Tidak ada yang abadi...
Wajah dokter itu sangat menyesal, dia berdiri di samping wanita yang telah berbaring lemah tak bernyawa. Mata sang dokter melihat beberapa orang di depannya, dia menghembuskan napas berat dari dalam dadanya, ini terulang lagi, sudah biasa terjadi. Namun, tidak untuk orang terdekat wanita itu.
Perlahan Dokter jantung itu menutup tubuh wanita tersebut dengan kain putih hingga menutupi bagian kepala, seluruhnya. Beberapa saat kemudian, Dokter mengumumkan kematian wanita berumur dua puluhan itu, dengan suara tegas namun pelan, dia berkata, "...Waktu kematian, jam delapan malam lewat tiga menit." Dokter masih berdiri, dia tidak langsung pergi.
Sontak suara tangis yang tadi sayup, akhirnya terdengar lebih menyedihkan. Suasana diruangan putih itu menjadi biru, air mata orang terdekat wanita itu tak kunjung berhenti. Wanita yang hanya diam membeku itu akhirnya dipeluk dengan kuat, seakan orang yang memeluk tidak rela atas kepergiannya.
Namun, seseorang di sudut kasur itu hanya berdiri, dia diam tak berkutik. Hatinya berat, dia tak bisa menunggu lebih lama lagi. Tanpa pamit, calon dokter ini melangkah mundur dua kali, dengan langkah sangat kecil. Lalu dia menunduk sejenak dan berbalik. Dia berjalan dengan cepat keluar dari ruangan pasien itu. Setelah itu, dia berlari ke ruangannya, mengambil tas dan pulang saat itu juga.
***
Aku akan selalu ada untukmu,
...Selamanya.
Satu kata ini tidak bisa tersiar dengan mudah dari banyak kata yang telah terucap. Ada keraguan yang tidak memberikan kepastian pada satu kata ini. Tentu, hati berharap pada semua keabadian, tapi kekhawatiran dengan leluasa menyelip di antara harapan itu seakan berbisik apa yang kamu inginkan tidak mungkin terjadi, semua pasti mempunyai akhir dalam waktu yang ditentukan.
Siapa yang mendengar bisikan itu pasti akan bersedih dalam lamunan yang lama, memikirkan perpisahan yang pasti akan terjadi baik dalam waktu cepat atau lambat. Sekarang sang pencinta hanya bisa memeluknya dan berkata, tenanglah, jangan dipikirkan. Aku masih kuat untuk bersamamu.
Lagi, dia tidak mengatakan kata itu, kekasihnya selalu menghindari kata -selamanya.
Karena tak pernah mendengar kata yang dia inginkan, sang calon dokter ini selalu memiliki perasaan semu di dalam hatinya. Dia selalu merasa rapuh dan lemah, apalagi saat sekarang, saat dia telah mengambil kerja magang di Rumah sakit tersebut. Kematian dan merasa kehilangan selalu menghantuinya setiap saat.
****
Becca, dia berlari dari tempat magang tersebut untuk kembali ke rumah yang hangat. Perasaan rindu selalu terbentuk saat jauh, seharian dia berusaha untuk menahan semua kerinduan itu. Namun sekarang, rasa itu sudah tercemar dengan rasa khawatir, perasaan tersebut kembali lagi dalam dirinya, dia merasa takut kehilangan wanita yang dia cintai.
Bukan karena alasan yang sederhana, Becca baru saja menyaksikan seorang ibu yang kehilangan anak sulungnya karena gagal jantung di rumah sakit tempat dia magang. Mungkin itu hal biasa yang dihadapi para dokter. Tapi tidak untuk Becca, saat melihat nyawa wanita dua puluhan itu kembali ke alam raya, Becca menjadi pilu dan hanya membayangkan hal buruk di kepalanya. Freen, Freen dan Freen, pikirannya penuh dengan nama itu, dia tidak mau kekasih yang dicintai sama nasibnya dengan pasien rumah sakit itu.
Napasnya berlarian, dia tak ingin menunggu lebih lama, dia ingin segera menemui Freen saat itu juga. Dengan langkah kaki yang sangat kencang, dia mengabaikan dua orang dokter magang yang menyapanya di lorong jalan rumah sakit itu, Becca hanya ingin berada di pelukan Freen kali ini.
...
Sementara Freen berada di mobilnya, dia menunggu Becca selesai dari pekerjaan magang tersebut. Dia selalu seperti ini, menunggu dan selalu melihat pintu utama rumah sakit, berharap kekasihnya berjalan ke luar dengan senyuman yang manis, dia selalu menyukai senyuman itu. Namun, tampaknya kali ini berbeda, Becca berlari dengan ceroboh dari pintu keluar tersebut. Freen seketika merasa khawatir dan segera keluar dari mobilnya, wajahnya penuh dengan tanya, apa yang terjadi?