Kehilangan, tak akan kembali, pergi untuk selamanya.
Rasa hampa tak bisa mengusir semua sesak yang menyakitkan hati. Dunianya seolah sempit dan tak berarti. Rasa sepi atas kenyataan bahwa tak akan ada lagi sosok yang tersenyum dan memeluknya esok hari membuat seluruh dirinya tak bisa berhenti memohon pada siapa pun yang mendengar, 'Tolong, bangunkan aku dari mimpi buruk ini. Aku mohon, bangunkan aku.' Namun, sesuatu seolah mengetuk ruang benaknya dan berkata, 'Freen telah pergi, meninggalkan kita untuk selamanya.' Perkataan itu berulang dan air mata tak hanya bisa berputar di hatinya, dia menangis dan menahan erat dadanya.
Hati yang pernah merasa kehilangan tak akan bisa menggunakan kata mana pun untuk mewakilkan apa yang sedang dirasa. Sungguh, tak ada yang bisa mengartikan kehilangan dengan benar, bahkan kata sesak, berat, dan pilu tak sebanding dengan apa yang dirinya rasakan. Meskipun dia tau, kematian adalah wajar, namun dia hanya tak terima tentang waktu yang tak peduli pada dirinya sedikit pun.
Dia ingin memeluk kekasihnya lebih lama. Dia ingin bercerita panjang lebar setelah kerinduan yang mendalam. Dia...dia ingin mendengar tawa kecil yang sangat dia sukai dalam candaan malam yang dingin. Dia ingin semuanya! Demi apa pun, dia masih menginginkan semuanya. Tapi kenapa...
Kenapa sang waktu begitu kejam pada jalan hidupku?
Tak ada jawaban.
Semua telah terjadi.
Di mobil itu, kotak abu istrinya dipeluknya dengan erat, dia tetap tidak ingin pisah. Air matanya mengalir begitu pelan, menetes ke permukaan kotak putih itu. Perjalanan menuju tempat istirahat terakhir ini tak bisa diisi dengan obrolan ringan, Lisa menyetir dengan hatinya yang pilu. Kedua matanya sesekali melihat cermin belakang untuk melihat wajah Becca yang cukup pucat. Sementara Rose yang berada di sampingnya, hanya bisa menatap pinggiran jalan yang terlewati sambil menyeka air matanya.
Nam dan Kirk berada di mobil lainnya. Sementara Tuan Shon, beliau bermobil dengan keluarga Becca dan pengawalnya. Ini, adalah pertama kalinya dia melihat kota tempat Freen dibesarkan oleh wanita yang masih dia rindukan sampai sekarang. Namun, dia tak menyangka. Dia harus mengunjungi kota ini tanpa ada satupun yang bisa menyapanya. Kunjungan yang memilukan, mengantarkan anaknya ke samudra yang sama dengan anak lelakinya. Sungguh, hatinya kacau kali ini. Sebab, Tuan Shon merasa, dia sedang mengantarkan dua anaknya untuk pergi selamanya. Dia berusaha untuk tak menangis, namun Tuan Shon tak bisa menahan semua rasa sedih ini. Kehilangan Freen, sungguh membuat hatinya hancur. Sangat hancur.
Kilas kenangan mengisi setiap mata yang termenung, Nam terlihat lelah karena saat kremasi Freen sebelumnya, dia menangis histeris dan terlihat tak terima dengan semua yang terjadi. Sementara Becca tak melihat semua jalannya kremasi. Dia menunggu sampai semuanya selesai.
Sekarang, mobil itu berhenti agak jauh dari pinggiran samudra. Pintu mobil terbuka, Lisa membukakan pintu untuk Becca. Butuh waktu lama untuk Becca keluar dari mobil itu. Dia terlihat menatap kotak yang dia peluk sedari tadi, mengelus kotak itu dengan lembut dan masih belum siap untuk menaburkan abu Freen di ruang luas itu.
Sampai akhirnya, dia berjalan ke ujung bebatuan yang dikelilingi ombak yang ramah. Angin tak terlalu kencang kali ini, walaupun langit biru ditemani oleh awan yang mendung, semua terlihat menunggu pengagum samudra bersatu dengan laut yang tenang. Saat itu, Becca tak peduli siapa yang berada di dekatnya. Rose, Nam dan Lisa berdiri di belakangnya dan menunggu Becca untuk menaburkan abu itu dengan pelan. Sementara yang lain, hanya bisa melihat dari jauh, mereka tak sanggup untuk melihat semuanya dari dekat.
Air mata Becca tersapu oleh angin yang begitu lembut, kotak abu itu masih dia peluk dengan kedua tangannya. Becca masih menatap samudra cukup lama, merasakan teduhnya alam dan indahnya pembatas langit dan samudra di ujung sana. Hingga saat matanya tertuju pada pemandangan pantai di ujung sana. Senyum Becca terukir saat dia mengingat Freen berlutut untuk melamarnya. Tanpa aba-aba, hatinya tiba-tiba terasa begitu rindu, pilu dan menyakitkan. Dia berkata dengan lirih, 'Apa kamu senang meninggalkanku sendirian, sayang?' Namun, hatinya malah terhimpit dengan pertanyaan itu, karena dia tau, Freen pasti juga tak ingin meninggalkannya. Freen masih ingin bersamanya.