Angin kencang itu akhirnya membawa hujan. Udara dingin kian terasa, hati yang cemas dan gelisah perlahan bertambah pekat karena cuaca yang tiba-tiba berubah. Wanita ini tak bisa menghentikan langkahnya untuk bolak-balik memeriksa halaman luar, berharap sang kekasih pulang saat ini juga.
Tiba-tiba suara petir terdengar kuat, calon dokter itu terduduk dan menutup telinganya sambil memejamkan matanya. Dia tak mengatakan apapun, namun raut wajah takut tampak jelas di sekujur tubuhnya. Napas yang berlarian tak bisa dia hindari, Becca tak pernah berhenti berharap Freen pulang saat ini juga.
Ponsel itu masih dia pegang sedari tadi. Sudah banyak sekali pesan suara, berbagai macam stiker dan panggilan yang dia kirimkan pada Freen. Tapi tak ada satu pun dibalas, bahkan dibaca pun tidak. Freen tampaknya sungguh mengabaikannya kali ini.
Becca perlahan berdiri, suara gemuruh masih terdengar. Suasana hatinya bertambah berat berkat suara dari langit itu, alasan biasanya karena dia memang takut dengan cuaca seperti ini, sedangkan alasan utamanya dia takut terjadi sesuatu pada Freen.
Dia seharusnya mengabariku! Freen seharusnya mengirimku pesan!
Becca menjelaskan semuanya pada Freen melalui pesan suara itu, dia berharap Freen mengerti situasinya. Tidak, bukan berharap, bagi Becca, Freen harus mengerti tentang ini.
Terdengar memaksakan, tapi inilah pikiran calon dokter, dia mengatakan semuanya tentang masalah selingkuh itu, Becca tak pernah meragukan Freen mendua, dia memang sering cemburu, tapi dia percaya bahwa Freen setia padanya. Bagi Becca, sifat cemburu itu adalah cerminan bahwa dia sungguh sangat cinta pada penulis misterius ini. Becca ingin Freen mengerti bahwa dia menyadap itu karena merasa Freen menutupi sesuatu, yeah, ini tentang obrolan pesan yang dihapus itu. Dan ternyata benar, walaupun Freen mengatakan bahwa dia akan memberitahu setelah dia magang, hal ini masih membuat Becca sedih, karena ternyata bukan dia yang pertama kali tau situasi Freen. Yeah, Becca merasa tidak spesial di sisi Freen.
Dia mengatakan itu semua pada Freen dengan pesan suara yang panjang, diiringi tangisan karena Freen meninggalkannya tanpa membiarkannya menjelaskan semua itu, dan em, tidak lupa sedikit teriakan kesal karena Freen belum juga kembali setelah dua jam menunggu.
Sekarang sudah jam satu malam, Freen benar-benar tidak muncul di hadapannya.
Becca berjalan pelan ke arah sofa, dia duduk meringkuk dan menatap tajam ponselnya. "Apakah ini cara menenangkan diri, huh? Jauh dariku dan membuatku tersiksa seperti ini? Apa dia puas meninggalkanku dengan penuh khawatir, cemas dan takut?" Suaranya juga rendah dan terdengar lemah, namun nada marah ikut andil dalam perkataan itu. Becca menghubungi kontak itu lagi, menunggu deringan yang terhubung namun tetap diabaikan. Becca sungguh marah besar dibuatnya.
Dalam pesan suara itu juga, dia tak berkata maaf lagi. Sudah cukup satu kali dia mengatakannya, itu pun saat dia sedang panik karena ketahuan menyadap ponsel Freen.
Helaan napas terdengar, dia memeluk tubuhnya sendiri, rasa dingin membuatnya tak bisa tidur sama sekali. Becca tak bisa kembali ke kamar dan menarik selimut untuk menyelami tidur yang lelap, dia tak akan bisa tidur sebelum Freen ada di sini atau minimal, Freen mengangkat panggilannya. "Freen kekanak-kanan." Bergumam kesal, dan saat itu juga, pikirannya memikirkan tentang perkataan tuan Shon.
"Dia pergi sebentar saja bisa membuatku seperti ini." Sedih yang mendalam. "Apalagi..." Raut mukanya seketika ingin menangis, Becca takut semua yang dia bayangkan akan terjadi. CAV sungguh mematikan, penyakit ini memang tak menunjukkan tanda-tanda apapun, dia bisa datang dan langsung menyerang sang penderita tanpa izin terlebih dahulu, serangan jantung dadakan bisa membuat penderitanya langsung mati seketika. Becca sudah mempelajari tentang ini sebelumnya, walaupun dia belum tau diagnosa Freen seperti apa, namun jika ternyata parah, Freen tak boleh lengah, dia harus mentrasnplantasi ulang jantung itu.