31. Her Past

380 21 1
                                    

Kaki jenjang wanita itu perlahan melangkah menuju sebuah pintu kamar—yang di duga pemiliknya belum juga terlelap dan mengarungi lautan mimpinya meski jarum jam sudah membidik tepat pada angka satu.

Minji tak merasa bersalah sedikit pun atas apa yang sudah terjadi pada malam hari ini. Toh, memang ia tidak melakukan kesalahan. Malahan Minji merasa sangat bahagia tanpa sebab. Setelah selesai dinner dengan sedikit percakapan—hingga nyaris tengah malam—bersama Tuan Kim dan Park Solmi, ia baru selesai membersihkan diri dan mengganti pakaiannya sekitar pukul duabelas. Minji melakukannya bukan tanpa alasan. Dengan membuat tubuhnya terasa segar kembali dan harum, semata-mata ia lakukan karena hendak menemui Jimin yang berada di kamarnya. Minji tahu kalau pria itu belum tidur, itu kebiasaannya walau tidak terlalu sering.

Setelah mengetuk pintu sebanyak dua kali, Minji membukanya. Ia bisa langsung melihat Jimin—bertelanjang dada—sedang berbaring di atas kasur sembari memainkan iPad kesayangannya. Astaga, Jimin sungguh gila kerja!

"Kau belum tidur?", ucap Minji, berusaha menyapa pria yang sedang merajuk itu.

Jimin hanya meliriknya sekilas, kemudian pandangannya kembali ke arah layar kaca itu. Setelah Minji menutup pintu, ia sempat berdiri di depan ranjang dan membuka outer dari dress tidur berbahan satin dan membiarkannya jatuh ke atas lantai, kemudian ia berjalan ke arah ranjang dan menaikinya, tepatnya di samping Jimin.

Wanita itu tersenyum ketika Jimin mengulurkan lengannya agar Minji berbaring di sampingnya—supaya lengan pria itu menjadi bantalan untuknya. Padahal sedang marah, tapi Jimin masih begitu perhatian. Bagaimana Minji tidak semakin jatuh cinta?

"Jimin, kau marah padaku? Berhentilah menatap layar kaca menyebalkan itu. Kau sudah cukup bekerja seharian", ucap Minji berusaha menyingkirkan benda pipih berbentuk persegi itu dari hadapan Jimin.

Sementara pria itu hanya mendengus kesal. Namun, pada akhirnya tetap menuruti kemauan wanitanya. Mematikan layar dan menyimpan benda itu tepat di atas nakas samping kasurnya. Saat Jimin menolehkan kepalanya pada Minji, barulah wanita itu tersenyum puas.

"Aku tidak marah. Aku hanya cemburu. Kalian bahkan tidak mengajakku makan malam bersama. Itu sungguh kejam, Minji-ya", jelas Jimin terdengar lembut.

Wanita itu mengangguk-angguk merasa paham, "Ah, kenapa kau tidak memprotes itu kepada Tuan Kim saja? Lagi pula, makan malam tadi, kan, dia yang menginginkannya?"

Jimin memutar bola matanya, "Lupakan!"

Minji terkekeh, "Kau juga tidak mengajakku dinner bersama kalian saat kau berada di Busan"

Mendengar celetuk singkat itu, Jimin terdiam beberapa saat hingga keningnya mengerut. "Tunggu—apa? Astaga, sayang. Kau tidak percaya padaku? Aku hanya makan malam sendirian. Memang, siapa yang membuatku merasa selera untuk makan malam dengan nya?"

"Submisif nya Tuan Park. Bukannya dia juga bersamamu di Busan? Bagaimana bisa kau tidak mengajaknya dinner dan tidur bersama? Mustahil", jawab Minji.

Jimin seketika membuang muka kemudian mengacak rambuta nampak stress. "Minji, dia hanya bekerja untukku"

"Bekerja seperti apa? Bekerja yang mana? Sebelumnya, kan, dia bekerja mengangkang juga untukmu? Bagaimana aku harus percaya bahwa kau tidak berani macam-macam padanya lagi selama wanita itu selalu bersamamu setiap hari dalam satu ruang lingkup yang sama?", sarkas Minji dengan sedikit kesan mengolok-olok namun terdengar santai.

Jimin pun nampaknya tak masalah. Karena memang begini kenyataannya. Ia tidak bisa mengelak dan harus membela diri dengan kalimat seperti apa. Nyatanya, ia belum bisa membuat Minji merasa aman dan nyaman selama ia masih bekerja bersama sekretaris sekaligus submisifnya.

Night Butterfly [M]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang