Suara tawa terdengar, seperti sangat seru, samar, Freen tak bisa menangkap obrolan yang berlangsung. Perlahan matanya terbuka, Freen seolah terbangun dari tidur yang amat panjang, sekarang dia berada di kasur yang tampak tak asing lagi baginya. Dia masih terdiam dan melihat sekitar, lukisan-lukisan yang tergantung di dinding itu berbeda, dia tak pernah melukis bunga ataupun kupu-kupu, dulu lukisan yang tergantung di kamar masa kecilnya ini hanyalah langit biru ataupun lautan kosong. Freen ingat semua itu.
Namun yang aneh adalah, suara perempuan dan laki-laki terdengar lagi, Freen tak pernah mendengar suara dalam rumah ini. Bahasa tangan selalu menjadi bahasa utama sehari-hari, kebingungan ini mendorong kaki Freen untuk turun dari kasur, tapi satu hal yang aneh, baju tidur yang terbuka sedikit itu memaksa Freen untuk melihat dadanya. Dia terkejut, jahitan itu tak nampak sedikit pun. Freen memeriksanya lagi, dan benar saja, luka itu hilang, dua pieris yang hanya tinggal di sana. Seolah terbang dalam diam.
Pikiran Freen tak menduga apapun, dia hanya senang dengan semua keajaiban tiba-tiba ini. Lengkungan bibirnya tampak sangat manis, matanya juga berbinar, dia merasa sangat sehat dan seakan bisa berlari kencang.
Senyuman itu masih dia gunakan, berdiri dan melangkah keluar. Tidak butuh waktu yang lama, hanya dengan tiga atau empat langkah, Freen akhirnya terhenti dan terpana dengan apa yang dia lihat.
"Mama." Suara itu lirih, dadanya sangat terenyuh, mata itu tak berkedip sedikit pun. Bahkan senyum itu menghilang. Freen tak percaya dengan apa yang dia lihat. Ibunya tidak hanya diam dan tersenyum, sekarang beliau berbicara dengan sangat anggun. Inilah pertama kalinya Freen mendengar suara ibunya.
Lagi, dia berbisik dan masih berdiri di antara pintu itu, "Mama." Perasaan rindu yang mendalam masuk ke dalam hatinya, dia bisa merasakan semua dalam dirinya menangis sekarang, namun anehnya mata itu tak sanggup mengeluarkan air mata. Freen masih terdiam, getaran dalam hati itu sungguh bisa dia rasakan.
Freen terdiam cukup lama, dia mengabaikan sosok lelaki yang sedang berbincang dengan ibunya. Hingga lelaki itu berkata, "Freen! Kamu kesiangan lagi, huh? Ayo sini, kakak bawa makanan kesukaanmu." Saint, dia adalah Saint. Lelaki itu tersenyum lebar dan mengaba-aba Freen untuk bergabung dengan mereka.
Freen masih diam, dia menatap Saint cukup lama. "Saint?" Suaranya bergetar sekarang, dia bisa mendengar suaranya sendiri. Hatinya terasa campur aduk, sesak dan senang menjadi satu. Lagi, Freen tidak berpikir apapun, dia hanya menerima semua keajaiban ini tanpa mempertanyakan apapun.
Saint tertawa lagi, dia berdiri dan menarik tangan Freen dengan lembut. Saudaranya menuntun Freen untuk duduk bersama, di lantai. Makanan yang sangat nikmat tersaji di atas meja. Freen tak pernah melihat makanan lezat itu diletak di atas meja makan usang tersebut, dulu.
Tatapan Freen teralihkan, sebab dua orang di depannya hanya diam tersenyum melihat dirinya. Hingga akhirnya ibunya berkata, "Freen, apa kamu sangat merindukan kami?" Pertanyaan yang tak terduga dengan suara goda, ibunya seakan melirik relung hati Freen yang terdalam.
Tanpa tunggu lama, Freen mengangguk berulang kali dengan tatapan sedih, air matanya terbendung, Freen merasakan tetesan air itu membasahi pipinya. Dengan ragu Freen bertanya, "Ma, ...Freen..." rasa sesak dalam dada itu menahan Freen untuk bertanya 'Apa ini hanya mimpi atau Freen memang sudah bisa bersama kalian lagi?' Freen ingin merangkul, tapi tak bisa. Dia seolah hanya bisa duduk, lihat dan mendengarkan saja.
Lagi, senyuman tulus dua orang tercinta dia dapatkan, hati Freen perlahan hangat, seolah senyuman itu mengisi kerinduan yang selama ini tumpah ruah.
Juga, dua orang di depannya tidak menggubriskan air mata yang berlinang itu. Mereka bahkan saling cakap, Freen dibuat takjub lagi, momen yang dia rasakan kali ini sungguh seperti bayangannya selama ini. 'Jika saja kami berkumpul bersama.' Freen menginginkan semua ini.