22. The Lunch

629 27 1
                                    

Malam telah berganti pagi. Mungkin sudah sejak sepuluh sampai lima belas menit yang lalu matahari mulai menunjukkan keberadaannya di muka bumi. Tentunya hawa dingin yang dihasilkan dari cuaca pagi membuat Minji semakin ingin menenggelamkan diri dibawah selimut. Namun, bersamaan dengan itu Minji baru sadar akan adanya keberadaan seseorang  yang sedang memeluk tubuhnya dari belakang. Minji terdiam sejenak, rasanya seperti mimpi. Mengingat semalam Jungkook sudah pulang sebelum tengah malam karena sang Ibu meneleponnya. Dan, semua berakhir dengan Minji yang terbaring sendirian di kasurnya. Memeluk angan-angan kosong dimana Jungkook akan menemani malamnya yang dingin.

Manik mata Minji sudah cukup terbuka lebar dengan nyawa yang sudah terkumpul penuh untuk  bisa menerka siapa orang yang tengah memeluknya hanya dengan memandangi tangan yang indah itu menumpang di atas lengan sikunya. Akhirnya wanita itu memberanikan diri menoleh untuk memastikan siapa orang dibalik sumber kehangatannya di pagi hari. Wajah tampan Jimin lah yang membuat hatinya terenyuh seketika membalikkan badan. Seharusnya Minji tidak perlu kaget karena semua ini persis dengan dugaanya sebelumnya. Tapi, sejak kapan semua ini terjadi?

Wanita itu menggigit bibir, terdiam cukup lama menatap dengan sendu. Awalnya Minji kira Jimin tertidur cukup pulas dengan wajah yang teramat teduh itu. Namun siapa sangka, bermula dengan pergerakan tangan Minji yang membelai dan mengusap wajah pria itu, malah membuat Jimin terbangun dari tidurnya. Melempar senyum manis saat manik matanya tertuju pada wajah cantik wanita di hadapannya. 

"Maaf membangunkan tidurmu", ucap Minji pelan. 

Jimin hanya terdiam selama beberapa saat. "Kau lupa memakai selimut, Minji. Melihatmu meringkuk di atas kasur, sudah pasti kau kedinginan. Maaf meninggalkanmu lagi"

Minji tak langsung menjawab, hanya terdiam—berusaha memahami maksud ucapan dan sesuatu yang mungkin sedang Jimin pikirkan saat ini.

"Tidak. Kau tidak perlu minta maaf. Oh ya, terima kasih, Jim. Maaf merepotkanmu", Minji tersenyum, "Ngomong-ngomong, sejak kapan kau pulang?", sambungnya berusaha mengubah topik pembicaraan

Kalau boleh jujur, Minji sangat enggan untuk membicarakan yang Jimin maksud—sebenarnya sangat muak dan menyakitkan kalau mengingatnya—lebih baik membuatnya lupa seakan tak terjadi apa-apa dan tetap merasa bodoh untuk semua hal konyol ini. Tetap mengikuti permainan Jimin tanpa memprotes satu pun tindakannya. Itu yang Minji inginkan sejak ia terbangun dari tidurnya.

"Mungkin sekitar jam dua pagi. Aku tidak bisa meninggalkan Solmi karena saat itu dia merasa kesepian—dia juga meminta ditemani makan malam", Jimin memelankan nada bicaranya di akhir kalimat. Sedang Minji paham kalau Jimin berusaha berlaku jujur dan menghargai Minji karena semalam itu Jimin benar-benar tidak bisa dihubungi. Hanya saja setelah mendengar penjelasan Jimin, Minji rasa akan lebih baik kalau dia menutup telinga rapat-rapat sejak beberapa menit sebelumnya.

Minji mengangguk skeptis, menarik seutas senyum. "Tidak masalah, Jim. Senang mendengarnya"

Namun bukannya terlihat lebih lega, Jimin justru menatap Minji dengan raut khawatir. Tangannya terangkat menyelipkan helaian rambut wanita itu—yang menyentuh pipi—ke belakang telinganya.

"Kau tidak perlu menutupi apa yang kau rasakan, Minji"

Minji terdiam, walau nyatanya sedikit kaget. Belum sempat ia menanggapi, Jimin sudah membuka mulutnya lagi.

"Apa yang kau pikirkan tentang semalam, hmm?", Jimin menyentuh bibir Minji dengan ibu jarinya.

Minji tak langsung menjawab, suasana jadi hening beberapa saat. Maju mundur dengan beberapa ungkapan yang ingin segera di suarakan di hadapan Jimin, ekspresi wajahnya saja sudah menggambarkan keraguan. Jimin jelas paham yang satu ini.

Night Butterfly [M]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang