dekat tempatnya, Milla semakin gugup dan tanpa sadar kedua tangannya meraih telapak tangan Kylson dan Axel untuk ia genggam.

 Ceklek

 "Maaf tuan, kami sudah berusaha sebisa mungkin. Beberapa waktu lalu bahkan jika jantungnya sudah berhenti tubuhnya masih mengeluarkan reaksi dan kami pikir kami masih bisa membuat jantungnya untuk bangun dan membuatnya sadar. Tapi ternyata kami masiih belum mampu, dan...pasien sudah dinyatakan meninggal."

 "Apa? itu tidak mungkin! Periksa kembali alat kalian itu, alat kalian pasti yang sudah rusak," Raung Hary keras dan kilatan ayahnya yang dinyatakan meninggal terngiang-ngiang lagi ditelinganya. Karena pada waktu itu dialah yang pertama kali diberitahu kalau ayahnya sudah meninggal.

 "KATAKAN PADAKU KALAU ALDEVARO MASIH HIDUP!"

 "Tenanglah Hary, ini memang diluar kehendak kami semua," Celetuk seorang dokter tua yang baru keluar ICU dan dia adalah paman ketiganya dari adik kakeknya.

 "Tidak, Aldevaro masih hidup, Dia berjanji untuk tidak meninggalkan adiknya sebelum adiknya menikah. Aldevaro tidak boleh pergi dulu hiks..."

 Hary meluruh ke lantai dan dengan segera paman jauhnya itu mendekat dan menepuk bahunya itu untuk memberi kekuatan.

 "Al tidak boleh mati, dia belum boleh mati."

  Tanpa persetujuan siapa pun Milla berlari masuk ke ruang ICU membuat semuanya panik dan segera menyusul. Di dalam semua alat sudah dilepaskan, para dokter dan perawat tersisa segera menyingkir memberi Milla jalan untuk melihat seseorang yang menyelamatkannya dulu berbaring di brankar dengan keadaan pucat. Hary menyusul dengan sangat cepat dan segera berlari ke sebelah kiri  Aldevaro untuk menempelkan kepalanya langsung ke dada Aldevaro dan benar detak jantungnya tidak lagi terdengar. Mengangkat kepalanya, bibir sang adik sudah pucat dan nafasnya sudah tidak ada lagi membuatnya menangis tidak terkontrol. Kylson yang notabene temannya merangkul Hary dan menepuk pundaknya menenangkan. Bukannya yang hidup sudah pasti kan ?

 "Kenapa lo sudah mati? Dan lo teganya ninggalin gue?" lirih Milla meletakkan tangan kanannya ke wajah Aldevaro yang pucat.

 "Lo jangan sedih, biarkan Aldevaro pergi dengan tenang," ucap Axel menepuk pundak Milla namun si empu masih tetap tidak ingin mendengarkan siapa pun saat ini.



Bar-bar OmegaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang